Indonesia baru saja selesai menjalankan tugas memimpin forum organisasi mutilateral terbesar di dunia, Presidensi G20. Sejak didapuk menjadi presidensi pada 1 Desember 2021, Indonesia telah menjalankan berbagai pertemuan-pertemuan penting di berbagai bidang dengan negara-negara anggota G20. Posisi ini telah membuka berbagai peluang sekaligus tantangan dalam meningkatkan kiprah Indonesia guna mewujudkan kesejahteraan bersama dengan saling mendukung terutama dalam pemulihan ekonomi pascapandemi.
Dalam agendanya, G20 berfokus pada tiga pilar isu prioritas, yaitu arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, dan transformasi digital dan ekonomi. Forum kerja sama ini diharapkan memberikan dampak positif terhadap ekonomi dan pembangunan yang kuat dan berkelanjutan. Dalam KTT G20 16-17 November 2022 di Bali, Presidensi G20 Indonesia telah berhasil membangun kesepakatan dan komitmen penting di berbagai bidang.
Saling Mendukung
Di bidang ekonomi, negara-negara G20 telah bersepakat dan berkomitmen akan terus menjaga koordinasi dalam implementasi kebijakan fiskal dan moneter yang saling mendukung, serta memandang penting stabilitas sistem keuangan dan reformasi struktural dalam menghadapi tekanan global yang kian meningkat saat ini.
Selain itu, negara-negara G20 menyepakati pentingnya kebijakan moneter untuk fokus dalam menurunkan inflasi, dan kebijakan fiskal untuk membantu kelompok rentan dalam menghadapi kondisi ekonomi yang sulit, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan fiskal. Negara anggota juga memandang pentingnya menjaga stabilitas keuangan dan melanjutkan reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas dan mendorong kapasitas demi meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Forum G20 melalui penyelenggaraan The Framework Working Group (FWG) dalam jalur keuangan juga telah berhasil dan senantiasa mendorong negara-negara anggotanya dalam menjunjung semangat multilateralisme untuk mencapai pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, dan inklusif di masa depan. Pada periode Presidensi G20 tahun 2023 yang akan dipimpin India, terdapat agenda prioritas FWG yang mencakup strategi menghadapi kerawanan pangan, implikasi makroekonomi dari perubahan iklim, dampak makro dan fiskal globalisasi keuangan di dunia pascapandemi.
Sementara itu, di bidang perpajakan, negara-negara anggota G20 telah berkomitmen untuk mengimplementasikan perjanjian tentang paket perpajakan internasional dua pilar G20-OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) secara berkelanjutan. Pilar pertama, paket perpajakan internasional G20-OECD terkait perpajakan di sektor digital yang selama ini menjadi salah satu isu sangat tegang di antara negara G20 maupun di seluruh dunia.
Sementara itu, pilar kedua menyangkut perpajakan minimum global untuk perusahaan yang bergerak antarnegara yang berpotensi terjadi praktik penghindaran pajak atau tax avoidance dan penggelapan pajak atau tax evasion. Selain itu, forum G20 juga mendiskusikan pajak dan pembangunan, serta transparansi pajak. Dari dua topik pembahasan tersebut, para anggota G20 menggarisbawahi urgensi bantuan teknis dan peningkatan kapasitas melaksanakan kesepakatan dua pilar tersebut, serta mendukung kemajuan yang dicapai dalam penerapan standar transparansi pajak yang disepakati secara internasional.
Prioritas G20 juga fokus di bidang ketahanan pangan terutama pada tingginya harga pangan dan ancaman risiko ketahanan pangan. Presidensi G20 Indonesia telah menginisiasi pertemuan antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian untuk mendiskusikan secara intensif upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerentanan pangan, terutama melalui koordinasi finance-agriculture secara berkelanjutan. Berbagai keputusan tersebut akan menjadi acuan bagi pembangunan yang pada akhirnya akan menjadi prioritas alokasi anggaran negara-negara G20 secara nyata di masa mendatang.
G20 juga memberikan komitmen dalam hal sustainabilitas dan antisipasi risiko di masa mendatang. Pertemuan G20 akan menentukan keberlanjutan inisiasi The Financial Intermediary Fund (FIF) for Pandemic Prevention atau juga dikenal Pandemic Fund yang dibentuk sebagai skema global dalam menghadapi persiapan dan kesiagaan terkait pandemi di masa mendatang diperkirakan akan menjadi salah satu komitmen terbesar dalam G20 kali ini. Upaya ini merupakan salah satu respons pemimpin dunia bersama pemimpin lembaga kesehatan dunia (WHO) dalam menyikapi kesiapan atas dampak pandemi yang telah meluluhlantakkan berbagai aspek kehidupan terutama di bidang kesehatan.
