Terminologi shock absorber menjadi populer dalam beberapa tahun belakangan dalam masa pandemi Covid-19 dan jamak digunakan oleh para pengambil kebijakan di Indonesia terutama pengambil keputusan kebijakan fiskal yang digawangi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Agak menarik memang menggunakan istilah "absorber" yang mungkin selama ini hanya lazim dipakai di dunia mesin otomotif kemudian dipakai dalam istilah kebijakan fiskal.
Absorber atau dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan istilah peredam merupakan salah satu perangkat mekanik yang memiliki fungsi untuk meredam kejutan atau guncangan yang terjadi jika kendaraan bermotor melewati jalanan yang tidak rata, bergelombang atau bahkan berlubang.
Apalagi jika lubang tersebut tidak terlihat dan kendaraan sedang dalam kecepatan tinggi, maka guncangan yang dirasakan tentu akan menjadi lebih besar, sehingga peredam harus bekerja lebih keras untuk meredam guncangan tersebut. Terlihat sederhana, namun fungsi peredam ini sangat penting untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi pengendara sehingga bisa mencapai tujuan yang diinginkan dengan selamat.
Analogi lubang tidak terlihat ini mirip dengan krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang bisa dibilang tidak bisa diprediksi sebelumnya dan menyebabkan dampak yang luar biasa besar bagi ekonomi. Dampak yang dirasakan akan menjadi lebih besar ketika ekonomi suatu negara sedang dalam kondisi booming.
Covid-19 yang awalnya merupakan krisis di bidang kesehatan memberikan efek domino pada aspek vital kehidupan. Virus menyebar dengan cepat, terjadi lonjakan kasus penularan dan mengakibatkan korban jiwa, ini masalah kesehatan. Jika menggunakan logika kesehatan, maka penanggulangannya cukup sederhana yaitu cukup dengan menghentikan penularan. Namun, menghentikan penularan berarti menghentikan interaksi sosial, ini masalah sosial.
Menghentikan interaksi sosial artinya menutup sekolah, menutup tempat ibadah, bekerja dari rumah, dan menerapkan pembatasan lainnya yang mungkin tidak pernah terpikirkan sekalipun dalam benak manusia modern manapun di dunia. Berbagai pembatasan tersebut menyebabkan aktivitas dan kinerja ekonomi menurun tajam, timbul masalah baru yaitu masalah ekonomi. Konsumsi terganggu, investasi terhambat, ekspor-impor terkontraksi, transaksi jual beli yang biasanya terjadi di pasar terhenti.
Tidak berhenti sampai di sini, di sektor keuangan juga terdampak karena penurunan sektor riil, net performing loan (NPL) profabilitas dan solvabilitas mengalami tekanan. Krisis tidak terhindarkan, namun kali ini beda; krisis yang disebabkan oleh Covid-19 adalah krisis yang tidak biasa dan luar biasa pengaruhnya ke berbagai sektor, tidak hanya kesehatan.
Menyikapi berbagai perkembangan tersebut, pemerintah mengambil respons cepat untuk segera mengendalikan pandemi. Jika tidak dikendalikan, guncangan yang akan terjadi akan menjadi lebih besar dan semakin sulit untuk dikendalikan; guncangan ekonomi harus segera di redam. Peredam tersebut adalah APBN.
APBN menjadi bantalan pertama menghadapi guncangan ekonomi akibat pandemi. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 tahun 2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 2 tahun 2020. Beleid ini mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau
Harus Fleksibel
Untuk menjadi peredam, APBN harus fleksibel sebagaimana cara kerja peredam di kendaraan bermotor; ketika ada guncangan, maka peredam akan bekerja sesuai fungsinya, bisa naik atau turun sebagaimana arah guncangan yang terjadi. Pun begitu juga APBN, ketika penerimaan negara tertekan akibat penurunan aktivitas ekonomi, belanja negara tidak bisa ikut turun, justru belanja negara harus naik untuk melakukan penanganan Covid-19.
Di sinilah peran APBN sebagai peredam guncangan ekonomi berjalan, yaitu memitigasi dampak pandemi terhadap perekonomian, namun harus tetap menjaga belanja prioritas untuk penguatan produktivitas dan pondasi ekonomi nasional. Ingat bahwa negara mempunyai tujuan selayaknya ketika seorang pengendara kendaraan bermotor yang ingin mencapai tujuannya ketika melakukan suatu perjalanan.
Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk penangan Covid-19 dan dampaknya, dari mulai penyesuaian batasan defisit APBN, penggunaan sumber pendanaan alternatif anggaran, penyesuaian mandatory spending, hingga pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mengeluarkan kebijakan stimulus perekonomian nasional sebagai kebijakan countercyclical dampak penyebaran Covid-19 melalui POJK 11 dan 14 tahun 2020 yang kemudian diperpanjang dengan POJK 17 dan 18 tahun 2021. Dengan kedua aturan OJK ini, bank dapat menerapkan kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi untuk debitur yang terkena dampak Covid-19, kemudian Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) pun dapat memberikan restrukturisasi pembiayaan bagi debitur yang terkena dampak Covid-19.
PEN yang menjadi salah satu respons cepat pemerintah secara efektif membantu penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Pada 2020, realisasi belanja PEN mencapai Rp 575.9 triliun, PEN pada 2020 ini bertujuan untuk menangani penanganan kesehatan dan mendukung perekonomian. Pada 2021, belanja PEN awalnya dianggarkan lebih rendah dibandingkan pada 2020, namun dengan adanya varian baru Covid-19 yaitu varian Delta, PEN kembali diperkuat untuk perlindungan sosial dan biaya rumah sakit.
Hal ini kembali memperlihatkan bahwa pandemi Covid-19 benar-benar menjadi krisis yang tidak bisa diperkirakan. Penurunan kasus Covid-19 pada kuartal pertama 2021 tiba-tiba naik drastis di awal semester kedua 2021 bahkan melewati angka tertinggi pada 2020. PEN pada 2021 terealisasi sebesar Rp 655.41 triliun. Kembali ke analogi awal, ketika kendaraan melaju dengan cepat, lalu masuk ke lubang yang tidak terlihat, maka guncangannya akan terasa lebih besar dan peredam harus bekerja lebih keras. APBN harus bekerja lebih keras; belanja penanganan kesehatan PEN pada 2021 naik menjadi Rp 198.14 triliun dari sebelumnya (2020) sebesar Rp 62.7 triliun.
Kerja keras APBN sebagai peredam guncangan pada 2020 sebagai tahun awal pandemi Covid-19 ini tercermin dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada masa tersebut, APBN menjadi "the only player in town" untuk mendorong pertumbuhan. Dalam komponen pertumbuhan PDB menurut pengeluaran, komponen konsumsi pemerintah menjadi satu-satunya komponen PDB yang positif pada 2020 yaitu tumbuh 1,94% pada saat komponen konsumsi lain lain tumbuh negatif.
Konsumsi Rumah Tangga tumbuh -2,63%, Konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) tumbuh -4.29%, pada saat yang sama komponen investasi yaitu Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dan komponen ekspor-impor juga tumbuh negatif masing-masing tumbuh -4.95%, -7.7%, dan -7.69%.
Di tengah pemulihan ekonomi global pun Indonesia yang terus terjadi dan semakin membaik seiring dengan menurunnya penularan kasus Covid-19. Anekdot yang disebutkan oleh Blanchard dan Johnson dalam buku Macroeconomics bahwa "pengambil kebijakan tidak pernah bisa tidur dengan tenang selama terjadi krisis" terjadi lagi.
Pemulihan baru saja terjadi, namun risiko ekonomi yang lain muncul, kali ini dipicu oleh ketegangan geopoliik yang berujung invasi Rusia ke Ukraina pada akhir Februari 2022, tepat seminggu setelah terjadinya pertemuan perdana para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara anggota G20 di Jakarta. Risiko ekonomi sekarang bergeser dari ancaman pandemi ke ancaman gejolak ekonomi global, di antaranya inflasi global yang terus naik, meningkatnya risiko pangan, energi dan krisis keuangan, pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga, serta meningkatnya risiko stagflasi. Ketidakpastian perekonomian global kembali terjadi.
Di tengah risiko ketidakpastian perekonomian global yang eskalatif ini, APBN kembali dioptimalkan sebagai shock absorber. Peredam itu kembali difungsikan karena "lubang di jalanan" kemungkinan akan muncul kembali. Namun kondisi kali ini sedikit berbeda; peredam yang pada 2020 lebih fleksibel karena defisit APBN yang diperlebar akan lebih ketat, UU 2/2020 mengatur bahwa defisit harus dikembalikan di bawah 3% terhadap APBN.
Konsolidasi fiskal harus dilakukan. APBN yang sudah bekerja sangat keras sebagai peredam dalam menghadapi krisis yang disebabkan oleh pandemi harus kembali disehatkan. Jika meminjam istilah otomotif, maka peredam yang ada di sebuah mobil tersebut harus dibawa ke bengkel untuk dilakukan perawatan; jika tidak, maka peredam akan rusak atau aus dan akan membawa malapetaka bagi si pengendara.
Sejauh Mana?
Melihat fungsi APBN yang sangat vital dalam menghadapi gejolak perekonomian, pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauh mana APBN mampu menjadi peredam gejolak ekonomi --apakah APBN akan terus menjadi garda terdepan dalam menghadapi kondisi krisis yang sangat mungkin akan terjadi kembali di masa depan?
Dalam kuliah umum perekonomian di Universitas Indonesia pada 23 November 2022, Wakil Menteri Keuangan Prof. Suhasil Nazara menyampaikan bahwa kunci untuk menghadapi krisis pada masa yang akan datang adalah menumbuhkan ekonomi Indonesia, selain defisit fiskal APBN yang tinggi pada masa pandemi harus diturunkan agar APBN kembali siap menghadapi shock ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh jika reformasi struktural yang selama ini dilakukan pemerintah Presiden Jokowi didukung oleh reformasi fiskal, ditambah lagi dengan bonus demografi yang sedang dinikmati oleh Indonesia saat ini dan beberapa tahun ke depan. Momentum pandemi harus bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan reformasi struktural guna mencapai tujuan Indonesia Maju pada 2045.
Rinaldi pegawai Pushaka-Kemenkeu
(mmu/mmu)