Pemulihan kegiatan ekonomi di sektor industri pariwisata mulai tampak sejalan dengan melandainya kasus Covid-19 dan pelonggaran pembatasan mobilitas serta interaksi sosial. Selama masa pandemi Covid-19 industri pariwisata menerima dampak buruk terbesar sebagai akibat dari upaya pengendalian penyebaran pandemi. Larangan bepergian menyebabkan industri pariwisata mengalami pertumbuhan negatif sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja yang masif dan meningkatnya angka pengangguran.
Strategi mempercepat proses pemulihan pariwisata menjadi isu menarik dalam diskusi pada acara "Flagship Diseminasi Laporan Nusantara serta Launching Buku Manufaktur dan Pariwisata" yang digelar Bank Indonesia beberapa waktu yang lalu. Beberapa isu dan strategi pemulihan pariwisata banyak terungkap dalam buku yang dirilis, Pariwisata Indonesia: Bertahan di Masa Pandemi, Bersiap Bangkit Lebih Kuat, sehingga menarik untuk didiskusikan.
Berlanjutnya pelonggaran mobilitas sosial sejak awal 2022 memunculkan optimisme bagi percepatan pemulihan pariwisata. Sejak itu, kegiatan ekonomi di industri pariwisata mulai menunjukkan pertumbuhan positif. Dalam tiga triwulan terakhir pada 2022, sektor transportasi dan pergudangan berturut-turut tumbuh sebesar 15,79%, 21,27%, dan 25,81%. Sementara itu, pada periode yang sama sektor penyediaan akomodasi dan makan minum juga bertumbuh positif dengan angka 6,56%, 9,76%, dan 19,83%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data tersebut menunjukkan bahwa industri pariwisata mulai bangkit setelah dua tahun sebelumnya, 2020 dan 2021, mengalami kontraksi yang mendalam. Pada periode Januari-September 2022 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) hanya 2,27 juta kunjungan atau 23,3% dari total wisman yang berkunjung pada periode yang sama pada 2019 (sebelum pandemi). Merebaknya virus Omicron pada awal 2022 menyebabkan beberapa negara kembali menerapkan kebijakan pembatasan mobilitas sosial sehingga menekan laju perkembangan kunjungan wisman ke Indonesia.
Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) memprediksikan bahwa pemulihan pariwisata internasional baru akan tercapai pada 2024 mengingat situasi ekonomi yang tidak menentu. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi yang masih lambat sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang belum berakhir di beberapa tempat di dunia.
Selain itu, konflik antara Ukraina dan Rusia berkontribusi terhadap mahalnya harga tiket pesawat karena menyebabkan terganggunya pasokan bahan bakar di pasar internasional. Beberapa negara bahkan menerapkan larangan/pembatasan bepergian (travel restriction) ke luar negeri.
Kondisi ini juga turut mempengaruhi pertumbuhan industri pariwisata di Indonesia. Ke depan tren perjalanan wisatawan Nusantara (wisnu) akan memberikan andil yang signifikan terhadap pemulihan pariwisata nasional.
Akselerasi Pemulihan
Menghadapi ketidakpastian global yang makin meningkat, momentum pemulihan pariwisata perlu terus diperkuat. Terganggunya rantai pasok global akibat perang Ukraina dan Rusia, inflasi energi dan pangan global yang relatif tinggi, risiko stagflasi dan resesi di beberapa negara menjadi tantangan berat yang harus dihadapi dalam proses pemulihan pariwisata.
Dalam situasi seperti ini dukungan kepada peran wisnu perlu dioptimalkan guna mendukung percepatan pemulihan pariwisata. Untuk itu ada beberapa langkah strategis yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kebijakan pelonggaran akses wisman dan mobilitas wisnu perlu terus dioptimalkan dengan tetap memprioritaskan keamanan mengingat pandemi belum berakhir.
Kedua, penerapan disiplin protokol kesehatan masih perlu dipertahankan dan sertifikasi cleanliness, healthy, safety, dan environment sustainability (CHSE) perlu diperkuat. Hal ini penting untuk meningkatkan keyakinan dan kenyamanan wisatawan yang berkunjung.
Ketiga, berbagai stimulus dan insentif perlu dioptimalkan untuk mendorong percepatan pemulihan kinerja pelaku usaha pariwisata. Kemudahan dalam akses finansial dan insentif suku bunga perlu diberikan mengingat banyak sarana pendukung pariwisata yang perlu direnovasi setelah sempat tidak digunakan selama pandemi.
Keempat, dalam jangka pendek pencepatan pemulihan pariwisata dapat dilakukan dengan mendorong dan mendukung penyelenggaraan meeting, incentive, conference, dan exhibition (MICE) yang menunjukkan tren makin meningkat. Beberapa event besar termasuk sport events skala internasional, side events dari G20, dan Kharisma Event Nusantara (KEN) di berbagai daerah telah menjadi daya tarik kunjungan wisatawan.
Kelima, penyelenggaraan kampanye Bangga Berwisata di Indonesia (BBWI) dengan berbagai rangkaian kegiatannya seperti event internasional F1 H20 (Kejuaraan Dunia Perahu Motor Formula 1) di Danau Toba, MotoGP, dan WSBK yang lalu telah berhasil meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Ke depan kegiatan semacam itu perlu mendapatkan dukungan yang optimal dari semua pihak.
Tren Berwisata
Tren berwisata model baru kini muncul sebagai akibat dari proses adaptasi terhadap pandemi Covid-19. Pembatasan mobilitas sosial dan menjaga jarak fisik memunculkan pola budaya kerja yang semakin mengandalkan teknologi digital. Pekerja dapat menyelesaikan pekerjaan tanpa terpaku pada satu tempat dan dalam satu waktu sehingga mereka dapat melakukannya sambil berwisata.
Perubahan konsep dalam bekerja dengan menggabungkan unsur berlibur dengan bekerja (workcation) merupakan evolusi dari kombinasi perjalanan bisnis dan wisata (bleisure). Bleisure merupakan konsep berwisata sebelum pandemi yaitu mengaitkan wisman dengan penyelenggaraan MICE di destinasi wisata. Perubahan tren dari bleisure ke workcation diperkirakan akan meningkatkan masa tinggal Wisman yang lebih panjang sehingga pengeluarannya juga menjadi lebih besar.
Dengan demikian, pengembangan pariwisata yang sebelumnya lebih berorientasi pada kuantitas (mass tourism) beralih ke pariwisata berkualitas (quality tourism). Ke depan, pengembangan pariwisata diarahkan pada peningkatan lama tinggal dan pengeluaran wisatawan dengan meningkatkan aksesibilitas, atraksi, dan amenitas (fasilitas pendukung). Ini sejalan dengan tren baru pariwisata yang lebih mengutamakan basic competitiveness, uniqe experience, high value, dan sustainability.
Perusahaan perjalanan Amerika Serikat, Expedia, memperkirakan bahwa ke depan faktor pendorong utama keputusan perjalanan adalah kualitas yang baik terkait dengan mindfulness, sensation-seeking, culture immersion, atau pengaturan akomodasi/perjalanan yang berkualitas. Perjalanan wisata ditujukan untuk melakukan aktivitas yang memberikan kedamaian, kebahagiaan, dan kesenangan termasuk dengan cara-cara yang kurang konvensional.
Para wisatawan juga ingin merasakan budaya baru, kuliner, bahasa, dan bepergian ke tempat yang underrated (diremehkan). Wisatawan juga ingin terhubung dengan alam dan berwisata secara unplugged (tidak terkoneksi dengan gadget) sehingga aktivitas seperti berkemah, ekowisata, dan glamping (berkemah dengan cara yang mewah) akan tetap populer.
Melihat tren tersebut, pelaku pariwisata harus menyesuaikan bisnis mereka agar dapat bertahan di tengah ketidakpastian global saat ini. Dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan terutama terkait dengan kebijakan dan regulasi, serta penyediaan berbagai insentif dan stimulus untuk pelaku pariwisata. Dengan demikian, harapan bahwa sektor pariwisata dapat berkontribusi signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesempatan kerja, dan memperbaiki pemerataan pendapatan secara berkelanjutan dapat terwujud.
Mansur Afifi Guru Besar Ekonomi Universitas Mataram
Simak juga 'Sinyal Jokowi Hentikan PPKM Akhir Tahun Ini':