Jalan Terjal Uji Materi KUHP Baru
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jalan Terjal Uji Materi KUHP Baru

Rabu, 21 Des 2022 10:47 WIB
Wiranto Tri Setiawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Massa mahasiswa menggelar aksi di depan gedung DPR, Jakarta. Mereka menuntut pencabutan KUHP yang baru disahkan.
Demo mahasiswa tolak KUHP baru (Foto: Andhika Prasetia)
Jakarta -

DPR melalui rapat paripurna telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang. RKUHP merupakan cita-cita yang muncul sejak 1963 dan telah melalui banyak proses politik yang panjang. Terhitung RKUHP sebagai sebuah karya anak bangsa memerlukan waktu 59 tahun untuk dapat disahkan menggantikan produk kolonial yang selama ini masih digunakan sebagai penegakan hukum di Indonesia.

KUHP yang baru disahkan merupakan salah satu reformasi hukum Indonesia. Mengingat telah puluhan tahun berjalan dan telah banyak menghasilkan undang-undang sektoral namun tetap mengacu kepada KUHP kolonial. Hal ini menimbulkan masalah yuridis yang serius. Sehingga pembentukan KUHP ini bertujuan untuk membentuk sebuah aturan yang sesuai dengan kondisi sosio-politik, sosio-filosofi, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Selain itu KUHP baru ini menjadi upaya untuk pengharmonisasian aturan hukum pidana yang ada di Indonesia. Namun realitas yang ada tidak semua pihak menyambut gembira dan baik terhadap disahkannya RKUHP menjadi Undang-Undang. Mengingat dari draf yang disahkan masih terdapat pasal-pasal yang dianggap sejumlah kalangan berpotensi menjadi alat kriminalisasi oleh penguasa maupun oknum. Kekhawatiran ini muncul diakibatkan seringkali masyarakat diperlihatkan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang tidak mencerminkan keadilan, justru mencederai hukum.

Berpotensi Menimbulkan Masalah

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam draf versi 6 Desember 2022 yang disahkan oleh DPR masih dapat ditemui pasal-pasal yang dianggap oleh beberapa kalangan sebagai pasal yang krusial dan berpotensi menimbulkan masalah. Beberapa pasal krusial yang dimaksud di antaranya adalah pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Lembaga Negara dan Pemerintah, pasal mengenai perzinahan, pasal mengenai unjuk rasa, serta beberapa pasal lain yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) serta berpotensi menimbulkan masalah dalam penegakan hukumnya kelak.

Pasal-pasal krusial tentang isu terkait dianggap merugikan rakyat karena membungkam suara untuk mengkritik kerja Presiden, Lembaga Negara, dan Pemerintah yang tengah berkuasa. Hal ini dianggap tidak sejalan dengan konstitusi yang melindungi kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara.

ADVERTISEMENT

Selanjutnya terkait pembungkaman berpendapat juga ada dalam pasal terkait demonstrasi atau unjuk rasa. Bagi setiap orang yang melakukan unjuk rasa tanpa melakukan pemberitahuan sebelumnya, maka dapat dipidana dan denda.

Kemudian pasal perzinahan dianggap telah terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan pribadi setiap individu dan berpotensi menjadi alat kriminalisasi pula. Pasal ini dianggap tidak memiliki dasar yang jelas dan membahayakan kelompok rentan dan masyarakat miskin dari sasaran razia.

Namun terhadap beberapa pasal yang menjadi catatan tersebut oleh pemerintah dan DPR masih tetap dimasukkan dan disahkan. Hal ini menyebabkan jalan menuju Mahkamah Konstitusi (MK) sangat besar akan ditempuh untuk menguji pasal-pasal krusial tersebut.

Jalan Terjal Uji Materi

MK sebagai the guardian of constitution akan menjadi ruang bagi kalangan yang tidak setuju dengan pasal-pasal krusial dalam RKUHP. Skema ini pula yang ditawarkan oleh DPR maupun pemerintah kepada seluruh pihak yang keberatan terhadap keputusan politik DPR dan Pemerintah. Dan, secara hukum memang hanya melalui MK untuk dapat memberikan dampak besar hingga membatalkan RKUHP yang telah disahkan menjadi Undang-Undang.

Namun gelombang penolakan oleh civil society yang besar ini akan melalui jalan panjang dan terjal. Selain dengan melakukan unjuk rasa, civil society perlu melakukan langkah hukum melalui MK untuk dapat memberikan dampak optimal. Proses Judicial Review di MK terhadap RKUHP yang baru disahkan menjadi undang-undang terbuka lebar bagi setiap pihak yang dirugikan.

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan lima kewenangan kepada MK, salah satunya ialah menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945. Adapun yang menjadi dasar pengujian tersebut adalah pasal yang terdapat dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau yang lebih dikenal sebagai uji materiil dan terhadap undang-undang yang di bentuk tidak sesuai dengan proses pembentukan undang-undang yang telah ditentukan atau yang dikenal dengan uji formil.

Jika melihat realitas yang terjadi, akan ada jalan terjal yang harus dilalui. Mengingat dari beberapa putusan yang dilakukan oleh MK familiar terhadap konsep open legal policy. Istilah open legal policy selama ini lebih dikenal dengan sebutan kebijakan hukum, yang dalam bidang studi kebijakan publik biasa disebut dengan istilah communitarian policy (kebijakan masyarakat), public policy (kebijakan publik), dan social policy (kebijakan sosial). Konsep ini dimaknai sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk undang-undang untuk membentuk, menafsir, dan merenungkan suatu kebijakan hukum (undang-undang).

Dengan konsep open legal policy, pembentuk undang-undang diberikan kewenangan untuk membentuk dan menafsir sebuah aturan yang dibuat. Dalam konteks KUHP baru, pemerintah dan legislatif sebagai pembentuk memiliki ruang untuk mengatur beberapa tindakan ke dalam pasal-pasal. Atas dasar konsep ini, dalam pengujian KUHP yang baru disahkan akan menghadapi jalan terjal. Mengingat tidak semua kalangan menolak, masih banyak pula kalangan yang menyetujui pasal-pasal yang dianggap krusial tersebut dikarenakan dianggap mampu melindungi ketertiban dan memberikan keadilan sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia.

Konsep open legal policy sering dijadikan dasar pertimbangan MK dalam proses Uji materiil. Dapat dilihat dari beberapa putusan seperti putusan MK No.46/PUU-XIV/2016 sebagai putusan yang memunculkan kembali konsep open legal policy. Sebelumnya terdapat Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013.

Kemudian apabila yang dilakukan adalah pengujian formil, maka dengan realitas yang terjadi sangat berpotensi besar MK akan beranggapan bahwa proses telah dilakukan sebagaimana mestinya. Sehingga hal-hal tersebut menjadi jalan terjal dalam pengujian KUHP yang baru disahkan ini. Perlu dasar argumentasi yang sangat kuat untuk dapat memberikan peluang agar MK menyatakan bahwa KUHP adalah inkonstitusional.

Wiranto Tri Setiawan Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mahasisea Islam Cabang Sukoharjo dan peneliti Edushallman

Simak juga 'Aksi Tabur Bunga Tutup Demo Mahasiswa Kritisi KUHP':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads