Universitas selalu berkonotasi dengan kecerdasan, ilmu pengetahuan, kekuatan inovasi dan visi tentang masa depan. Maka wajar jika metrik yang berkait dengan hal itu selalu menjadi warna dalam logika kontestasi demokrasi kampus.
Sebut saja dalam urusan pemilihan rektor. Setiap kandidat, dalam beragam gaya, menggunakan ke empat hal tersebut sebagai ramuan bercampur penanda kapasitas kepemimpinan, kearifan serta jejak kecencekiaan dalam sajian visi dan misi mereka.
Tujuannya satu, impresi sosok terbaik yang tepat memimpin dan mendekatkan masa depan.
Sayangnya, perguruan tinggi kita umumnya tidak membangun mekanisme terancang cerdas yang secara kokoh menjadi jalur pertumbuhan karir manajerial seorang dosen.
Sistem yang kini ada berfokus pada definisi kecemerlangan pencapaian yang murni diwarnai indeks dalam metrik berkarya secara keilmuan. Jumlah publikasi, buku, patent, sajian inovasi dan lain-lain. Wawasan bisnis dan manajemen nyaris tak pernah terposisikan sebagai bagian penting strategi jangka panjang kaderisasi pimpinan universitas.
Keadaan itu menghadirkan ruang bagi praktek politik demokrasi kampus yang terbuka namun ditopang oleh kecerdasan relatif rapuh. Ketiadaan metrik penanda kecukupan kemampuan managerial mengakibatkan ajang kontestasi rentan terhadap susupan perspektif subyektif, nuansa kepentingan kelompok, dan bahkan dalam kasus tertentu ternilai sangat otoritarian karena menafikan moral akademik dan nilai demokrasi.
Penonjolan metrik kehebatan diri dipilih sebagai strategi yang jitu. Sangat penting karena kontestasi nir penanda kehebatan bagaikan menyibak borok sendiri. Lebih dari itu bukan tidak mungkin memunculkan spekulasi sebagai boneka dari kekuatan besar yang tak kasat mata.
Hal yang sering diabaikan adalah bahwa logika kontestasi semacam itu memiliki labirin tersebunyi. Menyimpan anak panah yang akan dilesatkan busur kebenaran dalam kongsi waktu yang telah ditakdirkan. Kelak menghujam akal budi kandidat sembari membisikkan tanya. Apakah akan setia teguh dengan moral akademik jika impian berkuasa pupus tak tergapai?
Jelaga Api Otoritarian
Professor Bambang Hidayat, anggota AIPI dan pensiunan guru besar astronomi ITB, mengutip Aristoteles dalam opininya yang diterbitkan Kompas 7 Desember 2022. Bahwa seorang yang baik tidak hanya memiliki satu kebajikan; tetapi sikap dan tindak-tanduknya adalah panduan moralitas dalam segala hal.
Tulisan itu menyiratkan asa akan wujud perguruan tinggi yang didambakan. Bahwa universitas seharusnya menegaskan serta memperkaya kemampuan berpikir kritis dan logis. Etos yang
menjadi legasi dan kemudian dihormati.
Professor Bambang Hidayat tidak sendiri dalam kegelisahan semacam itu. Ancaman akan redupnya kemilau pencerahan yang menuntun kepada matinya etos universitas juga dipersoalkan oleh Peter Fleming dalam bukunya Dark Academia: How Universities Die (Pluto Press, 2021).
Fleming berdiri pada kajian yang mengupas persoalan hasrat obsesif universitas masa kini atas metrik pengakuan yang cenderung kepada sifat dan penciri yang dipandangnya sebagai ekspresi pengaruh neoliberalisme dunia pendidikan tinggi.
Seperti ditulis The Guardian, Fleming menyiratkan keniscayaan universitas sebagai komunitas khas yang memiliki otonomi dan dipenuhi kepakaran berintegritas kuat itu kini sulit terpatri menjadi ciri keyakinan diri. Selaras dengan pandangan Professor Bambang Hidayat yang pada intinya menguji kesejatian universitas sebagai tempat berlindungnya kebebasan berekspresi dalam kebaikan menurut perspektif Aristoteles yang dikutipnya.
Lantas bagaimana fakta sesungguhnya? Operasi tangkap tangan KPK atas rektor Universitas Lampung menampar kita semua seolah membenarkan tesis Fleming. Sebuah cacat makna penanda runtuhnya etos di universitas (Yahya, detikNews 22 Agustus 2022).
Alih-alih menggambarkan karakter baik dengan moral akademik kuat, itu justru mengesankan prilaku otoritarian dalam bungkus perasaan berkuasa.
Di awal tahun lalu, 16 Januari 2021 Kompas memberitakan tentang seorang calon rektor terpilih universitas terkemuka di Sumatera Utara dijatuhi sanksi plagiat karena mengutip karyanya sendiri. Academic misconduct, apa pun ragamnya, memang tidak dapat ditolerir. Namun peristiwa itu menghembuskan aroma sikap otoritarian dalam rivalitas pemilihan rektor. Kelam dan menjadi jelaga yang merusak citra institusi.
Seperti diberitakan Kompas, diduga bahwa sanksi dari rektor yang berkuasa saat itu berkait dengan ketidakpuasan akibat kandidat yang didukungnya kalah dalam pemilihan.
Peristiwa di Unhas (2014), Unpad (2019), dan Universitas Negeri Gorontalo (2020) adalah cuplikan banyak peristiwa sejenis yang menyertakan dampak serupa. Bahwa sengkarut sengketa pemilihan rektor tak menghasilkan apa pun terkecuali menjadi penanda jejak derita tergoresnya marwah universitas itu sendiri. Sisi citra demokrasi kampus yang bertopang pada kecerdasan politik rapuh. Isyarat semacam itu terbaca pula dalam salah satu ulasan di Kolom Detik tanggal 8 Desember 2022. Inidikasi bahwa persoalan semacam itu selalu membayangi kehidupan universitas kita.
Tentu saja hal itu menghadirkan tanya. Budaya progresif apa yang hendak kita bangun di universitas kita? Jika memang visi dan misi para kandidat rektor itu adalah jabaran dharma atas nama cinta, lantas mengapa di ujung cerita harus terbelah?
Bukankah atmosfir dan kesadaran berpikir semua pihak dipenuhi suka cita dan hasrat akan dharma kala seorang kandidat menyajikan visi dan misinya? Mematut diri dalam impresi sosok penghela pencerahan dan perubahan maju berketulusan. Laksana mercu suar yang senantiasa menyala meski sehebat apa pun badai menerjang. Maka jika kemudian tiba-tiba padam karena impian kekuasaan pupus tak terpegang, publik pasti menilai bahwa panah kebenaran telah dilesatkan. Menyibak kesejatian maya yang sebelumnya tersembunyi.
Universitas tidak patut menerima derita semacam itu. Dharma sejati tercirikan oleh ketulusan dalam balutan energi yang mengawal kemurnian persembahan. Pamrih yang dibungkus pencitraan semu adalah daki yang hanya dapat dibasuh dengan beningnya akal budi. Mengalir dalam keselarasan baiknya diksi dan jalinan kinerja tertelusur. Membuncahkan keberkahan. Seperti pelangi yang mustahil ada jika spektrum cahaya hanya diisi oleh satu nilai panjang gelombang.
Pribadi bijaksana senantiasa mengerti bahwa resonansi adalah ayat semesta yang menegaskan kemajemukan. Keluhuran budaya mengajarkan definisi rasa hormat dan sikap perwira. Sebut saja makna filosofis di sebalik motif Kawung. Tuntunan pemaknaan manunggaling kawula gusti menegaskan betapa pentingnya dinamika dan keadilan yang bersifat simetris dalam tautan moral. Selarasnya sosok yang dipilih sebagai pemimpin dengan mereka yang berhidmat dan menghormati kepemimpinan terpilih. Itulah resonansi. Kebenaran dari etos kearifan akal budi itu telah teruji sahih (Yahya, detikNews 21 Maret 2022).
Dalam batas tertentu bisa saja perspektif Fleming tentang isyarat punahnya etos, moral dan legasi pencerahan universitas itu mulai terindera nyata. Nun mari percaya bahwa masih selalu ada jalan pulang terberkati bagi jiwa merdeka. Dosen, baik professor maupun bukan, akan selalu berada dalam peran seorang guru. Sahabat masa depan yang selalu harus menjawab keterpanggilan. Pun demikian universitas dapat memilin akal budi menjadi budaya terdamba seperti untai tiga kalimat bijak Ki Hajar Dewantara.
Universitas elok selalu disuburkan sebagai suar keteladanan. Komunitas yang dituju karena mengedepankan keselarasan. Dirindu karena setia mengawal ajaran moral dan kebenaran. Subur dengan kemerdekaan berpikir disertai pandangan maju yang mendekatkan masa depan. Itulah tempat terhebat di muka bumi. Rumah bagi para Pendito. Sosok berkecerdasan yang khusyuk dalam kongsi waktu. Merajut dharma menjadi etos penanda kesejatian.
Mari bersepakat bahwa kekisruhan akibat kecerdasan politik yang rapuh hanya akan melukai marwah universitas. Sepandai-pandai orang bermain api, jika pun tidak terbakar maka jelaganya pasti akan menempel di pakaian dan atau muka sendiri.
Sepanjang-panjang dharma seorang dosen kepada institusi, ada masanya ia harus dan pasti pergi. Energi setiap orang pasti terbatas tapi kejayaan universitas elok bertahan hingga masa tanpa batas.
Saya meyakini bahwa tidak ada buruknya untuk menerima peran kerlip kunang-kunang di tengah belantara. Karena sungguh tak berguna kemilau berlian segenggam di antara bintang-bintang! Semoga terpelihara dharma karena cinta. Jayalah semua universitas untuk kejayaan negeri ini. Wallahualam.
Iwan Yahya. Dosen dan peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Simak juga 'Nadiem Sebut RUU Sisdiknas Beri Keleluasaan Kampus untuk Berkembang':