Pada periode pertama 2014-2019, Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla telah memasukkan Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan sebagai prioritas dalam Visi Nawa Cita. Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan juga kembali dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Maruf Amin pada 2019-2024 dalam Visi Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.
Komitmen ini patut diapresiasi karena pelaksanaan Reforma Agraria, terkhusus redistribusi tanah amat genting dan dinanti-nanti. Pendapat itu dilatari oleh hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) BPS 2018 yang mengungkapkan jumlah petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mendominasi di angka hampir 60 persen, atau sebanyak 16,25 juta rumah tangga.
Potret demikian sebetulnya telah terjadi selama empat dekade terakhir, merujuk indeks rasio gini kepemilikan tanah yang berfluktuasi pada rentang nilai 0,50 - 0,72 atau dalam kategori ketimpangan sedang (0,4 β€ G β€ 0,5) dan tinggi (G>0,5). Pada 2013, ketimpangan kepemilikan tanah bahkan tercatat mencapai 0,68, yang berarti 68% sumber tanah yang ada dikuasai oleh hanya 1% kelompok penduduk. Ketimpangan yang curam ini hanya bisa diurai melalui Reforma Agraria.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arus Balik
Namun setelah sewindu Reforma Agraria bergulir, target redistribusi tanah 9 juta hektar belum juga tercapai. Pada masa periode pertama (2014-2019) dan periode kedua (2019-sekarang) pemerintahannya, Presiden Joko Widodo belum menunjukkan keberhasilan dalam merombak ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia. Sistem Informasi Geografis Tanah Objek Reforma Agraria (SIG-TORA) pada 23 November 2022 menunjukkan capaian legalisasi lebih besar daripada redistribusi.
Redistribusi tanah yang berasal dari tanah Eks-HGU, Tanah Telantar dan Tanah Negara lainnya terealisasi seluas 1,19 juta hektar. Adapun yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, pemerintah baru tercapai seluas 0,32 juta hektar atau 8,05 persen saja. Sehingga total redistribusi baru sekitar 1,50 juta hektar atau 33 persen dari target 4,5 juta hektar. Capaian itu berbanding terbalik dengan realisasi legalisasi yang sudah menyentuh angka 4,14 juta hektar, dari target 4,5 juta hektar.
Data tersebut kian menunjukan pergeseran Reforma Agraria dari redistribusi ke sekadar legalisasi. Kondisi demikian disebabkan karena Presiden tidak sepenuhnya memimpin dan mengawasi langsung pelaksanaan Reforma Agraria. Hal itu dapat ditinjau dari peringatan Hari Tani pada setiap tanggal 24 September, di mana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai dasar pelaksanaan Reforma Agraria disahkan.
Pada tahun pertama (2015), Presiden Jokowi lebih memilih meninjau panen padi dan irigasi ketimbang menghadiri peringatan Hari Tani yang diselenggarakan di Banten, atau menerima aksi gerakan Reforma Agraria di depan Istana Merdeka. Kejadian serupa juga terjadi pada tahun ketiga (2017) saat aksi Hari Tani dengan tajuk "Indonesia Darurat Agraria". Pada tahun keempat (2018) Presiden Jokowi justru lebih memilih untuk hadir dalam acara ulang tahun salah satu wadah organisasi para pengusaha yang merepresentasikan korporasi penentang Reforma Agraria. Padahal pada tanggal yang sama beliau menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Barulah pada tahun kelima (2019) Presiden Jokowi berkenan menerima perwakilan massa aksi Hari Tani di Istana Negara. Sementara itu dalam waktu yang bersamaan di depan Gedung DPR/MPR para petani menyuarakan penolakan atas upaya pengesahan berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU), termasuk RUU tentang Pertanahan yang dinilai bertujuan sebagai alat pelemahan UUPA 1960. Meskipun tidak jadi diketuk, Pemerintah dan DPR kemudian memasukkan pasal-pasal kunci dari RUU Pertanahan ke dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menggunakan metode Omnibus Law.
