Sering kita menemukan slogan 'Ayo cegah stunting!' dengan infografis mengenai stunting di tempat pelayanan kesehatan, khususnya poli anak. Mahasiswa juga sering menyinggung perihal stunting sebagai projek pengabdian atau penelitian mereka. Bahkan, setiap orangtua di Indonesia dapat dikatakan sudah sering mengikuti sosialisasi mengenai stunting. Berbagai penelitian dan cara pencegahan stunting sudah berkali-kali disebarluaskan kepada masyarakat.
Pemerintah pun sudah memberikan program khusus untuk mencegah stunting, seperti peningkatan gizi masyarakat melalui PMT. Namun, Indonesia masih betah menjadi negara ke-5 di dunia dengan predikat kasus stunting terbanyak. Berdasarkan hasil Studi Gizi Indonesia 2021, persentase prevalensi nasional balita dengan stunting adalah 24,4%. Angka prevalensi tersebut memang menurun dari tahun sebelumnya, yaitu 26,9% pada 2020. Namun, target pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting sebesar 3% setiap tahunnya belum terpenuhi.
Jika ditelaah lebih lanjut, angka prevalensi stunting di setiap provinsi bahkan ada yang menembus 37,8% pada 2021 berdasarkan tinggi badan balita. Hal tersebut membuktikan bahwa seluruh program dalam pencegahan stunting dianggap belum terlalu efektif dalam menyelesaikan permasalahan krusial ini.
Short Stature
Masyarakat mengenal stunting sebagai kondisi gagal tumbuh kembang anak. Ciri anak dengan stunting adalah tubuh mereka cenderung lebih pendek dan kecil yang bisa disebut sebagai short stature. Kondisi tubuh lebih pendek tidak hanya dihasilkan karena adanya stunting. Faktor lain yang menyebabkan adanya short stature adalah slow bone growth atau pertumbuhan lambat pada tulang anak.
Kondisi short stature acap tidak disadari oleh orangtua. Asumsi utama mereka ketika memiliki anak bertubuh pendek dan kecil adalah faktor genetik keluarga. Namun, seringkali short stature menjadi salah satu bukti kuat bahwa anak mengalami stunting. Sayangnya, masyarakat masih terlalu awam atau bahkan tidak tahu dengan kondisi tersebut.
Mempengaruhi Kualitas Hidup
Hal utama yang tidak disadari masyarakat ialah bagaimana stunting dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, khususnya di masa depan. Menurut Organization of Economic and Culture Development (OECD) ada tujuh indikator utama dalam menentukan kualitas hidup seseorang, salah satunya ialah kesehatan.
Penelitian oleh Santos (2020) membuktikan bahwa anak dengan stunting mengalami performa kesehatan fisik lebih rendah daripada anak normal dikarenakan kondisi short stature yang mereka alami. Selain itu, Sanou (2018) berpendapat bahwa kemampuan kognitif dan daya ingat anak dengan stunting lebih rendah daripada anak dengan kondisi normal. Kondisi tersebut tentu berdampak pada kesejahteraan anak, khususnya di masa depan.
Selain kualitas SDM Indonesia yang menurun, siklus stunting tidak akan berhenti. Hal tersebut terjadi karena anak yang lahir dari orangtua stunting memiliki probabilitas tinggi untuk mengalami stunting pula (Sumarmi, 2016). Jika salah satu indikator tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka dapat dipastikan indikator lainnya tidak akan mencapai kualitas terbaik pula.
Pemahaman Orangtua
Garda utama dalam menghapuskan kasus stunting sebenarnya terdapat pada pemahaman orangtua mengenai stunting dan nutrisi seimbang pada anak. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan Saraswani (2022), 67,1% dari 85 orangtua sebagai responden masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai stunting. Bahkan, masih banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa anak mereka mengalami short stature sebagai dampak dari stunting.
Selain itu, penelitian mengenai kasus short stature yang terjadi karena slow bone growth dan stunting masih jarang ditemui. Jika garda utama pencegahan stunting belum cukup kuat, lalu bagaimana anak-anak mendapatkan kualitas hidup yang baik?
