Pengadilan HAM di Makassar telah memvonis bebas Mayor (purn) Isak Sattu atas tuduhan melakukan perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againt humanity) dalam peristiwa yang terjadi di Paniai, Papua, Desember 2014. Artinya setelah menunggu delapan tahun, pengadilan gagal menemukan dan menghukum pelaku yang sesungguhnya.
Sekaligus juga menunjukan kegagalan Pengadilan HAM yang ke empat kalinya menghukum penanggungjawab dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia. Mulai dari Pengadilan HAM untuk Timor timur, Tanjung Priok, Abepura dan Paniai ini.
Kejahatan terhadap kemanusian adalah kejahatan nan amat serius, dan dikutuk oleh komunitas beradab dunia (hostis humanis generis). Hal itu terjadi karena jenis kejahatan ini merupakan wujud nyata dari 'penyimpangan kekuasaan' (abuse of power) oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan otoritas. Karena adanya unsur penyalahgunaan kekuasaan itu lah, maka kejahatan terhadap kemanusian juga disebut sebagai extraordinary crime.
Saya hadir di Pengadilan Negeri Makasar, tangal 12 Oktober 2022 untuk menyaksikan dan merasakan aura dari penyelenggaraan Pengadilan HAM dari pagi sampai sore. Sedikit pun tidak terasa bahwa pengadilan Makasar sedang mengadili peristiwa kejahatan yang sangat serius.
Saat itu Majelis Hakim Pengadilan HAM sedang memeriksa saksi kunci, yaitu mantan Pangdam 17/Cendrawasih, Papua, Mayor Jenderal (purn) Fransen Siahahaan dan mantan Wakapolri Komjen (purn) Hari Dono, yang menjadi Ketua Tim Investigasi Gabungan Kemenkopolhukam untuk Peristiwa Paniai. Serta 3 perwira menengah dari Polri dan TNI yang saat peristiwa terjadi menjabat perwira di Polda Papua dan perwira di Mabes TNI.
Sayangnya proses pemeriksaan terasa hambar. Karena Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut kurang dalam mengali tanggung jawab Pangdam dalam kerangka Operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) yang digelar di Papua. Sementara substansi tentang kerja dan laporan dari Tim Gabungan juga tidak terelaborasi secara mendalam, terutama mengenai apa temuan utama Tim Gabungan bentukan Menkopolhukam yang berisikan Polisi, TNI dan Jaksa, serta mengapa temuan Tim Gabungan macet di Kemenkopolhukam lebih dari 5 tahun. Padahal Tim Gabungan ditugaskan untuk mencari fakta-fakta untuk terangnya peristiwa dan adanya dugaan tindak pidana.
Dakwaan, Jauh Pangang Dari Api
Dalam dakwaan Jaksa, yang di awal sidang dibacakan, konstruksi peristiwa Paniai terjadi karena Perwira Penghubung (Pabung) Kapten Isak Sattu sebagai perwira dengan pangkat tertinggi di lapangan saat itu 'melihat dan membiarkan anggota Koramil 1705-02/Enarotali mengambil senjata dan peluru tajam dari gudang senjata dengan tidak mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut'. Padahal kondisi yang dihadapi anggota Koramil adalah massa yang mulai hendak masuk menyerang ke Makoramil.
Akhirnya, tembakan dilepaskan dari dalam Makoramil karena anggota terdesak oleh aksi massa yang ditengarai hendak menyerang Makoramil. Akibat dari tembakan itu kemudian diketahui jatuhnya 4 korban Jiwa, atas nama Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degai. Serta belasan orang lainnya luka-luka, karena ada anggota Koramil 'melakukan pengejaran serta penikaman dengan menggunakan sangkur'.
Mayor (purn) Isak Sattu didakwa bertanggungjawab atas jatuhnya 4 Korban jiwa dan luka-luka yang lainnya karena, 'Mayor (purn) Isak Sattu yang mempunyai kewenangan secara efektif bertindak sebagai komandan militer dalam hubungannya dengan bawahannya tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan tindakan anggota yang melakukan penembakan dan kekerasan yang menyebabkan 4 (empat) orang mati'.Serta 'mengakibatkan 10 orang luka-luka'.
Atas perbuatan yang didakwakan kepada Isak Sattu itu diancam pidana sesuai pasal 42 ayat 1, huruf a dan b, pasal 7 huruf b dan pasal 9 huruf h, dan pasal 40, UU No.26/2000 tentang pengadilan HAM.
Perbuatan pidana yang dimaksud pasal 7 (b) adalah kejahatan terhadap kemanusian. Pengertiannya dalam pasal 9 yaitu "perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil. Penjelasan pasal 9 menegaskan bahwa perbuatan kejahatan terhadap kemanusian merupakan "serangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi" Sementara pasal 42 (1) menekankan tentang tanggung jawab komando atas pasukan yang berada di bawah komandonya.
Pertanyaannya adalah dalam peristiwa yang terjadi di Enarotali, Paniai saat itu, apakah seorang Pabung adalah pembuat kebijakan dan sekaligus pemegang kendali komando di lapangan. Secara faktual Pabung jelas bukan pembuat kebijakan operasi dan sekaligus bukan pemegang komando. Komando teritorial ada di Danrem, yang turun berjenjang ke Dandim, terus ke Danramil. Untuk operasi, Komando operasi, berada di tangan Danyon, turun berjenjang Danki dan Danru.
Konsekwensi logis dari konstruksi peristiwa seperti dalam dakwaan Jaksa itu adalah, pertama peristiwa Paniai terjadi semata-mata kerena Pabung gagal mengendalikan para anggota Koramil secara efektif pada tanggal 8 Desember. Seakan-akan peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba begitu saja.
Kedua, kebijakan penguasa (negara/pemerintah) yang melatar-belakangi peristiwa itu menjadi kabur di dalam surat dakwaan. Pada hal unsur pidana utama dari kejahatan terhadap kemanusian adalah "kelanjutan dari kebijakan penguasa". Karena hal itu kabur, akibatnya orang yang paling bertanggungjawab atas peristiwa Paniai tanggal 7 dan 8 Desember 2014 itu menjadi tidak jelas. Bahkan, anggota TNI yang melakukan tindakan pemukulan kepada para pemuda di Kampung Ipakiye Tanah Marah tidak ada identitas kesatuannya dalam surat dakwaan Jaksa. Pada hal peristiwa Paniai bermula dari tindakan anggota TNI itu.
Ketiga, ketidakjelasan kebijakan penguasa yang berlanjut menjadi timbulnya korban, kematian 4 orang dan 10 luka-luka, berakibat konstruksi pelaku yang bertanggungjawab, satu-satunya yang adalah Pabung Isak Sattu. Isak Sattu diduga bertanggungjawab karena kebetulan dirinya yang saat itu merupakan perwira dengan pangkat tertinggi di lapangan. Sebab Danramil, Dandim dan Danrem tidak merada di tempat. Pada hal kala itu Isak Sattu sebagai Pabung tidak mendapatkan perintah atau delegasi wewenang dari atasannya. Mantan Danramil Enarotali, dalam kesaksiannya dalam persidangan tanggal 27 Oktober 2002 menegaskan bahwa Pabung Isak Sattu tidak memiliki garis perintah kepada anggota Koramil.
Keempat, terdakwa menjadi tunggal, yang dikonstruksikan sebagai pengendali komando atas Koramil-Koramil yang ada di Paniai. Hal ini disandarkan pada peraturan KASAD, PERKASAD/111/XII/2012. Inti dari PERKASAD itu adalah Pabung mengkoordinir kegiatan-kegiatan Danramil yang berada dalam wilayah koordinasinya sesuai kebijakan Dandim. Sementara Danyon dan Danki yang memiliki komando efektif atas anggota Batalion 753 yang diduga menjadi pemicu pecahnya aksi massa tidak tampak perannya.
Jika konstruksi dakwaan Jaksa disandingkan dengan konstruksi penyelidikan Komnas HAM, maka akan tampak jauh pangang dari api.
Penyelidikan Komnas HAM konstruksi dalilnya adalah mengikuti ketentuan pasal 7 UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu kejahatan terhadap kemanusian. Unsur utama dari kejahatan kemanusian adalah "terjadi secara sistematis, dengan menyasar penduduk sipil sebagai korban, merupakan kelanjutan dari kebijakan penguasa/organisasi"
Peristiwa Paniai terjadi akibat operasionalisasi dari kebijakan penguasa (negara) yang disebut Operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) atau Operasi Aman Matoa V yang digelar oleh Polda Papua dan Kodam Cenderawasih. Dalam konteks Peristiwa Paniai, kekuatan yang dipakai untuk operasi Pamrahwan adalah Yonif 753/AVT. Pada tanggal 7 Desember 2014 diduga anggota dari Batalion ini melewati kampung Ipayeki, di saat melewati itu terjadi percekcokan dengan pemuda-pemuda yang sedang berada di pinggir jalan. Dalam insiden itu beberapa orang pemuda itu dipukuli.
Anggota dari Batalion inilah yang diduga memicu pecahnya peristiwa Paniai yang menelan 4 korban jiwa. Logisnya, Anggota Batalion ini bisa beroperasi di wilayah Enarotali adalah penjelmaan dari adanya perintah operasi oleh pengendali operasi Pamrahwan. Jika tidak ada perintah operasi, maka anggota Batalion akan berada di markasnya di Nabire. Perintah operasi dari Pengendali Operasi Pamrahwan itu lah yang menyebabkan terjadi peristiwa Paniai yang bisa diduga sebagai kelanjutan dari kebijakan organiasasi. Unsur sistematis-nya berada dalam lingkup seperti itu.
Ketika surat dakwaan Jaksa tidak menyinggung adanya Operasi Pamrahwan, maka mentersangkakan Pabung menjadi janggal. Sebab Pabung tidak berada dalam kuasa memberikan perintah operasi Pamrahwan. Bahkan Pabung dalam struktur teritorial juga tidak memiliki jalur komando terhadap regu dari Batalion, mau pun kepada Anggota TNI di Koramil. Oleh karenanya mentersangkakan Pabung dengan delik tanggung jawab komando dalam peristiwa Pania sesuai pasal 42 UU 26/2000, menunjukan Jaksa penuntut sungsang dalam berpikir.
Penyidikan Ulang, Keharusan
Tampak ada kesan kurang serius mendalilkan dakwaan dengan jenis kejahatan terhadap kemanusian. Hal itu terlihat dari mentersangkakan Pabung. Semestinya mentersangkakan pihak yang benar-benar mengengam komando efektif sebagai penanggungjawab operasi Pamrahwan di Papua, khususnya di Paniai.
Di sisi lain, kesempatan belajar sungguh-sungguh untuk mengenali kompleksitas kejahatan terhadap kemanusian menjadi hilang. Upaya untuk memaksimalkan implementasi UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM juga menjadi sia-sia. Institusionalisasi Pengadilan HAM itu sendiri agar bisa lebih baik kedepannya, juga menjadi sulit dicapai. Pengadilan HAM tidak bertaji.
Untuk menunjukan UU No.26/2000 memiliki taji, kini saatnya Jaksa Agung sebagai Penydidik melakukan penyidikan ulang untuk bisa menuntut pelaku-pelaku yang yang sebenar-benarnya bertanggungjawab atas peristiwa kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi di Paniai delapan tahun lalu itu. Jika tidak dilakukan penyidikan ulang, maka UU Pengadilan HAM ini menjadi tidak relevan lagi keberaadaannya. Karena UU itu, sudah empat kali gagal untuk menjerat pelaku di pengadilan HAM.
Amiruddin al-Rahab. Pengamat HAM dan Politik. Komisioner Komnas HAM Periode 2017-2022.
Simak juga 'Komnas HAM: 624 Pekerja Migran Asal NTT Meninggal Selama 2017-2022':