Suatu kali saya jalan-jalan sore dari Pastoran saya menuju Cikini. Di Jalan Raden Saleh, saya terhenyak melihat satu keluarga pemulung dengan gerobak sedang memungut kardus yang mereka temukan. Tak berselang lama, si anak --yang masih balita-- dipreteli pakaiannya oleh si ibu. Dengan air yang terbatas, anak itu dimandikan ibunya di pinggir trotoar, di antara gedung-gedung megah. Tragis. Oh, Jakarta!
Saya pulang ke Pastoran dengan perasaan getir. Tanpa saya duga, pemandangan suram yang saya tangkap di jalan itu sungguh mengganggu saya beberapa hari. Potret orang-orang kecil yang dihimpit oleh pembangunan, kalah dalam pertarungan, dipinggirkan oleh situasi dan keadaan tampak menjadi pemandangan sehari-hari di kota besar. Hingga hari-hari jelang Natal, ingatan tentang keluarga pemulung itu terus terbayang.
Tapi, sebentar, bukankah orang-orang kecil mendapat tempat khusus dalam kisah kelahiran Sang Emanuel itu? Bukankah warta Natal, pertama-tama, diberikan kepada orang-orang kecil? Ia yang adalah Raja semesta memilih lahir di palungan kandang hewan. Saksi pertama kelahiran-Nya malah para gembala yang hidup terlunta-lunta. Berbagai petunjuk kisah kelahiran Kristus itu kiranya mengerucut satu hal: keberpihakan kepada orang kecil, lemah dan miskin!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para Gembala: Orang-Orang Kecil yang Beruntung
Menurut para ahli tafsir, para gembala adalah gambaran orang-orang lembut hatinya. Mengapa demikian? Sebab, ia digambarkan mempunyai ikatan khusus dengan domba-dombanya. Ia akan membawa domba-domba menuju padang hijau dan air tenang. Ia akan bertanggung jawab akan keselamatan domba-domba dari sergapan serigala. Sang Juru Damai itu juga digambarkan sebagai seorang gembala yang mengenal domba-dombanya. Ia memiliki relasi spesial dengan domba-dombanya. Maka, para gembala disebut mempunyai hati yang lembut.
Namun, para gembala disebut oleh para penafsir sebagai orang tersisih, orang pinggiran. Mereka lepas dari masyarakat umum. Bahkan, profesinya dianggap kotor dan rendah berhubungan dengan kotoran hewan. Sesuatu yang dianggap najis oleh kaum farisi yang legalis. Lebih dari itu, konon, bagi para imam Yahudi, para gembala tak bisa menjadi saksi di Pengadilan karena dianggap sebagai orang-orang yang tak bisa dipercaya.
Orang-orang tersisih seperti inilah yang menjadi saksi pertama kelahiran Sang Juru Selamat. Mereka adalah orang-orang beruntung ketika Tuhan Allah berkenan menjadikan mereka bagian dari narasi besar kelahiran Sang Kristus. Mengapa mereka dipilih Allah? Jawabannya adalah karena kemurnian hatinya dalam mengandalkan Allah.
Kemurnian Hati Merasakan Kehadiran Allah
Para gembala disebut sebagai orang-orang yang menggantungkan nasibnya pada Allah. Allah yang mengasihi orang-orang kecil pasti akan mengatur alam sebaik-baiknya. Para gembala ini pasti pasrah dengan kebijaksanaan Allah mengatur hujan, panas, tanah subur, dan kering. Mereka percaya saja bahwa Allah akan berbaik hati menurunkan hujan di padang rumput dan menyediakan sumber air yang cukup di padang untuk domba-dombanya. Itulah kemurnian hati yang sesungguhnya. Tak salah lagi malaikat menyampaikan warta gembira pertama-tama kepada para gembala ini.
Para gembala yang miskin, tersisih, dan hina inilah yang dipilih Allah karena mempunyai kemurnian hati bersandar pada Allah. Tapi, bukankah keseluruhan kisah kelahiran Yesus dekat dengan kisah kerapuhan dan keterbatasan manusiawi? Maria dan Yusuf harus menuju ke Betlehem dari Nazaret yang jaraknya sekitar 150 km. Berjalan kaki dalam keadaan hamil tua selama 4-5 hari adalah sebuah perjalanan yang melelahkan. Dari sini disuguhkan betapa kelahiran Sang Penyelamat itu dekat dengan realitas manusiawi yang penuh keterbatasan.
Keterbatasan tidak membuat pengharapan sirna. Justru dalam diri para gembala, keterbatasan membuahkan pengharapan dan iman yang luar biasa kepada Allah. Mereka mengimani Allah merawat hidupnya sebaik-sebaiknya. Allah, Sang Penyelenggara hidup tak akan pernah membiarkan mereka kekurangan dan kapiran.
Inilah yang kadang menampar saya sebagai orang beriman. Mungkin imanku lebih banyak khawatir padahal berkali-kali Ia mencukupi di detik-detik akhir. Imanku lebih banyak diisi was-was padahal Ia menemani terus sampai tuntas. Imanku lebih banyak gerutu dan huhu bila jalan dan usaha nampak buntu. Ah, tampak jauh dari kemurnian hati!
Dipanggil untuk Memuliakan Allah
Kisah kelahiran Yesus menurut kitab suci dimeriahkan paduan suara para malaikat. Menurut tradisi Yahudi, mensyukuri kelahiran biasanya orang akan memanggil grup musik dalam pesta syukur itu. Ketika Yesus lahir, grup musik itu adalah para malaikat. Para malaikat menyerukan puji-pujian kemuliaan untuk Allah. Malaikat pun juga melambungkan harapan akan kedamaian di bumi.
Bagaimana dengan para gembala? Para gembala setelah mendengar warta Malaikat, spontan mereka percaya, lalu pergi membuktikan. Selanjutnya, sebagaimana dicatat dalam kitab suci, mereka menjadi pewarta kelahiran Yesus. Sekali lagi kemurnian hati para gembala yang sederhana ini malah bisa menembus kehadiran Allah dalam wujud kemiskinan dan kerapuhan bayi di palungan. Hal ini mengingatkan kita pada kepala pasukan yang tetap mengakui Yesus sebagai Anak Allah meski mati mengenaskan di kayu Salib.
Kalau membaca dinamika para gembala ini: orang-orang yang selalu mengandalkan Allah dalam hidupnya, diberi anugerah luar biasa warta sukacita lalu memuliakan Allah dengan meneruskan warta sukacita itu. Kemurnian hatinya membuka anugerah yang tak terkira.
Natal tahun ini mengambil tema: "Pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain" (Matius 2:12). Orang-Orang Majus dari Timur setelah berjumpa dengan Sang Juru Damai berbalik hidupnya, melewati jalan baru. 'Jalan lain' bisa ditafsirkan dengan membangun cara hidup baru.
Apa pesan natal untuk kita? 'Jalan lain' itu bisa berwujud keberanian untuk terus memurnikan hati sebagaimana para gembala. Kemurnian hati itulah yang memampukan kita tetap bisa melihat bahwa Allah tetap hadir dalam kerumitan hidup sehari-hari. Bahkan di saat-saat kering, bahkan di saat sulit. Kemurnian hati itulah yang memampukan tetap memuliakan Allah bahkan dalam situasi yang tak mudah. Dan, semoga siapapun yang kesulitan merayakan natal tetap bisa menyalakan damai dan suka cita dalam hatinya. Damai di hati, damai di bumi. Selamat Natal!
Andreas Zu rohaniwan Katolik
(mmu/mmu)