Toleransi Mazhab Negara
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Toleransi Mazhab Negara

Rabu, 21 Des 2022 12:00 WIB
M Hasibullah Satrawi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
M Hasibullah Satrawi (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Pada tahap tertentu, perkembangan toleransi di Indonesia bisa dikatakan mengalami perbaikan (tentu dengan catatan-catatan yang harus diperhatikan). Hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas mutakhir terkait toleransi di Indonesia merekam kecenderungan positif toleransi di satu sisi, tapi sarat dengan kewaspadaan di sisi yang lain (Kompas, 14/11).

Terkait pertanyaan apakah masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai toleransi, contohnya, mayoritas responden menjawabnya secara positif (62.2%). Tapi ketika ditanya dalam hal apakah sikap tenggang rasa harus ditingkatkan, mayoritas responden menyebut perbedaan agama (47.6%).

Hasil jajak pendapat ini bisa dipahami bahwa sebagai hal positif, masyarakat cenderung mengakui perkembangan positif dari toleransi. Tapi ketika terkait pertanyaan praktik toleransi, perbedaan mulai mengemuka di kalangan masyarakat; apakah toleransi harus "membiarkan" umat agama lain? Apakah toleransi harus membiarkan keburukan (untuk tidak mengatakan kemaksiatan)? Dan perbedaan lebih tajam akan terjadi ketika ditanya siapa yang toleran dan siapa yang intoleran?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sinilah letak kompleksitas toleransi. Pada tahap pelaku seperti ini, seorang teroris pun tidak mau disebut sebagai teroris. Bahkan Imam Samudra pun mengaku sebagai pejuang melawan teroris. Pada masa seperti sekarang, kompleksitas ini menjadi bertambah runyam karena masih ada sisa-sisa polarisasi dari Pemilu 2019 antara yang pro dan anti terhadap Jokowi.

Dari sisi aksi yang bersifat pelanggaran hukum, catatan terkait toleransi dan kerukunan beragama belakangan ini memang mengalami perbaikan, khususnya bila dibanding tahun-tahun sebelumnya. Disebut demikian, mengingat pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah acap dianggap tidak bersikap tegas terhadap praktik intoleransi bahkan radikalisme dan terorisme. Bahkan tak jarang sikap aparat justru dianggap berpihak kepada pelaku intoleransi.

ADVERTISEMENT

Oleh karenanya, perbaikan iklim toleransi dalam beberapa tahun terakhir bisa disebut sebagai hasil dari catatan toleransi dan intoleransi beberapa tahun sebelumnya. Bila dahulu pelaku intoleransi cenderung dibiarkan, kali ini pelaku intoleransi justru kerap berhadapan dengan penegakan hukum. Bila waktu-waktu sebelum ini pemerintah dianggap membiarkan kelompok radikal, kali ini pemerintah justru acap memberangus kaum radikal. Bahkan pemerintah secara aktif mengeluarkan sejumlah kegiatan yang diharapkan bisa menyemai kehidupan masyarakat yang toleran dan menjaga kerukunan seperti moderasi beragama, pendidikan Pancasila dan yang lainnya.

Kewajiban vs Kesadaran

Pertanyaannya, apakah dengan demikian persoalan intoleransi dan radikalisme menjadi terselesaikan? Apakah menara-menara toleransi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan juga kebebasan berkeyakinan menjadi tegak di pelosok-pelosok Bumi Pertiwi.

Ternyata jawabannya belum. Sebaliknya, ancaman intoleransi dan radikalisme terus datang dari waktu ke waktu. Pada tahap tertentu, hasil jajak pendapat Litbang Kompas di atas juga mengkonfirmasi ini. Di mana ada 47.6% responden yang menjawab perbedaan agama sebagai wilayah yang harus ditingkatkan untuk meningkatkan sikap tenggang rasa. Dengan kata lain, perbedaan agama masih dianggap sebagai sesuatu yang rawan dalam konteks toleransi di tengah-tengah masyarakat.

Pun demikian dengan ancaman radikalisme dan terorisme yang belakangan justru semakin nekat bahkan acap melibatkan kaum perempuan dan juga anak-anak. Penangkapan perempuan muda yang mencoba menerobos Istana Merdeka beberapa waktu lalu bisa dijadikan sebagai contoh terbaru dari ancaman radikalisme dan terorisme yang jauh dari kata selesai.

Dalam hemat saya, bisa jadi, perbaikan iklim toleransi yang terjadi belakangan ini lebih sebagai kewajiban daripada sebuah kesadaran. Yaitu kewajiban akibat sejumlah ketentuan dan peraturan yang diterapkan oleh pemerintah ataupun negara. Hingga semua pihak berbicara tentang toleransi, moderasi beragama, pendidikan Pancasila dan yang lainnya. Inilah yang saya maksud dengan istilah toleransi mazhab negara.

Hal yang mungkin luput dari perhatian selama ini adalah bahwa kehadiran pemerintah atau penegak hukum atau negara yang mewajibkan toleransi justru mengisap sumsum toleransi. Hingga toleransi yang tersaji tak lagi menyajikan kenyamanan dan kenikmatan persaudaraan dan kerukunan yang menyehatkan bagi bangsa ini.

Inilah catatan penting dari pengalaman toleransi belakangan yang belum tercatat dalam pengalaman toleransi sebelumnya yang bahkan mengharapkan pemerintah/negara menjadi penegak atau bahkan mengharuskan toleransi. Padahal toleransi mazhab pemerintah justru mengeringkan substansi utama toleransi itu sendiri.

Penghormatan

Pada akhirnya, toleransi adalah penghormatan yang murni dari komponen masyarakat terhadap komponen masyarakat lainnya. Penghormatan ini tidak akan berkembang secara optimal dari ketentuan atau peraturan yang bersifat memaksa. Sebab tak ada penghormatan dalam sebuah paksaan, terlebih lagi dalam keterpaksaan.

Dalam hemat saya, penghormatan inilah yang ada di balik teori-teori besar terkait dengan toleransi maupun pluralisme, walaupun mungkin tidak dinyatakan secara eksplisit. Sebab semua tingkatan toleransi maupun pluralisme akan mudah ambruk bila tidak dibangun di atas fondasi penghormatan ini.

Oleh karenanya, negara maupun aparat penegak hukum sejatinya menjadi fasilitator yang tanpa lelah bergerak untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya menghormati kelompok atau pihak lain. Dikatakan tanpa lelah, karena upaya menumbuhkan toleransi sebagai sebuah kesadaran tidak akan mudah secepat membangun hal-hal yang bersifat fisik.

Toleransi sebagai penghormatan mensyaratkan adanya keadaban yang tinggi dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan keadaban tidak akan terwujud tanpa adanya pendidikan yang mumpuni. Maka keadaban dan pendidikan merupakan tangga utama untuk mencapai langit toleransi.

Inilah kelemahan paling mendasar dari perkembangan toleransi dalam beberapa tahun terakhir. Upaya-upaya untuk mewujudkan toleransi dan/atau memerangi radikalisme acap dikelola (baik langsung atau tidak) oleh unsur pemerintah atau negara. Hingga yang acap terjadi justru resistensi, termasuk terhadap aparat penegak hukum yang tak jarang dianggap bekerja demi pemerintah daripada demi tegaknya keadilan. Bahkan tak jarang upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat dianggap sebagai praktik diskriminasi, arogansi, bahkan juga konspirasi.

Menurut hemat saya, di luar jalur pendidikan sebagaimana di atas, pemerintah bisa melibatkan pihak ketiga dalam upaya membangun toleransi sekaligus melawan radikalisme maupun terorisme. Pihak ketiga dimaksud bisa dari kalangan ormas, organisasi adat, organisasi kampus maupun komunitas masyarakat sipil. Hingga secara perlahan bisa timbul kesadaran penghormatan terhadap yang lain. Bahkan bisa terbentuk kesadaran untuk bersama-sama menyelamatkan masa depan dari ancaman radikalisme dan terorisme.

Hasibullah Satrawi alumnus Al-Azhar, Kairo; pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam

Simak juga 'Jelang Nataru, Polri Tangkap 24 Teroris di Jabar, Jateng-Sumut':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads