Paradoks "Endorsement" Politik Jokowi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Paradoks "Endorsement" Politik Jokowi

Senin, 19 Des 2022 09:51 WIB
Adi Prayitno
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Direktut PPI Adi Prayitno saat menghadiri acara Adu Perspektif
Adi Prayitno (Foto: dok. detikcom)
Jakarta -

Belakangan ini, publik riuh membicarakan endorsement Presiden Jokowi. Ke mana sebenarnya akan berlabuh? Sebab, dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi terkesan memberikan kode keras pada sejumlah tokoh secara bergantian. Kadang ditengarai mengarah ke Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Erick Thohir, Sandiaga Uno, dan Airlangga Hartarto.

Jika diiris secara umum Jokowi pasti mendukung semua figur yang berada di lingkar terdalam (inner circle) kekuasaan pemerintah untuk maju Pilpres 2024. Minimal dukungan untuk terus melakukan kerja politik meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Serta, mencari dukungan partai menggenapi ambang batas presiden 20 persen. Pada level ini semua figur diperlakukan setara Jokowi dengan proporsi dukungan yang sama pula. Minimal dengan kode-kode tipis.

Namun jika dibaca dalam skala prioritas, di antara sekian banyak nama, sepertinya Presiden Jokowi lebih condong mendukung Ganjar Pranowo. Alasannya empat hal. Pertama, keduanya kader PDIP yang tak punya karpet merah di partai. Kedua, basis pemilih Jokowi mayoritas migrasi ke Ganjar Pranowo. Ketiga, relawan yang merupakan replika politik Jokowi lebih memilih hijrah mendukung Gubernur Jawa Tengah itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keempat, Jokowi tipikal sosok yang percaya survei di mana Ganjar Pranowo sejauh ini selalu merajai berbagai survei. Survei yang dilakukan Parameter Politik sepanjang 2022 menegaskan Ganjar Pranowo sebagai jawara mengungguli Prabowo Subianto dan Anies Baswedan yang masuk tiga besar. Meski belakangan elektabilitas Ganjar Pranowo perlahan mulai ditempel ketat Anies Baswedan efek deklarasi dan safari politik ke berbagai daerah. Sementara Ganjar Pranowo belum deklarasi dan kakinya 'tersandera' tak bisa bergerak agresif karena aturan partai.

Presiden Jokowi sangat mungkin mendukung figur alternatif secara terbuka seperti Prabowo Subianto dan figur lain andai Ganjar Pranowo tak mendapat tiket capres dari PDIP. Problemnya, peminat Ganjar Pranowo di luar PDIP relatif banyak. Bukan hanya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang tertarik, bahkan Nasdem pun disinyalir masih memendam hati ke Ganjar untuk diduetkan dengan Anies Baswedan. Di sinilah letak rumitnya membaca arah dukungan Presiden Jokowi ke depan.

ADVERTISEMENT

Paradoks

Dukungan politik Presiden Jokowi belakangan terbaca sangat paradoks. Satu sisi semua figur yang berhasrat maju pilpres berebut petuah dan restu Jokowi, namun saat bersamaan pilihan politik Jokowi tak terlampau bisa memberikan efek elektoral secara signifikan. Survei Parameter Politik yang dilakukan pada Oktober lalu mengungkap hanya sekitar 20 persen publik yang akan memilih sosok yang didukung Presiden Jokowi. Baru-baru ini Kompas juga merilis temuan hanya sekitar 15 persen yang akan mengikuti pilihan politik Jokowi.

Pertanyaannya kemudian untuk apa banyak figur terus berebut dukungan dan saling mengidentifikasi diri sebagai "orangnya" Jokowi jika tuah mantan Gubernur DKI Jakarta ini tak lagi sakti menurut beberapa survei? Pilihan menjadi antitesis Jokowi jauh lebih rasional untuk mendulang suara. Minimal bisa mempengaruhi suara pemilih kritis yang ingin ganti selera politik di Pilpres 2024 mendatang. Logika sederhananya begitu.