Setelah disahkan pada Oktober-November 2020, UU Cipta Kerja sudah menunjukkan dampaknya, yakni semakin marak terjadi perampasan sumber-sumber agraria yang dimiliki dan dikuasai petani atas nama investasi. UU Cipta Kerja bahkan mengandung pasal-pasal anti Reforma Agraria dan bertentangan dengan UUPA 1960. Di dalam Pasal 125 - 146, UU Cipta Kerja memuat pengaturan baru terkait pertanahan seperti munculnya Hak Pengelolaan (HPL) sebagai dasar hak atas tanah di Indonesia, pembentukan Bank Tanah untuk kepentingan investasi, sampai dengan pemberian hak milik rumah susun bagi warga negara asing.
Banyaknya penyelewengan terhadap Reforma Agraria yang diatur UU Cipta Kerja ini menjadi dasar berbagai pihak mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 25 November 2021, MK kemudian memutuskan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Amar putusan MK juga menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja mesti diperbaiki dalam kurun waktu dua tahun ke depan sejak putusan dibacakan MK atau paling lambat pada 25 November 2023. Apabila tidak dilakukan, maka UU Cipta Kerja secara hukum berkedudukan inkonstitusional permanen.
UU Cipta Kerja sebagai bentuk lebih baku dari 16 paket ekonomi yang digulirkan pada periode pertama Presiden Jokowi menjadi bukti perlawanan pihak-pihak yang tidak setuju terhadap Reforma Agraria. Gelombang perlawanan tersebut menjadi arus balik dari berbagai cita kerakyatan yang termaktub dalam visi-misi Presiden Joko Widodo. Arus balik ini dibuktikan dengan pembangkangan atas Putusan MK.
Pemerintah terus saja mengesahkan peraturan-peraturan pelaksana baru yang berlandaskan UU Cipta Kerja. Misalnya Perpres Nomor 127 Tahun 2022 tentang Kelembagaan dan Tata Kelola Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, Konsesi, Hak Atas Tanah dan/atau Hak Pengelolaan yang disahkan pada 31 Oktober 2022. Perpres ini merupakan perintah PP 43/2021 dan turunan dari UU Cipta Kerja, yang mengatur pembentukan Tim Koordinasi dengan salah satu tugasnya untuk menuntaskan persoalan agraria. Masa berlaku Perpres ini tertulis sampai dengan 31 Desember 2024, yang berarti melampaui tenggat putusan MK untuk masa perbaikan UU Cipta Kerja.
Pada saat yang sama, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian tengah menyusun Rancangan Perpres tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Hal ini dimaksudkan untuk merevisi peraturan yang telah ada sebelumnya, yakni Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, dan juga Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Kedua Perpres ini dinilai perlu diperbarui untuk mempercepat pelaksanaan Reforma Agraria.
Tujuan yang mulia itu berbanding terbalik dengan batang tubuh Rancangan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria yang saat ini masih dalam penyusunan. Dalam materi Revisi Perpres dinilai justru akan melemahkan UUD NRI 1945, Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, UUPA 1960 dan Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja. Sebab Reforma Agraria hanya akan dibatasi dalam kendali Bank Tanah semata.
Mengulang Masalah yang Sama
Rancangan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria masih mengulang masalah yang sama, yakni memperuncing dualisme pengaturan pertanahan di republik ini, antara hutan dan agraria secara umum. Presiden juga tidak memimpin dan mengawasi secara langsung pelaksanaan Reforma Agraria. Kendali pelaksanaan masih berada di Kemenko Perekonomian yang memiliki kewenangan terbatas dalam menentukan keputusan, melakukan terobosan, dan upaya percepatan lainnya di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam draf yang diedarkan Kemenko Perekonomian, kelembagaan pelaksana Reforma Agraria secara sistematis belum melibatkan organisasi petani dan gerakan Reforma Agraria. Padahal kendala selama ini berasal dari kurangnya peran subjek penerima TORA untuk terlibat, akibat dari kerumitan birokrasi dan hal-hal administrasi.
Oleh karena itu, jika peraturan dan ketentuan terkait Reforma Agraria masih mengacu pada UU Cipta Kerja, maka bisa dipastikan percepatan yang dimaksud tidak akan terlaksana. Terkecuali sedari awal berbagai deregulasi yang dilakukan, termasuk Rancangan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria ini dimaksudkan untuk melemahkan dan bahkan mensubversi Reforma Agraria itu sendiri.
Angga Hermanda Sekretaris Damar Leuit, Lembaga Kajian Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan
Simak juga 'Unjuk Rasa Aliansi Pejuang Reforma Agraria, Tuntut Mafia Tanah Dibasmi':