Ini bukan tentang wacana akan punahnya para teller bank, tetapi perkembangan teknologi digital yang begitu pesat telah memungkinkan banyak hal bisa berubah di dunia perbankan.
Di era lama, seorang nasabah butuh usaha untuk sekadar mengetahui saldo tabungannya. Antrean di setiap meja teller bank tak terelakkan, bahkan si teller pun perlu memforsir dirinya agar antrean segera berakhir sehingga bisa menggunakan sisa tenaga untuk pulang.
Di era sekarang, jangankan mengecek saldo, setor uang pun cukup dilakukan di mesin ATM yang tersebar di seluruh penjuru kota di pelosok negeri. Mengecek saldo? Seorang nasabah hanya perlu memencet sejumlah tombol di ponsel pintarnya, yang bahkan bisa dilakukan sembari menyusui anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hidup semakin mudah, barangkali begitu istilah yang paling tepat untuk mewakili dampak perkembangan teknologi digital saat ini. Banyaknya opsi perbankan, nasabah tentu saja akan memilih sebuah bank yang melek teknologi yang akan memudahkan mereka bertransaksi atau berinvestasi maupun mengajukan kredit daripada sebuah bank yang menuntut calon nasabah untuk datang ke bank dan menyerahkan berbagai salinan dokumen yang diperlukan, seperti fotokopi KTP, Kartu Keluarga, dan lain-kain.
Di era digital, penghematan penggunaan kertas untuk fotokopi dokumen pribadi adalah dampak baik yang harus disambut baik oleh nasabah dan pihak bank, mengingat semua bisa digantikan dengan dokumen soft copy. Yang jelas, lini perbankan tidak bisa menutup mata apalagi antipati terhadap digitalisasi, termasuk perbankan syariah.
Syariah bukan semata-mata berasaskan aturan agama melainkan sebuah sistem yang tidak merepotkan umat. Dalam hal ini, perbankan syariah didirikan dengan landasan aturan agama sekaligus memiliki produk dan layanan yang dapat diakses ataupun didapat dengan mudah.
Sementara produk dan layanan sebuah bank syariah juga bisa didapatkan umat dari bank syariah ataupun bank konvensional lain, sebuah pembeda akan membuat seseorang memilih sebuah bank syariah tertentu. Salah satunya adalah kemudahan akses informasi mengenai produk dan layanan bank, yang semuanya bisa diwujudkan dengan mengadopsi trend digital.
Media sosial adalah salah satu produk digital dan memanfaatkannya adalah cara paling mudah bagi sebuah bank syariah untuk menyentuh umat. Tidak hanya untuk melakukan promosi produk, tetapi media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk mengedukasi umat tentang keuangan syariah, seperti hukum hutang-piutang, dalil dan aturan menyimpan uang dan barang berharga, bahkan hingga tentang kewajiban kepala rumah tangga untuk menanggung kehidupan anak dan istrinya.
Menggunakan media sosial, pengetahuan umum tersebut nantinya bisa diarahkan ke produk-produk-produk tertentu yang dimiliki oleh bank syariah sehingga sebelum seseorang memutuskan memilih sebuah bank syariah, dia telah yakin dengan pilihannya karena telah memiliki pengetahuan dasar dan landasan syariat mengenai apa yang akan dia lakukan.
Sebuah blog misalnya, bisa dimanfaatkan oleh bank syariah dengan mengisi konten secara berkala. Dengan model cerita narasi ataupun persuasi, blog bisa dimanfaatkan untuk mengabarkan berbagai kegiatan yang dilakukan sebuah bank syariah, seperti peringatan HUT Indonesia, bakti sosial, pemberangkatan mudik tahunan, dan lain-lain. Di sisi lain, konten edukasi umat tentang keuangan syariah ataupun syariat umum mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara juga terus diberikan untuk mengimbangi kegiatan promosi.
Dengan postingan secara berkala, umat akan tahu bahwa mereka tidak salah memilih sebuah bank. Dalam hal ini, umat akan tahu bahwa bank yang mereka pilih telah melakukan banyak kegiatan yang menyentuh masyarakat secara langsung, bukan hanya mengumpulkan uang nasabah untuk berbagi keuntungan. Hal semacam itu bisa diketahui umat secara luas jika bank syariah mampu memanfaatkan berbagai platform digital, baik melalui teks, foto ataupun video.
Seperti Instagram, sebuah platform yang satu dekade lalu hanya dipakai oleh pegiat fotografi, tetapi sekarang telah mengalami pelebaran fungsi dan pengguna. Sebuah bank syariah tentu saja tidak haram hukumnya untuk memanfaatkan akun Instagram sebagai media guna menjangkau umat yang lebih luas. Membuat video 30 detik di Instagram pastinya jauh lebih mudah dan murah dibanding mencetak poster atau menelepon setiap nasabah hanya untuk menginformasikan sebuah promo pengajuan kredit, misalnya.
Namun, sebuah promosi berkala di sosial media juga tidak akan mengenai sasaran dengan tepat jika sebuah bank tidak memiliki layanan yang bersentuhan langsung dengan nasabah. Memiliki akun media sosial bukan jaminan sebuah bank syariah akan menjadi pilihan umat jika tidak dibarengi kepedulian yang bertanggung-jawab. Dalam hal ini, seorang nasabah tidak ingin pulsa telepon tersedot karena berbicara selama satu menit dengan petugas Call Center perihal kartu ATM yang terblokir, misalnya.
-alih masalah bisa terselesaikan, nasabah akan mengalami kesulitan baru karena pulsa tidak lagi cukup untuk menelepon orangtua yang dikabarkan tengah sakit. Itu adalah contoh-contoh sederhana yang tidak dipungkiri kerap terjadi di masyarakat. Lalu, bagaimana bisa disebut perbankan syariah jika masih menyengsarakan umat?
Karenanya, tren digital di era sekarang sepatutnya bisa dimanfaatkan secara bijak oleh perbankan syariah. Bukan hanya populer di dunia maya karena memiliki setiap akun media sosial, tetapi sebuah bank syariah diharapkan bisa menggunakan media sosial sebagai jembatan yang kokoh untuk menghubungkan pihak bank dengan umat.
Pada akhirnya, umat akan memilih sebuah bank yang tidak hanya memiliki banyak penawaran produk menarik yang berbeda dari bank konvensional ataupun bank syariah lainnya, tetapi juga punya solusi yang tepat dan cepat atas masalah yang berkaitan dengan nasabah. Yang lebih penting, bank syariah sepatutnya bisa memberikan kemudahan untuk dihubungi dan menghubungi. Wallahu a'lam bishawab.
Tri Ristiana, SS, Ibu Rumah Tangga
(fhs/ega)