Akar Utama
Seluruh gambaran mengenai kondisi stunting di Indonesia menjurus pada jawaban bahwa Indonesia sulit atau bahkan terperangkap dalam kasus stunting. Progres yang lemah dalam penurunan prevalensi dan pemahaman masyarakat mengenai stunting membuktikan bahwa Indonesia masih sulit untuk keluar dari fenomena ini. Namun, hal yang harus diperhatikan dari kasus ini ialah akar utama tingginya kasus ini.
Sebenarnya, stunting dan slow bone growth yang mengakibatkan short stature terjadi karena malnutrisi anak. Malnutrisi sering ditemukan pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah dan lingkungan hidup buruk. Maka, akar dari permasalahan ini terdapat pada angka kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Jika dianalisis dari tingkat kemiskinan, maka Indonesia masih memiliki harapan besar untuk dapat keluar dari jeratan kasus stunting yang tinggi.
Menurut data statistik sejak pandemi 2020, angka kemiskinan di Indonesia pada tahun ini menjadi yang terendah. Selain itu, perekonomian semakin stabil dan meningkat. Dilihat dari indikator tersebut, didapatkan bahwa Indonesia masih memiliki kesempatan atau kemungkinan besar untuk bisa menurunkan prevalensi stunting. Mengentaskan kemiskinan dan memelihara lingkungan hidup yang baik menjadi tujuan utama agar kasus stunting dapat mengalami penurunan.
Langkah Tepat
Penurunan stunting didukung dengan kesadaran masyarakat mengenai dampak stunting yang sangat berpengaruh pada kualitas hidup anak. Sebaiknya, gerakan atau penyuluhan yang diberikan tidak berlangsung hanya dalam satu hari. Gerakan itu sebisa mungkin dapat mengubah sifat masyarakat untuk lebih perhatian dalam mencegah stunting. Selain pemaparan materi, masyarakat dapat dibina untuk membuat makanan dan minuman bernutrisi dari bahan-bahan alami yang ada di setiap daerah.
Selain itu, tiga periode emas sebagai titik kritis pertumbuhan perlu dikenalkan lebih dalam. Pertama ialah periode dalam kandungan (280 hari) dengan menjaga asupan nutrisi ibu hamil agar pembentukan, pertumbuhan, dan perkembangan janin optimal. Kedua, periode 0-6 bulan usia anak dengan melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Ketiga, periode 6-24 bulan dengan memberikan tambahan MPASI yang bernutrisi.
Deteksi Radiologi
Ada salah satu cara yang sangat membantu dalam mendeteksi stunting dengan short stature, tetapi jarang dilakukan oleh masyarakat. Cara itu ialah melakukan pemeriksaan radiologi bone age. Pemeriksaan tersebut akan mengevaluasi usia tulang dari anak dan melihat indikasi short stature. Nantinya, salah satu atau kedua tangan dari anak akan 'difoto' dengan posisi PA atau telapak tangan anak menempel pada meja pemeriksaan.
Hasil foto dari proses tersebut akan dievaluasi oleh dokter radiologi. Hal-hal yang dievaluasi meliputi usia tulang pada tangan dan tingkat osifikasi atau pembentukan tulang anak. Maka dari itu, peran radiologi sangat penting dalam membantu masyarakat mengatasi dan mendeteksi kasus short stature dan stunting pada anak.
Indonesia tentu mampu keluar dari deretan teratas negara dengan kasus stunting terbanyak di dunia. Hal itu dapat terjadi hanya jika masyarakat memiliki kesadaran tinggi untuk menjalani hidup sehat. Kesadaran tinggi didasari bahwa Indonesia masih memerlukan SDM berkualitas tinggi ke depannya. Langkah utama dalam mencapainya diawali dengan anak Indonesia mendapatkan kesejahteraan dan kualitas hidup baik tanpa malnutrisi, stunting, hingga short stature.
Kolom
Stunting, "Short Stature", dan Kualitas Hidup Anak

Aqila Adinda Minerva Putrijaya
Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

Jakarta -
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini