Displaced Commercial Risk: Perilaku Deposan Bank Syariah Indonesia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Displaced Commercial Risk: Perilaku Deposan Bank Syariah Indonesia

Rabu, 21 Des 2022 11:19 WIB
Masniari Nasution
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pegawai berjalan di Bank Syariah Indonesia (BSI) usai diresmikan di Jakarta, Senin (1/2/2021). Presiden Joko Widodo meresmikan BSI yang menandai telah tuntas dan rampungnya proses merger tiga bank syariah milik Himbara yakni PT Bank BRIsyariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri dan PT Bank BNI Syariah. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Jakarta -

Pertumbuhan ekonomi dari suatu negara dapat dilihat dari keberadaan lembaga keuangannya. Artinya bahwa lembaga keuangan di suatu negara memiliki aspek urgentsitas terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kedudukan lembaga keuangan sangat strategis dalam menggerakkan roda perekonomian sehingga tidak ada satupun negara yang hidup tanpa mengenal lembaga keuangan. Bank menjadi salah satu lembaga keuangan yang menjadi salah satu penentu kemajuan perekonomian dari suatu bangsa.

Eksistensi dari lembaga perbankan sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu wilayah. Hal ini seperti yang terlihat di kota-kota besar di Indonesia dimana ada beberapa bank, baik bank konvensional maupun bank syariah di mana kehadirannya menjadi salah satu pertanda penggerak ekonomi masyarakat. Tentunya bank sebagai lembaga perantara keuangan seharusnya mampu melakukan mekanisme pengumuman dana secara berimbang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Demi tercapainya hal itu, maka perlu adanya kejelasan sistem operasional perbankan. Maraknya lembaga keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah kontemporer ini merupakan suatu fenomena aktual yang menarik untuk dicermati.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1992, perbankan di Indonesia menerapkan dual banking system, di mana konsep perbankan syariah menjalankan usahanya berdampingan dengan perbankan konvensional yang sudah sejak lama diterapkan di Indonesia. Sejak pertama kali berdiri hingga kini perbankan syariah sudah memiliki 15 Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 Unit Usaha Syariah (UUS) dengan total aset mencapai Rp.610.488 Miliar. Namun demikian, jumlah tersebut tidak sebanding dengan Rp 9.722,680 Miliar total aset yang dimiliki oleh perbankan konvensional. Artinya perbankan syariah selama 30 tahun berdiri hanya menguasai 6 persen dari total aset perbankan nasional, jumlah yang tidak seharusnya mengingat penduduk Indonesia adalah mayoritas muslim dan terbesar di dunia.

Sementara itu, selama tahun 2021 data menunjukkan aset industri keuangan syariah telah mencapai Rp 2.050,44 triliun atau tumbuh 13,82 persen year on year (yoy), dengan aset Industri perbankan syariah tumbuh 13,94 persen yoy. Sementara itu, aset industri keuangan non-bank syariah tumbuh positif sebesar 3,90 persen yoy di tahun 2021. Pada saat yang sama, industri pasar modal syariah menunjukkan pertumbuhan yang tampak dari kapitalisasi pasar Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) mencapai Rp3.983,65 triliun atau tumbuh 19,10 persen yoy di tahun 2021.

ADVERTISEMENT

Mengingat urgensi pendanaan bagi operasional suatu perbankan maka persaingan antara perbankan syariah dan konvensional dalam memperebutkan nasabah tidak bisa dihindari. Dengan tingkat bagi hasil yang menjanjikan diharapkan bisa menarik minat nasabah untuk menempatkan saldonya.

Bagi masyarakat yang religius maka tidak akan menjadi problem tersendiri untuk perbankan syariah karena nasabah dapat memilih alternatif bank syariah dalam menempatkan saldonya. Nasabah religius tidak akan excited untuk mengalihkan saldonya pada bank konvensional meskipun tingkat bagi hasil yang ditawarkan lebih tinggi daripada perbankan syariah.

Namun demikian pada kenyataanya, perbankan syariah juga menghadapi nasabah rasional yang berorientasi pada keuntungan termasuk didalamnya nasabah non-muslim. Dalam kondisi ini timbul risiko terjadinya migrasi risiko dari perbankan syariah ke perbankan konvensional. Risiko inilah yang lebih dikenal sebagai Displaced Commercial Risk (DCR) yaitu risiko tidak kompetitifnya bagi hasil deposito bank syariah dibandingkan suku bunga deposito bank konvensional. DCR dapat mengimplikasikan nasabah untuk memigrasikan dananya pada bank konvensional.

Beberapa penelitian mengenai keberadaan DCR pada perbankan syariah telah dilakukan Zeitun (2012) yang berhasil mengidentifikasi terdapat kecenderungan deposan untuk mengalihkan saldonya kepada bank konvensional disebabkan suku bunga deposito yang ditawarkan lebih tinggi daripada bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah. Sementara itu Omet dan Yaseen (2015) menyatakan terdapat perilaku disiplin pasar (market discipline) yang dilakukan oleh deposan, di mana deposan memberikan sanksi pada bank yang mengambil risiko tinggi dengan menarik saldonya. Dengan demikian penarikan saldo yang dilakukan oleh deposan tidak hanya dikarenakan oleh persaingan bagi hasil yang diberikan, tetapi juga sebagai respon deposan atas pengambilan risiko yang berlebihan oleh bank. Oleh karena itu, artikel ini akan menganalisis 2 perilaku deposan perbankan syariah yang disebabkan oleh DCR dan disiplin pasar (market discipline).

Menurut penelitian Fatoni Ahmad dkk (2019) DCR dapat terjadi apabila kinerja aset bank memburuk. Respon negatif signifikan Aktiva Produktif Bermasalah (APB) terhadap pertumbuhan deposan dengan tingkat signifikansi 5% turut mendukung adanya DCR pada bank syariah. Risiko yang diterima oleh deposan digeser kepada bank syariah dengan memberikan sebagian haknya kepada deposan. Adapun asar deposan bank syariah hanya terjadi pada rasio APB dan FDR. Sedangkan rasio lainnya yaitu CAR, BOPO dan NOM deposan tidak perlu mendisiplinkan bank syariah. Hal tersebut menunjukkan disiplin pasar deposan bank syariah masih lemah.

Muara akhir dari artikel ini dapat diketahui bahwa Commercial Risk (DCR) sebagai risiko khusus yang harus dihadapi oleh bank syariah sebagai konsekuensi dari risiko tingkat pengembalian bagi hasil usaha di mana bank syariah memiliki kewajiban untuk membayar pengembalian hasil usaha melebihi yang semestinya ketika tingkat bagi hasil berada di bawah tingkat bunga yang ditawarkan oleh kompetitor sebagai usaha mempertahankan investor.

Keputusan Bank Syariah untuk memberikan haknya atau bagiannya tentunya sebagai mudharib kepada investor dikategorikan sebagai kebijakan komersil. DCR menunjukkan bahwa bank syariah tidak dapat membayar tingkat bagi hasil yang kompetitif dibandingkan dengan kompetitor lainnya baik dari bank konvensional maupun syariah. Kondisi yang demikian dapat terjadi saat bank syariah mempunyai kinerja buruk selama suatu periode dan tidak dapat menghasilkan keuntungan yang memadai untuk membayar deposan. Oleh karena itu jika bank tidak mampu memberikan tingkat bagi hasil deposito yang kompetitif maka deposan akan memindahkan saldonya ke bank (syariah atau konvensional) yang mampu membayar tingkat bagi hasil yang lebih baik.

Masniari Nasution, S. Pd.

(ads/ads)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads