Sinyal Proteksionisme Biden

ADVERTISEMENT

Kolom

Sinyal Proteksionisme Biden

Andi Kurniawan - detikNews
Jumat, 23 Des 2022 11:15 WIB
President Joe Biden speaks during the Commission on the Partnership for Global and Infrastructure Investment Meeting at the G20 summit, Tuesday, Nov. 15, 2022, in Nusa Dua, Bali, Indonesia. (AP Photo/Alex Brandon)
Presiden AS Joe Biden (Foto: AP/Alex Brandon)
Jakarta -

Kisah proteksionisme Amerika Serikat belum berlalu. Meskipun Donald Trump telah meninggalkan Gedung Putih sejak awal 2021 lalu, banyak negara kembali mengkhawatirkan kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act/IRA)) akan berimplikasi negatif terhadap aturan bisnis dan perdagangan yang adil. IRA merupakan kebijakan pemerintahan Joe Biden yang secara resmi disahkan pada Agustus 2022 dalam rangka mempercepat transisi AS menuju ekonomi rendah karbon.

Uni Eropa (UE) telah menyampaikan keprihatinannya bahwa aturan ini berpotensi merugikan perekonomian kawasan yang sedang menghadapi tantangan krisis energi, dan dampak perang Rusia-Ukraina. Pemerintah AS menyediakan anggaran sebesar US$ 430 miliar untuk mensubsidi industri ramah lingkungan dalam negerinya, termasuk kredit pajak untuk pabrik-pabrik yang mengembangkan komponen energi terbarukan. Fasilitas subsidi secara spesifik diberikan kepada beberapa industri strategis seperti kendaraan listrik, komoditas mineral, pengembangan pembangkit listrik dan energi bersih.

Kekhawatiran UE terhadap kebijakan ini cukup beralasan. Data UN Comtrade menunjukkan beberapa komoditas utama yang dijual UE ke AS dapat dihubungkan dengan potensi kerugian ekonomi bagi kawasan, termasuk produk farmasi yang menempati peringkat pertama dengan pangsa pasar sekitar 17% dari total impor AS dari UE, diikuti dengan produk permesinan dan kendaraan bermotor yang masing-masing memiliki pangsa pasar 14% dan 9%.

IRA dapat memicu relokasi secara signifikan fasilitas produksi dan investasi sejumlah sektor strategis ini dari UE ke AS, yang tentunya dapat berdampak negatif terhadap ketersediaan lapangan kerja di kawasan. Tidak hanya UE, beberapa negara produsen otomotif lain seperti Korea Selatan dan Jepang juga telah menyatakan keprihatinan mereka, karena sebagian besar kendaraan listrik yang mereka jual ke pasar AS dirakit di dalam negeri. Kondisi tersebut akan membuat mereka tidak memenuhi syarat untuk mengakses fasilitas kredit pajak dan dapat membuat harga jual relatif tidak kompetitif.

Riset dan Industri Padat Teknologi

Situasi ini mengingatkan kembali pemicu sengketa perdagangan antara China dan AS pada masa Presiden Donald Trump; AS mempermasalahkan industri berbasis teknologi China yang membanjiri pasar dan menuduh China sebagai 'pencuri' teknologi dari berbagai perusahaan AS yang dipaksa untuk membangun fasilitas produksi mereka di China. Salah satu pesan dari fenomena ini yang mungkin perlu mendapatkan perhatian serius adalah terkait dengan pembangunan teknologi industri dalam negeri.

Dalam struktur impor, terdapat beberapa produk padat teknologi yang memiliki nilai relatif signifikan seperti produk telepon seluler yang impornya meningkat tajam lebih dari 30% dari US$ 4,8 miliar pada 2017 menjadi US$ 6,3 miliar pada 2021, produk komponen traktor dan kendaraan bermotor untuk lebih dari 10 orang yang nilai impornya rata-rata di atas US$ 3 miliar pada periode tersebut, produk laptop beserta komponennya yang impornya meningkat sebanyak 50% dari US$ 2 miliar pada 2017 menjadi US$ 3 miliar pada 2021, dan impor produk sirkuit elektronik terintegrasi beserta komponennya yang melonjak lebih dari 80% dari US$ 1,5 miliar pada 2017 menjadi US$ 2,8 miliar pada 2021.

Sampai kapan kita akan bergantung kepada importasi ini? Industri otomotif ESEMKA menjadi kenangan ketika harapan dan optimisime untuk membangun mobil nasional tumbuh bersamaan dengan kepemimpinan baru. Sekarang, kita menargetkan untuk menjadi pusat produksi kendaraan listrik dan baterai listrik. Suatu semangat kebijakan yang perlu mendapatkan dukungan semua pihak karena dapat mempercepat pembangunan ekonomi hijau dan menggaet pasar otomotif global yang lebih besar.

Kendati demikian, pengembangan industri padat teknologi ini sebaiknya dibarengi juga dengan pengembangan riset-riset kolaboratif antara akademisi dengan praktisi industri, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Jepang, Korea Selatan, dan negara maju lainnya. Lembaga riset dan perguruan tinggi dapat berkembang menjadi pusat-pusat penelitian industri strategis nasional dengan karakteristik dan kemampuan spesifik yang dimiliki.

Di sisi lain, rendahnya komitmen pemerintah untuk memperkuat kebijakan berbasis riset dan pengembangan juga ditunjukkan dengan masih kecilnya persentase anggaran penelitian dan pengembangan terhadap produk domestik bruto yang hanya sekitar 0,28% pada 2020. Sementara itu, beberapa negara tetangga yang memiliki karakteristik industri yang relatif mirip dengan kita, Thailand dan Malaysia, persentasenya sudah rata-rata di atas 1%.

Pasar Non-Tradisional

Meskipun dampak IRA belum dapat dirasakan secara langsung oleh industri di Indonesia, sebaiknya langkah-langkah antisipatif perlu diupayakan dan dipersiapkan. Pada fase Perang Dagang Donald Trump, Indonesia termasuk menjadi salah satu negara yang masuk dalam daftar hitam defisit perdagangan AS bersama 15 negara lain. Indonesia beruntung karena tidak merasakan dampak signifikan dari ketegangan antara AS dan China saat itu.

IRA berpotensi untuk menekan perekonomian UE dan beberapa mitra perdagangan Indonesia. Dengan tingginya harga migas, perekonomian sudah cukup tertekan oleh perseteruan antara Rusia dan Ukraina. IRA dapat berdampak melesunya pasar UE dan meningkatkan tensi perang subsidi yang mungkin dapat merugikan produk-produk ekspor kita. Mendorong kinerja kedutaan dan kantor perwakilan RI untuk penguatan dan perluasan pasar non-tradisional dapat menjadi pilihan antisipatif.

Selain itu, pekerjaan rumah terkait dengan transisi energi sebaiknya dapat segera dirampungkan. Ketergantungan kepada energi fosil untuk industri dan rumah tangga dapat berdampak negatif terhadap keamanan energi di tengah situasi geopolitik dan fluktuasi harga energi dunia yang tidak menentu. Anugerah alam luar biasa berlimpah, seharusnya Indonesia sudah bisa menjadi salah satu penghasil energi terbarukan dunia.

Andi Kurniawan dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta

(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT