Qatar, Piala Dunia, dan Wajah Islam

ADVERTISEMENT

Kolom

Qatar, Piala Dunia, dan Wajah Islam

Marthunis - detikNews
Kamis, 22 Des 2022 11:17 WIB
Marthunis, Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh (dok Istimewa)
Foto: Marthunis, Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh (dok Istimewa)
Jakarta -

Gelaran Piala Dunia kali ini memberi banyak kejutan. Terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah sudah menjadi kejutan tersendiri. Satu-satunya negara muslim yang menjadi penyelenggara pesta sepakbola terakbar sejagat dalam kurun 92 tahun sejarah perhelatan Piala Dunia.

Negara-negara barat bereaksi dengan berbagai tudingan negatif terhadap Qatar. Mulai dari isu pelanggaran HAM hingga kecaman terhadap larangan lesbian, gay, bisexual, transgender, dan queer (LGBTQ). Sebagai negara muslim, otoritas Qatar tetap bergeming, tidak ingin menggadaikan identitas keislaman mereka hanya demi 28 hari penyelenggaraan Piala Dunia.

Sebaliknya, mereka malah mempromosikan wajah Islam yang moderat dan rahmatan lil a'lamin kepada dunia. Islam yang santun dan terbuka terhadap pelbagai perbedaan.

Penampilan Ghanim Al Muftah, YouTuber asal Qatar yang didampingi aktor asal Amerika Serikat, Morgan Freeman, dalam upacara pembukaan yang menampilkan teatrikal mengenai potongan ayat suci Al-Qur'an (surat Al-Hujurat ayat 13) menyoroti tentang kesetaraan derajat manusia di mata-Nya, seolah ingin mengirimkan pesan kepada dunia betapa Islam adalah agama yang membawa kebaikan bagi seluruh manusia dan semesta.

Tidak seperti yang disangkakan sebagian besar orang-orang barat yang sudah terlanjur membenci Islam, bahkan sebelum mengenal dan mempelajarinya dengan baik.

Namun di saat yang sama, Qatar juga secara ketat dan tegas melarang hal-hal yang prinsipil; meminum bir di sembarang tempat, dan larangan terhadap simbol maupun komunitas LGBTQ. Larangan terhadap dua hal ini telah memantik respon negatif dari negara-negara barat dan Eropa. Atas nama HAM, mereka seperti hendak mengajari Qatar dengan standar moral yang mereka percaya.

Di sinilah terkadang barat menunjukkan kemunafikannya. Norma moral yang mereka percaya seolah-olah ingin mereka paksakan sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran standar moral yang harus dipercaya dan dianut semua orang di dunia. Tanpa menghargai dan mau menerima bahwa terdapat perbedaan norma moral atas nama agama, budaya, dan lainnya.

Lalu di saat yang sama mereka berteriak HAM dan toleransi? Sungguh ironis bukan?

Qatar telah memberi pelajaran kepada dunia bahwa apa yang dianggap sah dan legal dalam aturan internasional belum tentu sesuai dengan norma moral (what is legal is not always moral) yang dipercaya dan dianut oleh suatu agama, komunitas, atau budaya.

Di sisi lain, Qatar telah merepresentasikan Islam dengan sangat baik. Islam yang ramah, terbuka, bersahabat, dan humanis. Islam yang menjaga maslahat individu dan hak-hak publik.

Sebagai contoh, Ellie Mollosom (EM) seorang suporter Inggris asal Nottingham yang awalnya khawatir ketika datang ke Qatar guna mendukung negaranya terpaksa mengajak ayahnya ikut serta demi menjaga keamanannya. Begitu terkejutnya EM ketika mendapati betapa aman dan ramahnya Qatar terhadap wanita. Padahal lebih dari 70 persen populasi di Qatar adalah laki-laki. Tapi, tidak sedikit pun EM mengalami pelecehan seksual selama berada di Qatar sebagaimana lazimnya yang dialami wanita-wanita di Inggris ketika menonton sepakbola di negaranya.

Refleksi Islam Wasthiyah atau moderat yang ditampilkan oleh muslim Qatar tentu tidak dibangun dalam satu malam. Ruang pendidikan berperan besar di sana. Mendidik pemeluknya bukan hanya menjadi muslim yang taat kepada Tuhan-Nya, namun juga cakap dalam bermuamalah dengan sesama manusia.

Qatar baru saja menyudahi hajatan akbarnya dengan Argentina keluar sebagai kampiun setelah terakhir kali mengangkat piala di tahun 1986. Dunia patut menyelamati Qatar karena telah menjadi tuan rumah yang baik. Bahkan Presiden FIFA, Gianni Infantino, memuji Piala Dunia Qatar sebagai yang terbaik sepanjang sejarah.

Ketika Qatar mampu secara elegan menunjukkan citra Islam yang rahmatan lil alamin kepada dunia melalui perhelatan sepakbola. Di negeri yang notabene memiliki jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia malah menunjukkan sikap sebaliknya.

Nyatanya sebagian oknum di negeri ini masih cenderung menafsirkan Islam secara sempit. Perkara Islam hanyalah menyoal rumah ibadah yang berdiri megah. Kesejahteraan umat dalam aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan luput dari perhatian.

Mungkinkah sikap tersebut berpangkal dari ruang pendidikan kita? Ajaran Islam yang kita dapati di ruang kelas atau balai-balai pengajian lebih banyak menyoal perkara ibadah? Meskipun tidak ada salahnya, namun porsi bahasan mengenai bagaimana hubungan sesama manusia seharusnya dibangun rasanya minim sekali.

Ibadah pun sering dimaknai terbatas dalam bentuk ritual belaka. Padahal berhubungan baik terhadap sesama manusia adalah salah satu ibadah terbaik yang seyogyanya dilakoni seorang muslim.

Teladan nabi Muhammad SAW dalam narasi sejarah pun lebih banyak memuat mengenai kemuliaan sikapnya dalam bermuamalah sesama manusia dibandingkan bahasan mengenai aspek-aspek ritual ibadah.

Oleh karena itu, tidak habis pikir rasanya ketika Wali Kota Depok berencana merelokasi SDN 01 Pondok Cina demi pembangunan Masjid. Padahal Depok dan seputaran area sekolah tersebut sama sekali tidak kekurangan masjid.

Lalu, bukankah membangun mesjid merupakan pekerjaan mulia? Benar, selama tidak mengebiri hak-hak mendasar orang lain. Apalagi merenggut hak anak-anak yang sedang belajar dengan nyaman di sekolahnya.

Padahal perintah untuk belajar dan menuntut ilmu dalam Islam sudah diterima oleh Nabi Muhammad SAW sejak wahyu pertama jika dibandingkan ibadah lainnya.

Jika relokasi ini sampai terjadi. Hal ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kita baik pada aspek legal dan moral. Kemudian imej Islam pun akan tampak buruk di mata publik. Islam yang pongah dan merasa gagah karena berdirinya rumah Tuhan (mesjid) yang megah, namun merampas hak-hak orang lain pada saat yang sama. Semoga saja hal tersebut tidak terjadi!

Sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, sudah semestinya wajah Islam Indonesia adalah Islam yang menjaga kemaslahatan individu serta hak-hak publik. Mengayomi, humanis, dan menyejukkan sehingga mencerminkan citra Islam yang rahmatan lil a'lamin. Sebagaimana Qatar yang telah mengirimkan pesan kepada dunia betapa mulianya ajaran Islam.

Marthunis, Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh

Simak juga 'Final Piala Dunia 2022 Pecahkan Rekor Pencarian di Google':

[Gambas:Video 20detik]



(mae/mae)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT