Memeriksa Kembali Negara Hukum dan Integritas Aparaturnya

Kolom

Memeriksa Kembali Negara Hukum dan Integritas Aparaturnya

A. Muh. Agil Mahasin - detikNews
Senin, 12 Des 2022 11:50 WIB
Caucasian woman holding gavel
Ilustrasi: Getty Images/iStockphoto
Jakarta -

Sebagai konsep bernegara, hukum telah lama melekat dalam konstitusi Indonesia. Frasa Indonesia sebagai 'negara hukum' bahkan diajarkan dalam berbagai level pendidikan di negara ini. Dalam berbagai seremonial, istilah negara hukum pun selalu fasih diucapkan. Dengan banyak bahasa kita selalu meyakini bahwa negara ini berlandaskan hukum, meskipun sekian banyak problematika telah mengganggu eksistensi frasa dimaksud.

Apapun itu, beruntung memang kita memilih hukum sebagai landasan bernegara. Kita bisa berkaca dengan negara seberang di mana kekuasaan yang jadi penguasa. Absennya hukum dalam pilar bernegara menimbulkan resistensi dalam kehidupan sehari-hari. Penguasa dimungkinkan bertindak sekehendaknya, tanpa punya batasan dalam mengelola kekuasaannya. Sebuah pengkhianatan dalam konteks kontrak sosialnya Rosseau.

Kita pun pernah punya pengalaman di mana abolutisme kuasa jadi corak penguasa. Ketika itu, meski tidak ada diksi 'otoritarianisme' yang mengemuka, keseimbangan antara negara dan rakyatnya timpang. Kebenaran yang dipandang penguasa bisa dirasakan sangat tidak adil oleh rakyat. Begitu pun penegakan hukumnya; penguasa punya 'legalitasnya' sendiri demi melanggengkan otoritasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena sejarah tersebut, konstitusi kita memilih hukum sebagai konsep bernegara. Negara hukum (recht staat) menjadi bagian dari harapan agar Indonesia menjadi tanah yang adil bagi setiap manusia, punya jaminan atas penghidupan yang baik, dan mampu memperoleh kesempatan yang sama untuk beraktualisasi.

Bagian penting hukum yang begitu diharapkan ini bersumber dari substansi hukum itu sendiri. Sebagai sebuah konsep, hukum digambarkan memiliki fungsi-fungsi yang mendukung lahirnya kesatuan masyarakat yang tertib, damai, maju, dan korektif. Sebagaimana dinyatakan oleh Sjachran Basah (dalam Mawardi, 2015) fungsi hukum dapat dinyatakan melalui aspek direktif yakni pengarah, integratif yakni pemersatu, stabilitatif yakni pemelihara keseimbangan, perfektif yakni penyempurna tindakan, dan korektif yakni pemberi keadilan kepada masyarakat.

ADVERTISEMENT

Barangkali fungsi hukum yang demikian mewah itu diharapkan bisa mengawal perjalanan negara hukum Indonesia. Namun begitu, setelah beberapa lama kita menyaksikan perjalanan negara ini beserta dengan 'hukumnya', berbagai kontradiksi terpampang jelas. Salah satunya sering terjadi belakangan ini di mana alih-alih hukum mengendalikan negara ini dengan berwibawa, yang terjadi adalah hukum ditikam oleh aparaturnya sendiri.

Mencederai Wibawa Hukum

Seabrek kasus pelanggaran hukum yang terjadi belakangan ini ironisnya berasal dari oknum para penegak hukum. Mereka yang kita harapkan menjadi tulang punggung dalam penegakan hukum justru tampil sebagai pesakitan. Kenapa ini menjadi ironi? Sebab pelanggaran hukum yang mereka perbuat bukan hanya berimplikasi pada diri mereka pribadi, namun justru telah mencederai wibawa hukum itu sendiri.

Ya, sebab hukum itu memang 'tidak lebih' dari seperangkat nilai, norma, kaidah, maupun aturan-aturan. Oleh karena sifatnya yang abstrak, tentunya para aparatur hukumlah yang bertindak atas nama hukum. Dengan aparatur tersebut, seluruh sendi penegakan aturan yang pada pokoknya menginginkan terciptanya keteraturan, kedamaian, kemajuan, dan kebahagiaan dijalankan.

Ketika Lawrence M Friedmann menjelaskan hukum sebagai instrumen yang disokong oleh substansi, struktur, dan kultur, aparatur hukum menjadi bagian penting dalam argumen tersebut. Bagaimanapun, hukum selalu berkait dengan aparaturnya. Hukum berjalan erat dengan kualitas aparaturnya. Jika aparaturnya baik otomatis hukum yang dijalankan pun baik.

Dalam konteks inilah integritas aparatur hukum menjadi sangat urgen. Seorang aparatur hukum yang memiliki daya dan kewenangan sangat penting dibekali oleh kontrol diri yang memadai. Dalam hal seorang aparatur rentan atas integritasnya, seberapa pun cerdasnya seorang aparatur hukum, mereka berpotensi menjadi predator yang berbahaya bagi masyarakatnya.

Jika seorang hakim mengalami cedera pada integritasnya, betapa besar risiko yang dimiliki dalam proses pencarian keadilan dalam persidangan. Objektivitas yang diinginkan oleh pihak yang bersengketa raib akibat ketamakan sang pengadil. Kebenaran materiil yang diharapkan muncul, akhirnya berubah menjadi kebenaran 'artifisial' sesuai dengan keinginan pengadil yang telah tercemar.

Begitu pula apabila seorang polisi diganggu independensinya. Betapa berbahayanya jika seorang polisi menggunakan kewenangannya untuk kepentingan sepihak. Proses pencarian fakta sangat mungkin direkayasa. Lebih jahat lagi, secara ekstrem menargetkan orang tertentu sebagai pihak yang disangkakan kasus. Dampak dari rapuhnya integritas menjadi begitu berbahaya.

Akhirnya, hukum alih-alih menjadikan negara ini menjadi tertib dan terarah, sebaliknya menjadi instrumen yang memicu kerentanan oleh sebagian besar pihak. Terutama karena pihak-pihak yang memegang kewenangan atas nama hukum berani menggadaikan integritasnya, sehingga di saat bersamaan memicu kekhawatiran tertindasnya mereka yang tidak mampu membeli 'hukum'. Mereka ini menjadi pihak yang sangat potensial untuk menciptakan hukum mandiri. Kembali pada kondisi anarki yang membahayakan orang kebanyakan.

Kualitas Aparatur

Untuk mengefektifkan negara hukum yang kita jalankan, menambal sulam peraturan bukan langkah yang bisa berdiri sendiri. Aturan sebagai sebuah substansi perlu didukung oleh kualitas aparatur yang mendukung berfungsinya norma-norma yang dikehendaki oleh aturan tersebut. Mau tidak mau, integritas aparatur hukum harus diperiksa kembali.

Secara sistem memang tidak mudah. Membangun integritas aparatur hukum, bukan pekerjaan tipe konstruktif yang bisa didesain secara kasat mata dan dalam jangka waktu tertentu. Integritas terbangun melalui pendekatan kultural sekaligus pemberian sanksi yang efektif. Melahirkan aparatur yang berintegritas bisa dibilang sama beratnya dengan membangun negara itu sendiri. Tetapi, sekali waktu generasi ini bisa terbentuk, peluang kesejahteraan itu terbuka lebar.

Bagian ini saya dapati menjadi pola yang dibentuk Muhammad SAW tatkala membangun Negara Madinah. Dalam membangun pemerintahan yang efektif, ternyata bukan aturan-aturan hukum yang lebih dulu diperkokoh. Para sahabat pada masa generasi awa, dididik dengan konsep nilai dan etika terlebih dahulu, untuk kemudian secara personal siap ditempatkan sebagai pemangku kewenangan.

Maka dari itu tidak heran di kemudian hari, di generasi kita ini, telah sampai sebuah dialog yang sangat epik antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan anaknya. Sebuah percakapan yang menyajikan tentang kualitas kepemimpinan yang berbalut integritas. Di saat anaknya terheran-heran, mengapa lampu ruangan dipadamkan oleh ayahnya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berujar: Lampu ini milik negara, sehingga tak pantas dinyalakan untuk pembicaraan keluarga.

Agil Mahasin ASN, Legal Drafter

Simak juga 'Saat Hakim Agung Gazalba Saleh Tersangka KPK Hadiri Pemeriksaan':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads