Kendati demikian, sektor energi yang didominasi oleh sumber fosil merupakan penyumbang emisi terbesar kedua setelah sektor lahan dan hutan. Menurut International Energy Agency (IEA), sektor energi juga menjadi sumber utama lapangan pekerjaan secara global, dan berkontribusi besar untuk pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah.
Dalam laporan terbaru IEA, energi terbarukan disebut berkontribusi pada separuh dari lapangan kerja energi global, dan diperkirakan terus mengalami pertumbuhan di seluruh dunia. Rendahnya emisi gas rumah kaca juga menjadi perhatian berbagai pihak untuk segera bertransisi. Hal ini juga sejalan dengan desakan untuk menggunakan 100% energi terbarukan yang telah digaungkan oleh para pelaku usaha, seperti yang dilakukan oleh RE100, sebuah inisiatif korporasi global yang berkomitmen pada penggunaan 100% energi terbarukan.
Namun, akselerasi energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari yang seharusnya dicapai berdasarkan janji target bauran energi 23% pada 2025. Sebuah laporan yang menganalisis ambisi energi terbarukan negara-negara anggota G20 menempatkan Indonesia pada peringkat D yang menunjukkan penyebaran kapasitas energi terbarukannya terbatas dan hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak mempertimbangkan sama sekali target energi terbarukan dalam aktivitas ekonomi mereka.
Alih-alih memanfaatkan potensi alamnya yang kaya akan sumber terbarukan, Indonesia malah tetap konsisten bergantung pada batu bara. Pernyataan para pejabat pemerintah soal dukungan terhadap energi terbarukan belum terlihat jelas dalam bentuk kebijakan soal insentif maupun rencana regulasi. Teranyar yang dapat kita lihat adalah Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang menjadi inisiatif DPR.
RUU EBET yang drafnya diterima Presiden Joko Widodo pada 29 Juni 2022 tersebut kembali memberi ruang seluas-luasnya bagi energi fosil dalam sistem energi Indonesia. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) bersama BEM Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) melakukan kajian atas rancangan regulasi tersebut dan menemukan bahwa RUU EBET itu problematik.
Bertolak Belakang
Problematika pertama dan paling substansial dalam RUU EBET adalah keberadaan "energi baru" yang bertolak belakang dengan Perjanjian Paris, kesepakatan KTT Iklim COP26 tahun lalu, maupun komitmen Indonesia sendiri yang ingin menghentikan operasionalisasi PLTU batu bara. Merujuk Pasal 9 draf RUU EBET versi 5 Mei 2022, energi baru mencakup nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coalbed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).
Sebagai sebuah rancangan regulasi yang akan menjadi landasan hukum dalam jangka panjang, menyelipkan produk turunan batu bara semakin mengukuhkan bahwa bahan bakar fosil masih akan terus dimanfaatkan tanpa kejelasan target penghentian dan penutupannya. Imbasnya, konsep transisi energi yang diatur dalam RUU EBET juga menjadi problematik.
Pada Pasal 6 ayat 2 RUU EBET disebutkan, transisi energi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan agar energi baru dan energi terbarukan dapat menjadi sumber energi pembangkit yang andal, ekonomis, dan beroperasi secara berkesinambungan guna mencapai target netral karbon.
Dari segi ekonomi, membangun sistem energi dengan skenario energi terbarukan lebih hemat hingga USD 600 miliar. Laporan ini bahkan dibuat sendiri oleh Kementerian ESDM bersama International Renewable Energy Agency (IRENA). Sistem dengan energi terbarukan juga akan mengurangi biaya eksternalitas dari sisi polusi udara dan perubahan iklim sekitar 2-4% dari PDB Indonesia saat ini. Sebaliknya, proyek gasifikasi batu bara misalnya, dinilai tidak masuk akal secara ekonomi dan menyebabkan kerugian USD 377 juta per tahun.
Selanjutnya, jika berbicara "target netral karbon", produk turunan batu bara justru menimbulkan risiko kerusakan lingkungan yang lebih besar. Potensi risiko juga muncul dalam pembangunan pembangkit nuklir, baik dari sisi biaya, rendahnya cadangan bahan bakar yang membuat ketahanan energi dipertanyakan, maupun limbah radioaktif yang dihasilkan. Belum lagi emisi yang dihasilkan dari produksi "energi baru" tersebut.
Berikutnya, Pasal 6 ayat 4 draf yang sama menyebutkan, "Pengembangan energi baru dan energi terbarukan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilakukan melalui pembangunan pembangkit energi baru dan energi terbarukan, konversi dan/atau pemanfaatan kemajuan teknologi (advanced technology) dalam menurunkan emisi karbon pada pembangkit energi tak terbarukan." Ayat ini semakin menunjukkan ada yang salah dengan konsep transisi energi yang ingin diterapkan pemerintah di Indonesia.
Tumpang Tindih
Sejumlah pasal dalam draf RUU EBET merupakan pengulangan dan tumpang tindih dari ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang lainnya. Kajian BEM FMIPA dan BEM FH UI mencatat, sejumlah pasal tersebut telah diatur setidaknya dalam tiga UU terdahulu yaitu UU Nomor 30/2007 tentang Energi, UU Nomor 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, dan UU Nomor 10/1997 tentang Ketenaganukliran.
Misal, Pasal 11 RUU EBET mengatur soal lembaga pengawasan penyelenggara energi ketenaganukliran, sementara materi yang sama telah diatur dalam Pasal 4 UU 10/1997. Lebih buruk lagi, RUU EBET hanya mengatur sanksi administratif (Pasal 34) bagi badan usaha yang tidak memenuhi persyaratan perizinan berusaha.
Perizinan berusaha yang dimaksud dalam RUU EBET (Pasal 32) wajib memuat persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial. Padahal, UU lain yang telah ada sebelumnya telah memberikan ancaman pidana bagi pelanggaran administratif, teknis, lingkungan, dan keuangan.
Sebagai mahasiswa, kami berharap pemerintah dan DPR dapat memprioritaskan masa depan energi kita dan mengubah substansi RUU ini agar dapat betul-betul mengakhiri ketergantungan kita pada energi fosil dan membangun jalur cepat bebas hambatan bagi energi terbarukan. Apabila tidak, maka sebaiknya RUU ini diubah saja namanya, menjadi RUU Energi Batu Bara Terus Menerus.
Ralfy Ruben mahasiswa Geofisika, BEM FMIPA UI dan Muhammad Oza Krisnawan mahasiswa Hukum, BEM FH UI
(mmu/mmu)