Tren layanan digital telah merambah dunia perbankan termasuk perbankan syariah. Tren ini berkembang pesat di masa pandemi COVID-19 karena adanya pembatasan aktivitas manusia. Dunia perbankan pun terkena imbas dari aturan pembatasan, sehingga untuk menyiasati kondisi ini bank pun berlomba melakukan pembenahan. Perbankan memfokuskan pada pengembangan layanan digital.
Apabila awalnya layanan ini hanya dapat melayani aktivitas keuangan dasar, seperti cek saldo dan transfer, kemudian dikembangkan menjadi layanan yang dapat berfungsi layaknya teller atau customer service bank. Dampaknya adalah terjadi pergeseran pola pelayanan dari konvensional menjadi digital. Nasabah tidak perlu lagi datang langsung ke bank, melainkan cukup dengan mengakses web atau aplikasi khusus yang disediakan bank. Nasabah dapat menikmati layanan dengan mudah dan dilakukan dimana saja selama ada jaringan internet.
Disatu sisi, layanan perbankan secara digital dapat memberikan kemudahan bagi nasabah terutama dari segi waktu dan biaya. Nasabah tidak harus berlama-lama antri di bank menunggu giliran pelayanan atau menghabiskan pulsa untuk menelpon. Namun di sisi lain, resiko layanan menjadi lebih tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski bank selalu menyatakan bahwa layanan digital yang mereka sediakan aman, hanya saja tidak dapat dipungkiri bahwa setiap tahun kasus pembobolan data dan dana nasabah kerap terjadi. Dari bulan April 2022 hingga Juni 2022, Indonesia Anti-Phishing Data Exchange (IDADX) menyatakan sudah 5.579 kasus phishing terjadi. Phishing merupakan upaya kejahatan untuk mendapatkan data pribadi seseorang melalui media digital (Juli 2022). Masih menurut IDADX, Lembaga keuangan merupakan sektor bisnis yang paling diincar oleh kejahatan Phishing. Kondisi ini membuktikan bahwa layanan digital perbankan tidak selalu aman.
Menurut keterangan dari pakar keamanan siber Alfons Tanujaya, tidak ada sistem yang 100% aman dari peretasan (6 September 2021). Terlebih lagi dengan Program Satu Data Indonesia yang memungkinkan layanan perbankan dapat terkoneksi dengan jaringan data pemerintah, membuat peretasan sangat mungkin untuk dilakukan dari berbagai tempat.
Peretasan tidak harus dilakukan langsung dari jaringan perbankan tapi juga dapat dengan membobol sistem pemerintah. Selain itu, peretasan juga dapat menggunakan media gadget, aplikasi atau jaringan internet yang digunakan oleh nasabah. Permasalahannya banyak nasabah tidak menyadari gadget yang mereka gunakan sudah disadap atau jaringan yang mereka gunakan tidak aman.
Bank seharusnya bertanggung jawab terhadap setiap kebocoran data atau dana yang terjadi, baik itu bersumber dari layanan perbankan itu sendiri, maupun dari nasabah atau layanan lainnya. Hal ini dikarenakan bank sesungguhnya mendapatkan keuntungan besar dengan penggunaan layanan digital. Biaya operasional perbankan dapat ditekan dengan hadirnya layanan ini. Perbankan tidak membutuhkan tenaga kerja yang besar, gedung yang megah dan ATK yang banyak untuk mendukung pelayanan karena telah diganti dengan sistem digital.
Selain itu, UU Perbankan, UU Perlindungan Konsumen dan UU Perlindungan Data Pribadi telah mengatur bahwa bank harus bertanggung jawab terhadap dana dan kerahasiaan data nasabahnya. Sanksi terhadap pelanggaran cukup berat yaitu pidana dan/atau sanksi denda yang tidak sedikit jumlahnya. Belum lagi pengaruhnya terhadap reputasi dan kepercayaan masyarakat terhadap bank yang bersangkutan.
Untuk mengurangi kerugian akibat kondisi ini, harusnya perbankan dapat melakukan tindakan pencegahan dengan membangun sistem keamanan yang mumpuni. Selain itu, literasi digital pada para nasabah juga perlu dilakukan terutama menyangkut keamanan bertransaksi perbankan. Saat ini ketika nasabah datang ke kantor cabang untuk membuka rekening atau membutuhkan layanan lainnya langsung disuruh membuka layanan digital.
Nasabah diinstruksikan untuk meng-input data dan meng-upload foto tanpa menjelaskan resiko yang dapat terjadi. Sebaiknya bank memastikan dulu kelayakan dan pengetahuan nasabah terkait keamanan bertransaksi melalui layanan tersebut. Jika memang nasabah tidak paham atau 'gaptek' harusnya jangan diarahkan untuk masuk ke layanan digital. Namun bila nasabah berkenan, bank harus memberitahu dan mengajarkan bagaimana bertransaksi aman di dunia digital.
Berdasarkan hasil survei literasi digital yang dilakukan oleh Kemenkominfo dan Katadata pada tahun 2021, indeks literasi digital Indonesia mencapai 3,49. Nilai ini merupakan hasil rata-rata dari empat pilar yaitu kecakapan, keamanan, budaya, dan etika. Indek literasi digital Indonesia ini termasuk kategori sedang, hanya saja pilar keamanan perlu mendapatkan perhatian karena memiliki nilai paling rendah.
Mengutip pendapat Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara, bahwa kemajuan digital ibarat pedang bermata dua (2 April 2022) di satu sisi memberikan kemudahan pelayanan di sisi lain beresiko terjadi kebocoran, maupun penyalahgunaan data. Akhirulkalam, semoga BSI dapat selangkah lebih maju dengan mengutamakan pemberian literasi digital kepada para nasabah, calon nasabah dan masyarakat.
Luthvi Febryka Nola, Pegawai Negeri Sipil
(ega/ega)