Dalam sebuah kesempatan, saya melakukan perbincangan santai dengan seorang perempuan yang juga aktivis perlindungan anak di kota tempat saya tinggal. Dia menceritakan bahwa baru saja menerima laporan tentang terjadinya kekerasan seksual pada anak. Dan, parahnya lagi, yang menjadi korban dan pelakunya adalah anak-anak juga, yang masih berusia di bawah sepuluh tahun. Tentu sesuai ketentuan dalam perlindungan anak, keduanya sebenarnya adalah korban.
Sebetulnya, ini bukan peristiwa pertama yang terjadi, tentang anak-anak yang menjadi korban dan mengalami kekerasan seks, sebab di berbagai wilayah lain pun, kejadian tersebut sering juga kita dengar. Saya tidak akan membahas tentang kronologi kasusnya, ataupun penanganan secara hukumnya, tetapi saya ingin menggali tentang beberapa pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita. Bagaimana mungkin seumuran mereka bisa melakukan hal tersebut? Apakah kini tempat tinggal mereka sudah sebegitu membahayakan? Apa sebenarnya yang terjadi?"
Untuk menggali lebih lanjut, saya ingat pernah mengobrol dengan seorang aktivis lingkungan hidup dan kebudayaan tentang sangat dibutuhkannya ruang publik sebagai sarana tempat bermain anak-anak dan juga menjadi tempat diskusi bagaimana kita mendesain kebudayaan sebagai sarana pendidikan, yang selama ini memang belum pernah ada rancangannya secara menyeluruh.
Sebagai gambaran terkait hal ini, misalnya, di dekat rumah saja, saya sering melihat anak-anak bermain sepak bola di jalanan, padahal di sana sering dilewati kendaraan lalu-lalang. Tentu, ini sangat tidak ramah anak, dan juga membahayakan keselamatan mereka. Pada sisi lain, tampak sekumpulan anak sedang asyik duduk sambil bermain HP di teras rumah yang ada sinyal internet --istilahnya "mabar" atau main bareng, begitu ajakan mereka ketika mereka ketika memanggil temannya. Ini juga terjadi akibat kurangnya ruang publik, sehingga main bareng yang dulu terjadi di lahan luas kini hanya dimaknai dengan main game lewat HP.
Bahkan, saya sering melihat, selevel sekolah formal sekali pun, banyak yang berdiri di atas lahan pas-pasan, sehingga lahan yang lapang untuk olahraga dan sarana bermain menjadi sangat terbatas. Sementara ketersediaan ruang publik melalui sarana edukasi gratis di lingkungan tempat tinggal juga sangat minim, seperti misalnya tidak adanya perpustakaan dengan buku-buku gratis sebagai tempat mereka bercengkerama dengan bacaan yang positif.
Dari sini saya melihat bahwa sebenarnya ada benang merah antara mulai hilangnya ruang publik dengan perilaku seks pada anak. Karena mereka kehilangan tempat bermain yang lapang untuk mengeksplorasi segenap potensinya secara seimbang, baik pikiran, fisik, maupun nila-nilai budaya. Bahkan bukan hanya kehilangan tanah lapang, tetapi juga sebenarnya hak mereka untuk mendapat tempat bermain yang layak juga mungkin hilang.
Dari ruang publik yang mulai hilang, kita menyaksikan kemerdekaan mereka yang terampas, baik pikiran dan fisik. Ruang yang terbatas dan kurang lapang, akan membatasi pula cara berpikir mereka, sebagaimana tempat yang lapang, akan mengeksplorasi ruang-ruang pikiran mereka sebagai hasil dari luasnya fenomena alam di sekitar yang mereka lihat.
Dan, yang lebih mengkhawatirkan lagi kemerdekaan berpikirnya seolah hanya dibatasi dunia maya yang mereka lihat tiap hari melalui HP. Akhirnya berbagai informasi dan budaya dari berbagai tempat mudah sekali masuk, kemudian membangun cara berpikirnya yang akhirnya mengubah perilakunya, dan ini menjadi penyebab juga terjadinya kekerasan seks pada mereka.
Demikian pula dari sisi fisik, tidak tersedianya ruang publik yang lapang sebagai sarana bermain dan bergerak, bisa jadi menyebabkan mereka juga terganggu pertumbuhannya. Energi mereka tidak tersalurkan dengan baik, ditambah lagi pengaruh tontonan yang mereka lihat setiap hari sangat kuat membentuk pikirannya, sehingga dorongan seksual mereka tidak terarah dengan baik.
Nilai-nilai kehidupan dan budaya juga menjadi bagian yang penting dalam membangun karakter anak. Dan dalam dunia pendidikan kita, sebenarnya pengembangan karakter juga menjadi prioritas, bahkan sekarang, kurikulum merdeka menjadikan enam dimensi dalam profil pelajar Pancasila menjadi tujuan pelajar Indonesia.
Tersedianya ruang publik akan menjadi sarana menumbuhkan tradisi kebersamaan dan gotong royong sejak mereka kecil. Belum lagi ketika mereka berkumpul di ruang yang lapang, banyak hal yang bisa dikerjakan untuk menumbuhkan kreativitas, berpikir kritis, kemandirian, dan nilai-nilai demokrasi untuk saling menghargai pendapat dalam keberagaman. Nilai-nilai tersebut menjadi pendidikan yang baik agar penyimpangan perilaku seks di kalangan anak-anak bisa dihindari.
Permasalahan anak-anak dan tantangan hari ini lebih kompleks daripada dulu, termasuk dari tontonan sehari-hari yang mereka lihat, sementara ruang publik semakin berkurang. Akhirnya, mari kita titipkan kekhawatiran kita kepada para politisi, para tokoh publik yang akan menjadi calon presiden, calon anggota dewan, dan calon kepala daerah, semoga saja mereka mendengar dan memperhatikan dengan serius.
Nurhadi pendidik, aktif sebagai fasilitator Program Sekolah Penggerak
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini