Jika Profesor Muladi masih hidup, kemungkinan orang yang paling berbahagia atas persetujuan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang saat ini adalah dia. Saat penundaan pengesahan RKUHP pada 2019, detikcom memuat wawancara (Eksklusif Blak-Blakan) punggawa hukum pidana ini, yang dalam salah satu cuplikan dialognya mengemukakan kekecewaan yang paling dalam atas penundaan tersebut.
"Mungkin yang lain berhak untuk kecewa, tapi yang paling kecewa adalah saya." Kekecewaan itu bukan tanpa dasar, mengingat RKUHP seharusnya telah disahkan menjadi Undang-Undang pada 2019, namun dibatalkan oleh Presiden, dengan pertimbangan kurang masifnya sosialisasi dan komunikasi terhadap stakeholder. Alhasil Ketua Tim Perumus RKUHP yang sudah terlibat sejak 36 tahun lalu itu pun harus menunda pencapaian buah pikirnya dan para gurunya, seperti Prof. Sudarto, Prof. Oemar Seno adji, Prof. Roeslan Shaleh, dan Prof. Moeljatno. Bahkan hingga akhir hayatnya pada Desember 2020 , RKUHP belum juga rampung untuk kembali disetujui di Paripurna.
Merumuskan RKUHP memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, mengingat KUHP merupakan cerminan suatu peradaban bangsa. Jika menggunakan ungkapan ahli hukum Belanda, Hermann Mannheim, "Final court is the most faithful mirror of civilization of the nation." Betapa tidak, melalui KUHP, negara yang merupakan organisasi paling otoritatif dapat menentukan mana yang dilarang dan diancam dengan hukuman bagi pelanggar ketentuan tersebut.
Politik negara dalam menentukan mana yang harus dilarang dan diancam dengan hukuman inilah yang menjadi pekerjaan paling berat dan relatif menyita waktu yang cukup lama. Sebab, tidak semua perbuatan tercela dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana (MR. Roeslan Saleh, 1980). Sebagai contoh, perbuatan berbohong secara alamiah akan dinilai sebagai suatu tindakan yang tercela, namun tidak berarti hal demikian dapat secara langsung ditentukan sebagai suatu delik dalam hukum pidana.
Berbeda halnya jika kebohongan tersebut dilakukan di bawah sumpah pengadilan, maka terdapat ketentuan pidana yang lazimnya mengatur kondisi tersebut. Oleh karena postulat tersebut, maka dapat dipahami bahwa tugas pemerintah dinilai cukup berat, ika tidak ingin disebut mustahil, sebab negara harus menyaring berbagai nilai-nilai yang hidup di seluruh masyarakat untuk selanjutnya diadaptasi menjadi hukum.
Terlebih dalam konteks Indonesia, kondisi sosial kultural negara dihuni oleh masyarakat heterogen dan multikultural. Tentu secara alamiah dalam perjalanannya akan melahirkan gesekan pada keberlakuan suatu tatanan nilai dan bahkan norma (clash of norm), sebab bisa jadi hal yang dianggap sebagai ketercelaan pada kelompok masyarakat tertentu justru dinilai sebagai suatu yang lazim dan tidak tercela, begitu pula sebaliknya.
Sebagaimana pada kondisi saat ini, di mana KUHP baru disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang dan belum disahkan oleh Presiden --terdapat perbedaan antara persetujuan dan pengesahan-- beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merilis beberapa pasal yang menurut mereka kontroversial, seperti salah satunya mengenai permasalahan kohabitasi atau larangan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.
Dalam argumentasi mereka, penolakan terhadap keberlakuan pasal tersebut dikarenakan negara dinilai terlalu jauh mencampuri ruang privat masyarakat. Terlebih dalam praktiknya, hubungan seksual tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan relatif tidak merugikan pihak lain.
Sedangkan di lain sisi, pandangan yang berbeda justru lahir dari kelompok masyarakat tertentu yang mendukung keberlakuan pasal tersebut, bahkan jauh-jauh hari sebelum berita persetujuan RKUHP belakangan mengemuka. Pada 2018 misalnya, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) pernah mencoba untuk memperluas makna Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP,yang mengatur tentang larangan hubungan seksual dengan pasangan lain bagi seorang yang telah terikat perkawinan.
Dalam pandangan AILA, pasal tentang larangan hubungan seksual tidak hanya mencakup pasangan yang sudah terikat perkawinan, melainkan juga kepada mereka yang belum terikat perkawinan. Bahkan lebih luas lagi, AILA memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperluas arti larangan hubungan seksual yang tidak hanya mencakup laki-laki dengan wanita, melainkan juga sesama jenis. Namun demikian, sekokoh apapun argumentasi AILA ketika itu, MK menolak.
Dalam Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, MK menjelaskan bahwa berbagai ketentuan tersebut harus diatur melalui DPR, mengingat terdapat ketentuan ancaman hukum minimal dan maksimal yang harus dirumuskan oleh Positif Legislator yaitu DPR dan bukan melalui Negatif Legislator seperti MK.
Memang cukup dilematis menentukan norma mana yang harus dimuat dalam KUHP dan mana yang tidak harus dimuat. Seperti putusan MK dalam permohonan perluasan makna larangan hubungan seksual bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Di satu sisi, dengan ditolaknya permohonan AILA, beberapa kalangan aktivis menilai langkah tersebut sebagai angin segar terhadap kebebasan sipil. Namun di lain pihak bagi kelompok yang mendukung perluasan makna hubungan seksual tersebut tentu akan menjustifikasi bahwa MK telah mendukung aktifikasi kelompok LGBT yang bertentangan falsafah kehidupan bangsa Indonesia.
Kondisi demikian relatif juga terjadi di pihak Legislatif, di mana gesekan nilai maupun meta norma akhirnya menjadi dasar utama Panitia Kerja (Panja) RKUHP dalam merumuskan norma suatu pasal. Dalam konteks kohabitasi, akhirnya perumus RKUHP memperkenalkan jalan tengah dengan mengkonstruksikan ketentuan larangan hubungan seksual di luar perkawinan baru dapat menjadi delik, ketika adanya pengaduan dari pihak korban ataupun orangtua dan anak korban.
Selain itu, delik tersebut dikonsepsikan sebagai suatu tindak pidana ringan (tipiring) dengan ancaman hukuman 6 bulan. Namun demikian, Perumus RKUHP tidak menghapus larangan kohabitasi, mengingat penghapusan tersebut akan memancing reaksi baru dari kelompok masyarakat lain.
Selain itu, kendati tidak ada korban (individu) dari praktik kohabitasi, namun dalam perspektif modern, terdapat paradigma lingkungan (sosial) yang merupakan korban, khususnya bagi kalangan yang menganut nilai religiusitas yang tinggi. Dengan demikian, penolakan RKUHP bukanlah merupakan jalan yang utama dalam menghadapi problematika tersebut, sebab hal itu hanya akan memendam gesekan dalam sosial kultural yang selama ini sudah berlangsung akibat dipertahankannya KUHP kolonial selama ini.
Sudah waktunya Indonesia mulai melakukan dekolonialisasi, konsolidasi, dan harmonisasi berbagai meta-nilai yang ada di masyarakat, untuk dipadukan ke dalam ketentuan hukum formil, dengan memperkenalkan wajah hukum pidana Indonesia saat ini. Tentu hal ini juga harus disertai pemahaman yang mendalam oleh seluruh elemen masyarakat, bahwa apa yang menurut mereka itu suatu perbuatan lazim, bisa jadi mengandung nilai ketercelaan (mala in se) bagi masyarakat lain.
Dengan demikian, dibutuhkan sikap berhukum yang paripurna dalam setiap individu ketika membaca konstruksi KUHP yang baru ini. Tentu tidak ada hukum buatan manusia yang sempurna, namun setidaknya kita dapat memanfaatkan buah pikir Prof. Muladi dan para pendahulunya, sambil kita mencoba memperbaiki melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
Alif Fachrul Rachman Associate at Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini