Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa tragedi Kanjuruhan bukanlah pelanggaran HAM berat karena kekerasan yang dilakukan aparat merupakan respons yang cepat atas situasi di lapangan, sehingga tidak terpenuhinya unsur sistematis dan meluas sesuai dengan definisi pelanggaran HAM berat yang ada di UU 26/2000. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM juga menjelaskan bahwa tragedi Kanjuruhan merupakan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi akibat tata kelola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati, dan memastikan prinsip keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan sepak bola.
Lalu apakah kesalahan tata kelola yang menewaskan 135 orang tersebut adalah bentuk dari kelalaian?
Sebelumnya, diketahui berdasarkan gelar perkara dan bukti permulaan yang cukup terdapat 6 orang yang telah ditetapkan Polri sebagai tersangka. Keenamnya adalah Dirut PT LIB, Ketua Panpel Arema, Security Officer, Kabag Polres Malang, Danki III Brimob Polda Jawa Timur, dan Kasat Samapta Polres Malang. Para tersangka dijerat Pasal 359 dan 360 KUHP tentang Kelalaian yang Menyebabkan Kematian dan Pasal 103 Juncto Pasal 52 UU RI Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Langkah Polri yang menetapkan keenam tersangka tersebut mendapatkan apresiasi masyarakat, tetapi terdapat juga masyarakat yang menyayangkan pasal yang didakwakan adalah pasal kelalaian.
Perspektif hukum pidana menjelaskan bahwa dolus (sengaja) dan culpa (lalai) dalam hukum pidana masuk dalam pembahasan mengenai asas kesalahan (culpabilitas) sebagai salah satu asas fundamental dalam hukum pidana. Asas tersebut dikenal dengan asas "tiada pidana tanpa kesalahan". Kesalahan sebagai syarat pemidanaan merupakan kesalahan yang memenuhi unsur-unsur yuridis; pertama, pelaku memiliki kemampuan bertanggung jawab.
Kedua, terdapat hubungan batin antara pelaku dan perbuatan, di mana bentuk kesalahan dapat berupa sengaja atau lalai. Ketiga, tidak ada alasan pemaaf.
Dalam penjelasan resmi KUHP Belanda "kesengajaan" diartikan sebagai "menghendaki" dan "mengetahui". Menurut Van Hatum "menghendaki" diartikan sebagai menghendaki perbuatan dan akibat dari perbuatan, "sementara mengetahui" diartikan sebagai mengetahui perbuatan dan akibat dari perbuatan.
Dalam hal "kesengajaan" terdapat bentuk "sengaja sebagai sadar kemungkinan" atau "sengaja sebagai sadar bersyarat" di mana dengan dilakukannya suatu perbuatan, pelaku menyadari kemungkinan terjadinya akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki, namun kesadaran tentang kemungkinan terjadinya akibat lain itu tidak membuat pelaku membatalkan niatnya dan ternyata akibat yang tidak dituju tersebut benar-benar terjadi.
Sedangkan kelalaian/kealpaan diartikan sebagai situasi di mana seseorang seharusnya melakukan tindakan penghati-hatian, namun tidak melakukannya (tidak adanya kehati-hatian); atau seharusnya melakukan penduga-dugaan, namun tidak melakukannya (kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul).
Dalam hal "kelalaian/kealpaan" terdapat bentuk "kelalaian/kealpaan yang disadari" di mana pelaku dapat membayangkan/memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat atas perbuatannya namun dia percaya dan berharap akibatnya tidak akan terjadi dan melakukan upaya pencegahan agar akibat yang tidak dikehendaki itu tidak terjadi.
Mengetahui Risiko
Jika kita lihat fakta keseluruhan, secara tidak langsung seluruh pihak yang memiliki kewenangan penyelenggaraan laga tersebut tentunya sudah mengetahui risiko kemungkinan yang akan terjadi. Dibuktikan dengan adanya rakor antara Panpel dan aparat kepolisian yang membahas penyelenggaraan jalannya laga pertandingan Persebaya melawan Arema.
Sebelum laga pertandingan Arema vs Persebaya, setidaknya tercatat empat kali Panpel Arema berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Pada12 September 2022 terjadi surat menyurat antara polisi dan Panpel mengenai pemberitahuan pelaksanaan pertandingan sepak bola antara Arema dan Persebaya pada 1 Oktober 2022 pukul 20.00 WIB.
Polisi merekomendasikan perubahan jadwal pertandingan untuk dimajukan pada sore hari, menyadari bahwa sangat beresiko apabila pertandingan dilangsungkan pada malam hari. Tetapi PSSI dan PT. LIB menolak perubahan jadwal pertandingan dan pertandingan tetap sesuai jadwal dengan dalih PT. LIB telah memiliki kontrak dengan pihak Host Brodcaster yang mempunyai hak siar.
Diketahui juga bahwa polisi juga meminta kepada Panpel dan PT. LIB untuk mengurangi jumlah tiket penonton. Namun pengurangan tersebut tidak dipenuhi Panpel, sebab Panpel telah terlajur mencetak 43.000 tiket. Padahal kapasitas resmi stadion Kanjuruhan hanya 38.000 penonton.
Alih alih polisi memiliki kewenangan untuk membatalkan pertandingan yang berisiko, Polisi malah menyetujui jadwal pertandingan dengan menandatangani surat rekomendasi izin keramaian Nomor Rek/000089/IX/YAN.2.1/2022/DITINTELKAM tanggal 29 September 2022. Polisi pun menambahkan personel untuk mengamankan jalannya pertandingan yang awalnnya berjumlah 1.037 menjadi 2.034 personel.
Dalam rakor antara Panpel dengan aparat kepolisian juga disepakati bahwa tidak ada tindakan represi dari aparat keamanan, dan juga Panpel sudah mengingatkan agar tidak ada penggunaan gas air mata berpegang pada aturan FIFA Bab III Point 19B. Tetapi sejak awal aparat keamanan sudah dipersenjatai dengan gas air mata.
Setelah pertandingan selesai, pertandingan dimenangkan oleh Persebaya dengan skor 3-2. Kekalahan Arema di kandang sendiri tentu menjadi pukulan telak bagi suporter Arema, sehingga beberapa suporter pun turun dari tribun untuk memberikan semangat kepada pemain. Lalu tidak lama kemudian kericuhan terjadi dan aparat keamaan melakukan langkah represif untuk mengendalikan suporter kemudian menembakkan 45 gas air mata ke arah tribun.
Semua langkah pencegahan kemungkinan yang akan terjadi tidak diindahkan oleh seluruh pihak yang memiliki wewenang, mulai dari polisi yang sudah memberikan rekomendasi memajukan jadwal pertandingan, pengurangan jumlah tiket penonton, hingga Panpel yang sudah memberikan imbauan untuk tidak menggunakan gas air mata. Semua itu tidak diindahkan oleh seluruh pihak yang memiliki wewenang, hingga akhirnya risiko yang ditakutkan tidak dapat terhindarkan.
Lalu, apakah seluruh pihak yang memiliki kewenangan bisa dikatakan sebagai sengaja sebagai sadar kemungkinan? Di mana pihak yang memiliki kewenangan dalam laga tersebut pada akhirnya dianggap "menyetujui" akibat yang mungkin terjadi, dengan tetap menyelenggarakan laga tersebut.
Ataukah, kelalaian yang disadari? Di mana pihak yang memiliki kewenangan dalam laga tersebut "tidak menyetujui" akibat yang mungkin terjadi, namun tetap menyelenggarakan laga tersebut karena merasa yakin akibat tidak akan terjadi karena telah dilakukannya upaya pencegahan.
(mmu/mmu)