Mengutip pernyataan Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, pandemi bukan soal "jika terjadi", tapi menjadi "kapan terjadi". Dana tersebut akan menyediakan aliran khusus pembiayaan jangka panjang tambahan untuk memperkuat kemampuan pencegahan, kesiapsiagaan, respons pandemi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Pandemic Fund juga akan diarahkan untuk mengatasi kesenjangan yang sangat jauh melalui investasi dan dukungan teknis di tingkat nasional, regional, dan global. Beberapa contoh penguatan di tingkat regional dan global, misalnya, dengan membangun kapasitas untuk penanggulangan medis. Komitmen ini juga akan memberikan ancang-ancang dari sisi dukungan fiskal pembiayaan anggaran serta peta risiko pandemi Indonesia di masa mendatang.
Di bidang risiko perubahan iklim, G20 meyakini perlunya kerja sama internasional yang dapat memastikan implementasi kebijakan terkait net zero policy yang merata dan juga terjangkau bagi negara-negara berkembang dan miskin. Kredibilitas kebijakan moneter dan insentif juga diyakini dapat mengurangi biaya makroekonomi dari kebijakan iklim.
Network for Greening Financial System (NGFS) memaparkan perlunya transisi yang ambisius di semua sektor ekonomi. Hal ini akan lebih ekonomis ketimbang transisi tidak teratur (disorderly) yang dilakukan secara bertahap dalam jangka panjang. Negara anggota G20 bersepakat bahwa aktivitas transisi perlu segera dilakukan dengan memperhatikan kapasitas masing-masing negara, sekalipun terdapat tantangan global yang menghambat.
Dampak Fiskal
Berbagai kesepakatan tersebut memiliki dampak fiskal terutama mempengaruhi perencanaan anggaran negara (APBN) di masa mendatang. Pertama, perjanjian tentang paket perpajakan internasional dua pilar G20-OECD diperkirakan akan berdampak terhadap pendapatan negara. Kedua, pertemuan antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian untuk mendiskusikan upaya yang dapat dilakukan G20 untuk mengatasi kerentanan pangan, terutama melalui koordinasi finance-agriculture secara berkelanjutan diproyeksikan akan berdampak terhadap sisi belanja negara dan juga belanja perpajakan (tax expenditure).
Ketiga, implementasi kebijakan terkait net zero policy yang merata dan juga terjangkau bagi negara-negara berkembang dan miskin diperkirakan akan memengaruhi sisi penerimaan perpajakan dan belanja negara. Keempat, komitmen Pandemic Fund diperkirakan akan berdampak terhadap belanja negara dan pembiayaan anggaran. Kelima, penyelenggaraan FWG diperkirakan akan berdampak terhadap koordinasi fiskal dan moneter.
Dari sisi penyelenggaraan kegiatan Presidensi G20 Indonesia, berdasarkan perhitungan pemerintah diperkirakan akan meningkatkan konsumsi domestik sekitar Rp 1,7 triliun dan memiliki kontribusi sekitar Rp 7,4 triliun pada PDB Indonesia. Selain itu, melalui pelibatan UMKM diperkirakan akan menyerap 33.000 tenaga kerja dan 700.000 lapangan kerja baru. Sektor pariwisata juga akan terdampak positif melalui peningkatan wisatawan mancanegara sekitar 1,8 hingga 3,6 juta wisatawan.
Pada akhirnya, masyarakat berharap berbagai kesepakatan dan proyeksi dampak kerja sama forum multilateral G20 tersebut mampu dan berperan nyata dalam menjawab berbagai persoalan di masyarakat negara-negara anggotanya yang saat ini tengah bergelut dengan kesulitan ekonomi dan resesi yang cukup dalam.
Dalam jangka pendek dan menengah hasil kerja sama G20 diharapkan mempu meningkatkan kesehatan masyarakat, menjaga daya beli, dan mengurangi angka kemiskinan, serta mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tentu saja ini bukan hal yang mudah untuk diwujudkan, namun harus terus diupayakan dengan sekuat tenaga.
(mmu/mmu)