Kesuksesan bukan hanya milik orang berseragam saja. Terbukti dari kisah Kiki Kusumawati (31), warga Banyumas, Jawa Tengah yang justru berhasil mengembangkan bisnis setelah menggantung seragamnya sebagai tenaga medis.
Lulusan Universitas Harapan Bangsa ini mulanya pernah coba meniti karir sebagai bidan di Rumah Sakit (RS) Wijayakusuma Purwokerto pada tahun 2015. Setahun berjalan, Kiki pun sebenarnya mulai menikmati profesi yang ia geluti.
Namun pada 2016, pihak manajemen RS tidak memperpanjang kontrak kerja Kiki. Ibu dua anak ini jelas sangat kecewa. Pasalnya, selama bekerja, dia merasa telah berupaya keras memberikan kemampuan terbaiknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mungkin belum rezeki, tapi pengalaman itu jadi momentum saya untuk mulai merencanakan bisnis. Terlebih waktu itu saya sedang hamil, jadi saya pikir lebih baik berbisnis di rumah," kata Kiki saat berbincang dengan wartawan, Minggu (6/11/2022).
Selepas itu, Kiki memutuskan pulang ke kampung halaman di Desa Semedo, Kecamatan Pekuncen. Di sanalah awal mula Kiki menginisiasi peluang sebagai pengepul gula kelapa.
"Memang bisnis ini (gula kelapa) dulunya usaha orang tua, tapi selama ini memang berjalan ala kadarnya, dan saya punya keinginan untuk mengembangkannya menjadi lebih besar," ujarnya.
Namun, untuk mengembangkan usaha gula kelapa diperlukan modal yang tidak sedikit. Sebab, para penyadap nira di Desa Semedo sudah terbiasa menerima pembayaran di muka.
"Saya tidak mungkin meminta modal dari orang tua. Akhirnya dengan bekal sertifikat tanah, saya memberanikan diri untuk mengambil Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp 150 juta di BRI Syariah atas nama saya sendiri," imbunya.
Dengan modal di tangan, Kiki mulai membina lebih banyak penyadap nira kelapa di desanya. Selain itu, dia juga mengarahkan para penyadap untuk lebih optimal memproduksi gula semut.
"Petani yang sebelumnya membuat gula cetak saya arahkan untuk memproduksi gula semut. Gula semut itu gula kelapa tapi berbentuk serbuk. Selain memiliki nilai ekonomi lebih tinggi, jangkauan pasar gula semut juga lebih luas," jelasnya.
Kiki menawarkan harga kompetitif yakni Rp 18.500 untuk setiap kilogram gula semut. Alhasil, banyak petani yang tertarik bermitra dengannya.
"Saat ini, saya sudah memiliki sedikitnya 50 petani binaan dengan kapasitas produksi sekitar 2-3 ton per minggu," terangnya.
Gayung bersambut, di saat petani binaan bertambah dan produksi meningkat, sebuah perusahaan ekspor impor menawarkan kerja sama untuk menyerap gula semut Kiki dengan sistem curah.
"Jadi gula semut petani Desa Semedo saat ini sudah diekspor hingga ke Amerika dan Australia," ungkapnya.
Kemandirian Wanita
![]() |
Tak selamanya wanita hanya dihadapkan dengan urusan dapur, sumur, dan kasur. Semua wanita juga memiliki hak yang sama untuk sukses berkarir dan berwirausaha.
Kiki adalah salah satu dari sekian banyak wanita inspiratif di Indonesia. Kiki berani mendobrak stigma masyarakat desa yang selalu mendiskreditkan gendernya hanya sebagai ibu rumah tangga.
"Awalnya saya dipandang sebelah mata, terlebih setelah tahu saya tidak bekerja di rumah sakit lagi. 'Percuma sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya balik ke rumah lagi ngurus anak'," kata Kiki.
Namun segala tekanan dan suara sumbang yang datang justru menyulut semangat Kiki untuk lebih giat dan kreatif lagi dalam berbisnis.
Uang modal yang didapatkan dari pembiayaan KUR tidak semuanya digelontorkan untuk usaha gula kelapa. Sebagian digunakan untuk merintis cabang bisnis lain, yakni kuliner 'Dapur Gobyos' dan Pom Mini.
"Dapur Gobyos mulanya saya pasarkan lewat media sosial, sedangkan Pom Mini saya bangun di depan warung ibu," jelasnya.
Dengan tiga usaha yang berjalan beriringan, Kiki sama sekali tidak pernah terkendala untuk membayar angsuran KUR sebesar Rp 3,2 juta selama tiga tahun.
Terang saja, dari bisnis gula semut saja, tiap bulan Kiki dapat mengantongi keuntungan bersih paling tidak Rp 8 juta. Sementara dari bisnis kuliner dan pom mini, penghasilan rata-rata setiap bulan dapat mencapai Rp 10 juta.
Bahkan di kala pandemi COBID-19 menghantam sekalipun, ketiga bisnis Kiki saling tambal sulam dan tetap bertahan hingga saat ini.
"Ke depan, saya berencana mengembangkan bisnis ke jasa transportasi travel dan odong-odong. Jadi tahun 2022 ini saya putuskan naik kelas dan mengambil fasilitas KUR Kecil di Bank Syariah Indonesia (BSI) dengan plafon Rp 200 juta," ucapnya.
Kini, suara miring tetangga yang dulunya menyudutkan Kiki seketika menguap. Kiki telah membuktikan jika kesuksesan bukan semata soal gengsi pekerjaan.
Lebih dari itu, Kiki memaknai kesuksesan sebagai upaya kemandirian dan kebermanfaatan yang jauh lebih luas.
BSI dukung UMKM naik kelas
Manajer Bagian Micro and Pawning Kantor Area BSI Purwokerto, Wahyu Pratomo mengatakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Syariah di wilayah Banyumas Raya pada tahun 2022 mengalami tren positif.
Pada tahun 2021, kata Wahyu, jumlah pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang mengakses fasilitas KUR Syariah di 'Kota Mendoan' sebanyak 4.083 nasabah dengan nilai kredit mencapai Rp 217,5 miliar.
Di tahun 2022, terjadi lonjakan signifikan, dimana jumlah UMKM yang menjadi nasabah KUR Syariah sebanyak 4.400 dan nilai total kredit menembus Rp 402,3 miliar.
"Per Oktober, ada 398 nasabah UMKM yang naik kelas, ditandai dengan pengajuan top up plafon dari fasilitas KUR Mikro ke KUR Kecil," terangnya.
Menurut Wahyu, secara sederhana, pola ini dapat diartikan jika UMKM di Banyumas Raya yang menjadi mitra BSI banyak mengalami pertumbuhan kapasitas usaha.
Untuk melanjutkan tren positif tersebut, di tahun 2023, BSI Area Purwokerto berencana meluaskan paparan KUR terhadap komunitas UMKM hingga kelompok petani atau peternak.
"Informasi tentang KUR Syariah mulai dari syarat hingga simulasi pembiayaan dapat diakses secara mudah melalui Web Salam Digital di link salamdigital.bankbsi.co.id, dan untuk pertanyaan lebih lanjut dapat mendatangi kantor cabang BSI terdekat," pungkasnya.
Muhammad Iqbal Fahmi, Jurnalis Kompas.com
(prf/ega)