Ada sekitar 80 hingga 85 persen pemilih yang saat ini terkonfirmasi tidak akan mengikuti pilihan politik Jokowi. Tentu saja ceruk pemilih ini sangat dalam yang mestinya bisa dikapitalisasi untuk mendulang suara dan memenangkan pertarungan politik. Anehnya, tak satu pun figur yang berani secara diametral berhadapan dengan Jokowi sebagai antitesis. Bahkan Anies Baswedan yang simbol oposisi, personifikasi politiknya berseberangan, juga tak berani tegas berlawanan dengan Jokowi.

Malah dalam berbagai kesempatan, sejumlah elite Nasdem menegaskan Anies akan melanjutkan proyek mercusuar Jokowi. Lalu apa yang perlu diributkan jika semua orang yang berhasrat maju terus berebut endorsement Jokowi? Padahal publik berharap Anies dan Koalisi Perubahan secara keras menantang Jokowi dan sosok yang akan didukung nantinya untuk berkelahi gagasan secara terbuka.

Mereka harus berani menyerang Jokowi sebagai presiden yang gagal menjaga stabilitas demokrasi dan menyejahterakan rakyat. Mereka juga harus lantang tak akan melanjutkan proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), menghentikan pembangunan infrastruktur yang dinilai ugal-ugalan, menolak utang luar negeri, dan seterusnya.

Nyatanya, semua itu tak dilakukan Anies dan Poros Koalisi Perubahan yang diinisiasi Nasdem, Demokrat, dan PKS. Mereka berada dalam satu model koalisi yang sangat hiperbolis dari segi pilihan kata dan bahasa, tapi pada level praktik adem, datar, dan tak berani agresif menyerang Jokowi. Sejatinya, Koalisi Perubahan mengacu pada blok politik pembaharuan yang menawarkan kebaruan dalam segala bidang yang berbeda dari penguasa sebelumnya, bukan malah ikut serta melegitimasi pemerintah sebelumnya.

Jokowi Penentu?

Terlepas dari perdebatan tentang endorsement dan konfigurasi politik yang mulai mengerucut, faktor Jokowi tetap dianggap cukup determinan yang bisa menentukan Pilpres 2024. Meski bukan ketua umum partai, sebagai presiden, Jokowi bisa berkomunikasi dengan semua partai koalisional dan non koalisional pemerintah. Jokowi punya bargain politik bahkan dengan PDIP sekalipun.

Buktinya, sampai saat ini Jokowi tak pernah sedikit pun terdengar memberikan kode mendukung Puan Maharani. Sementara Jokowi silih berganti mengirim sinyal dukungan kepada Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan lain sebagainya. Itu artinya, Jokowi punya preferensi personal yang cukup subjektif untuk urusan pilpres melampaui kehendak partainya.

Di PDIP mungkin Jokowi sebatas petugas partai, suara subjektivitasnya tenggelam, samar, dan tak terlampau didengar. Namun di depan partai lain dan relawan, Jokowi silih berganti bicara tentang figur capres yang dinilai pantas sebagai suksesor dirinya di masa mendatang.

Pada HUT ke-58 Golkar misalnya, Jokowi bicara tentang pentingnya sosok yang dinilai paham ekonomi makro dan mikro. Publik mengaitkan pernyataan Jokowi itu dengan sinyal dukungan ke Airlangga Hartarto yang kini Menko Ekonomi. Apalagi dalam waktu berdekatan Relawan Pro Jokowi (Projo) berkunjung ke DPP Golkar. Di acara ulang tahun ke-8 Perindo Jokowi untuk yang kedua kalinya memberi angin surga ke Prabowo Subianto. Yang teranyar tentunya soal 'rambut putih' di acara Relawan Nusantara Bersatu Jokowi di Gelora Bung Karno (GBK) yang diasosiasikan dukungan ke Ganjar Pranowo.

Pada level ini Jokowi ingin menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, secara personal Jokowi punya pilihan politik independen yang bisa dikomunikasikan dengan partai lain termasuk ke PDIP. Kedua, Jokowi bisa bicara banyak soal pilpres lewat para relawan. Terakhir, tentu yang masih menjadi pertanyaan mengganjal soal mengapa Jokowi belum terlihat memberikan kode, sinyal, dan endorsement ke Puan Maharani. Entah ada apa. Hanya waktu yang bisa menjawab.

Adi Prayitno Direktur Eksekutif Parameter Politik

Simak juga 'Geger Capres Rambut Putih-Keriput':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads