Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengumumkan Putusan akhir World Trade Organization (WTO) terkait sengketa kebijakan larangan ekspor raw material nikel pemerintah Indonesia yang sudah keluar per 17 Oktober 2022. Hasilnya, dalam sengketa DS 192 WTO menyatakan kebijakan Indonesia tersebut telah melanggar Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994.
WTO juga menolak argumentasi yang diajukan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan untuk Good Mining Practice sebagai pembelaan. (nikel.co.id, 22/11).
Menyikapi putusan akhir WTO tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan masih ada peluang untuk banding terkait larangan ekspor nikel di WTO. Pemerintah juga beranggapan tidak perlu adanya perubahan peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai tersebut sebelum adanya keputusan dari Dispute Settlement Body (DSB) di WTO.
Kiprah Sengketa di WTO
Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah beberapa kali menerapkan kebijakan larangan ekspor raw material bijih nikel. Sempat diberlakukan pada 2017 kemudian dibuka ekspor kembali, lalu diberlakukan larangan ekspor kembali pada akhir 2019. Artinya, kebijakan larangan ekspor raw material sempat menjadi kebijakan yang "populer" pada 2017.
Tetapi berubah menjadi "tidak populer" seiring dengan meningkatnya kebutuhan dunia akan nikel untuk keperluan energi bersih dan mobil listrik. Protes yang muncul kembali mengingatkan konformitas akan prinsip-prinsip WTO yang berlaku bagi setiap negara anggotanya, yakni (i) most favoured nation (MFN) atau memberikan perlakuan yang sama ke negara lain; (ii) national treatment atau perlakuan adil; dan (iii) transparansi.
Indonesia tercatat sebagai negara yang paling banyak digugat akibat kebijakan perdagangan dalam negerinya. Sulistyo Widayanto (2016) menyebutkan, Indonesia pernah beberapa kali mendominasi agenda sidang selama dua tahun berturut-turut, yakni pada 2015 dan 2016. Bahkan, 5 dari 7 agenda Sidang TRIMS adalah pembahasan tentang klarifikasi dan keberatan anggota WTO atas kebijakan perdagangan Indonesia.
Sulistyo Widayanto (2016) juga menjelaskan bahwa dominasi Indonesia atas kebijakan perdagangan yang bermasalah di sidang TRIMS WTO menunjukkan adanya kekurangharmonisan di semua sektor dalam penyusunan kebijakan nasional terkait perdagangan. Tiap sektor menyusun kebijakan perdagangan menurut versi masing-masing, saling bertabrakan, dan kerap tidak mengindahkan bahasa hukum dan mengabaikan ketentuan perdagangan multilateral WTO yang berlaku.
Meratifikasi konvensi WTO bagaikan memakan buah simalakama. Di satu sisi ada hak ekonomi dunia internasional untuk mengakses pasar global yang memberikan hak bagi setiap negara anggota WTO untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari perekonomian dunia dengan berbagai tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa dan kekuatan negara.
Di sisi lain, ada kewajiban konstitusional negara untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Diskursus antara faktor mendahulukan kepentingan nasional (local pride) dengan hak ekonomi global merupakan legal gap yang ujung-ujungnya mentok pada justifikasi "pro asing" dan "tidak merah putih" bagi mereka yang mengakomodasi kepentingan negara lain.
Tidak Masuk Akal
Kekalahan Indonesia di WTO atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel cukup mengherankan. Pasalnya, WTO sendiri memperbolehkan anggotanya dalam situasi tertentu untuk mengadopsi dan mempertahankan peraturan dan tindakan yang sifatnya melindungi kepentingan sosial-ekonomi lainnya yang sangat penting. Meskipun peraturan atau tindakan tersebut bertentangan dengan substansi yang terkandung dalam GATT 1994.
Sejatinya, kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang dimulai dua tahun lebih cepat tersebut diperlukan untuk pembangunan big project smallter dan meningkatkan nilai tambah dalam negeri sama sekali tidak bertentangan dengan disiplin substansif GATT itu sendiri. Sebab, WTO sendiri memberikan pengecualian dan kompensasi dalam bentuk aturan perlakuan khusus dan berbeda antara negara maju dengan negara berkembang.
Sangatlah mengherankan tiba-tiba WTO menyatakan kebijakan larangan ekspor bijih nikel Indonesia melanggar Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994. Padahal prinsip-prinsip WTO itu sendiri mengatur dan mengakui kedaulatan negara atas kekayaan alam, kemakmuran dan kehidupan ekonominya. Dalam konvensi The General Assembly Resolution 1803 on The Permanent Sovereignty over Natural Resource, WTO menegaskan bahwa hak permanen bangsa dan negara atas kedaulatan kekayaan dan sumber daya alamnya.
Jika dikomparasikan dengan konstitusi negara kita, sudah jelas Pasal 33 UUD 1945 menyatakan: Cabang-cabang produksi dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas alasan itu, wajib hukumnya bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan upaya banding atas putusan WTO tersebut.
Kepentingan Nasional
Pada 2019 Indonesia merupakan produsen tambang bijih nikel terbesar di dunia dengan tingkat produksi sebanyak 800.000 ton Ni dari total produksi nikel dunia. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2020), Indonesia merupakan negara terbesar penghasil nikel di dunia. Sebanyak 52% cadangan nikel dunia ada di Indonesia. Ditambah lagi menurut Wood Mackenzie (2020) permintaan nikel global akan melebihi 4 juta ton pada 2040.
Wajar jika Sekjen APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan Indonesia mempunyai kekuatan menjadi pemimpin dunia untuk komoditas nikel. Melihat wilayah greenfield nikel yang masih luas, potensi cadangan yang besar, dan industri hilir nikel yang masih dibutuhkan, maka Indonesia adalah pilihan yang menarik untuk dilakukan pengembangan investasi pada sektor pertambangan nikel.
Namun, regulasi dan kebijakan industrialisasi nikel jangan hanya terpaku pada persoalan eksploitasi dan profitisasi saja. Tetapi juga harus mengakomodasi kepentingan publik dengan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Bagaimanapun prinsip dasar dalam pengelolaan sumber daya alam adalah mengutamakan kemakmuran rakyat (pareto superior), bukan kemakmuran individu (pareto optimal).
Nikel adalah cabang produksi yang penting bagi Indonesia. Itu sebabnya investasi nikel berdasarkan Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 wajib melibatkan persetujuan DPR apabila dilakukan dalam bentuk penanaman modal asing (PMA). Diharapkan check and balances dari DPR terhadap regulasi dan perizinan dapat mencegah tendensi menyingkirkan (ausschaltungs tendenz) dan menyusup (einschaltungs tendenz) yang dapat merugikan kepentingan nasional, mengingat perizinan termasuk ke dalam peringkat tiga teratas sektor terkorup.
Kekalahan di WTO harus dijadikan pelajaran berharga dalam penyusunan kebijakan nasional terkait perdagangan global. Sangat diperlukan upgrading dan reformulasi dalam mengharmoniskan antara prinsip WTO yang memberikan jaminan internasional akan hak Indonesia untuk membuat kebijakan dan UU yang melindungi bangsa dari ekses negatif akibat kerja sama perdagangan global.
Agung Hermansyah dan Yosua M. Tampubolon advokat dan konsultan hukum di Jakarta
Simak juga 'RI Kalah Gugatan Penyetopan Ekspor Nikel, Moeldoko: Harus Berjuang Habis-habisan':