Setiap tahun pada tanggal 10 Nopember, rakyat Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional. Sebagian ada yang merayakannya, sebagian yang lain tidak: sebuah peristiwa bersejarah yang secara kolektif dikenal sebagai Pertempuran Surabaya 1945. Pertempuran yang dipicu oleh ultimatum-ultimatum yang disebarkan melalui pamflet udara oleh tentara Inggris tersebut menumbuhkan semangat heroisme yang berkobar-kobar di kalangan pejuang kemerdekaan, dengan semboyan yang kita kenal: "merdeka atau mati!"
Kala itu para pejuang Indonesia, tentara dan milisi, bertempur melawan pasukan kekaisaran Inggris yang mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Kedatangan tentara kekaisaran Inggris tersebut bermaksud untuk melucuti senjata tentara kekaisaran Jepang, membebaskan para tawanan perang, dan memulangkan tentara kekaisaran Jepang ke negerinya. Tapi apa lacur kedatangan tentara kekaisaran Inggris tersebut ternyata diboncengi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang membawa misi untuk mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan sipil Hindia Belanda sebagai negeri jajahan kolonial kekaisaran Belanda.
Pertempuran tersebut merupakan perang pertama, terbesar, dan terberat bagi pasukan Indonesia melawan Sekutu setelah Proklamasi Kemerdekaan dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional perlawanan bangsa terhadap kolonialisme dan imperialisme. Usai pertempuran tersebut, dukungan rakyat Indonesia dan dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin menguat.
***
Setelah 77 tahun telah berlalu, kondisi tata hidup bersama kita sebagai bangsa yang menegara telah berubah. Kata arek-arek Suroboyo: Londo wis adhoh! Pertanyaannya: apakah kita sebagai bangsa benar-benar merdeka dan berdaulat, sesudah terbebas dari bahaya kolonialisme dan imperialisme tersebut? Untuk maksud tersebut, tampaknya kita perlu merefleksi kembali pidato Bung Karno saat Hari Pahlawan 10 Nopember 1961: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang diucapkan Bung Karno patut kita renungkan kembali secara kontekstual. Dinamika kehidupan bangsa kita dewasa ini tentu tak bisa pisahkan dari gerakan Reformasi 1998 yang dimotori oleh mahasiswa yang mengakibatkan tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Tentu tidak boleh dinafikan pembangunan ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun selama 30 tahun telah mengubah Indonesia secara "luar biasa" dari sebuah negara miskin menjadi negara berkembang. Implikasi puncak gerakan Reformasi 1998 tersebut: "kegagahan" MPR mengamandemen konstitusi negara kita, UUD 1945. Sejauh mengenai perubahan Bab XIV UUD 1945, Kesejahteraan Sosial, dan ayat 3 pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya, Kemakmuran Rakyat, berimplikasi pada goyahnya basis welfare state dan tidak adanya kepastian apa misi sosial instansi-instansi pemerintah atau kementerian utama yang relevan.
Menurut Prof. Mubyarto (2001), perubahan judul Bab XIV yang mencakup pasal 33 UUD 2002, dalam amandemen, dari hanya Kesejahteraan Sosial menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, maka anggota MPR kita telah tersesat ikut menganggap bahwa perekonomian nasional bisa dilepaskan kaitannya dengan kesejahteraan sosial." Padahal para pendiri negara ini tidak ragu-ragu bahwa baik buruknya perekonomian nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan sosial.
Dalam kaitannya dengan dasar-dasar ilmiah lahirnya ilmu ekonomi, para pendiri negara ini berpandangan bahwa ilmu ekonomi merupakan cabang/bagian dari ilmu sosial yang pengamalannya akan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. Singkatnya, ada pertimbangan politik, sosial, budaya bahkan moral dalam memajukan kesejahteraan sosial. Jika tidak, berkelindan dengan gelombang globalisasi yang membawa dua arus besar liberalisme dalam bidang politik dan persaingan/pasar bebas dalam bidang ekonomi, Indonesia akan menjadi lahan penjajahan baru (neoimperialisme).
***
Ancaman neoimperialisme yang berlangsung dewasa ini jelas berbeda dari bentuk penjajahan masa lalu. Tapi tingkat keganasannya tak kalah hebat, bahkan bisa jadi lebih efektif daripada imperialisme. Menurut Prof. Damanhuri (2009), sifat tak langsung adalah karakter neoimperialisme di mana si imperialis santun dengan mengklaim dirinya sebagai kampiun demokrasi dan HAM.
Mereka menggunakan berbagai instrumen untuk menjajah negara-negara sedang berkembang, antara lain dengan menguasai dan memperdaya lembaga-lembaga internasional. Juga termasuk mengoperasikan perusahaan-perusahaan multinasional yang mengelola sumber daya alam (migas, pertambangan, energi, dan pertanian), baik yang berada di negara-negara industri maju maupun di negara-negara sedang berkembang; dan menciptakan monopoli penguasaan teknologi, informasi, finansial, regulasi dan harga yang menjamin keuntungan mereka.
Karakter neoimperialisme yang khas adalah penciptaan hegemoni global dengan kekuatan multilateral secara militer, diplomasi utang yang mengikat, investasi asing langsung, dan pasar finansial serta skema-skema lainnya. Dalam perspektif ekonomi struktural, semua kekuatan eksternal tersebut dibantu oleh para komprador dalam negeri yang bertugas melancarkan seluruh operasi kepentingan neoimperialisme tersebut, baik dalam bentuk langsung (perang konvensional), tidak langsung (memenangkan pemilu di negara-negara kaya sumber daya alam dengan operasi intelijen dan perang proksi), maupun halus (mempengaruhi platform pembangunan yang pro-negara industri maju, memasukkan kepentingan neoimperialis dalam peraturan perundang-undangan, dan menjagokan pemimpin di negara target yang pro-neoimperialis).
Dampak neoimperialisme tersebut sangat dahsyat, yakni menciptakan ketergantungan permanen negara sedang berkembang kepada negara industri maju, makin miskinnya negara sedang berkembang sekaligus makin kayanya negara industri maju, dan secara teoretis tercipta proses pembangunan yang semu karena adanya fakta pembangunan yang menciptakan ketergantungan. Konstatasi tersebut berlaku di hampir semua negara sedang berkembang, termasuk di Indonesa; walaupun ada sebagian kecil negara-negara yang sudah berhasil keluar dari perangkap tersebut.
Gangguan bentuk penjajahan baru dari dalam negeri di Indonesia digarap oleh kalangan komprador tersebut, yang umumnya lebih bersifat impersonal dan institusional. Tujuannya; pertama, melemahkan secara sistematis peran negara seperti dijamin Pasal 33 UUD 45, sebelum di amandemen, demi melayani globalisasi seraya menyerahkan segala urusan penguasaan sumber daya alam kepada pihak asing atas nama mengejar efisiensi, privatisasi tanpa control BUMN-BUMN, pencabutan subsidi secara tak selektif segala urusan ekonomi publik dan sosial, serta liberalisasi ekonomi dan keuangan yang tak memedulikan kepentingan ekonomi nasional, harkat, martabat, dan kesejahteraan rakyat.
Kedua, institusionalisasi paham neoliberalisme ekonomi dengan melanggengkan sistem devisa bebas, termasuk tak adanya kewajiban para eksportir untuk menyimpan hasil devisanya di dalam negeri, tak melakukan regulasi yang memadai sehingga pasar modal dibiarkan menjadi ajang spekulasi dan teramat minim untuk menggerakkan sektor riil, dan pembebasan sistem kurs rupiah terhadap mata uang asing, khususnya USD, dengan menyerahkan kepada mekanisme pasar global yang tak mempertimbangkan kepentingan ekonomi nasional.
Ketiga, menempatkan Organisasi Perdagangan Dunia dengan segala aturannya yang lebih melayani kepentingan negara industri maju daripada urgensi melayani kepentingan ekonomi nasional dan secara kreatif berusaha memanfaatkan secara maksimal relasi interdependensi global yang relevan. Akibatnya, daya saing, produktivitas, dan efisiensi ekonomi nasional kurang meningkat dalam rangka memecahkan problem kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Keempat, membiarkan Indonesia masuk dalam debt trap. Posisi utang luar negeri pemerintah dan swasta Indonesia secara umum per Juli 2022 mencapai Rp 6.006 triliun (SULNI, 9/2022). Bahkan menurut catatan Kementerian Keuangan posisinya per 30 September 2022 sudah mencapai Rp 7.420, 47 triliun. Total utang tersebut naik sekitar 2,5% bila dibandingkan bulan sebelumnya sebesar Rp 7.236,61 triliun.
Bagaimanapun struktur dan skema pengelolaan utang pemerintah semestinya berdampak secara signifikan pada kesejahteraan rakyatnya. Membaca 9 rekomendasi DPD RI atas kasus BLBI sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPD RI Nomor 18/DPD RI/I/2022, khususnya poin pertama, cukup memprihatinkan: Pansus BLBI DPD RI telah menemukan beban APBN tahun ini yang berupa pembayaran bunga obligasi rekap BLBI senilai Rp 47,78 triliun per September 2022. Hal ini dapat menurunkan kredibilitas Pemerintah jika tidak dibarengi dengan akses terhadap keterbukaan informasi publik.
Kelima, membiarkan penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar 275 juta jiwa sebagai target konsumen produk-produk luar negeri tanpa ada program serius untuk penguasaan teknologi, swasembada pangan, energi dan industri, termasuk membiarkan program-program TV, media, utamanya internet secara sangat bebas tanpa editorialisasi dapat menjadi ajang 'cuci otak' yang akibatnya bisa menggerogoti pilar-pilar tata hidup bersama kita sebagai bangsa yang menegara: lembaga keluarga, pendidikan, dan agama.
Membaca kompleksitas neoimperalisme tersebut, masih layakkah kita berharap akan datangnya "dewa penyelamat" bagi eksistensi bangsa dan negara kita ke depan? Selagi kita masih punya optimisme, maka tak ada kata berhenti berharap dan berusaha untuk mendatangkan pemimpin yang memiliki sifat berani, cerdas dan berintegritas untuk mengabdi kepada nusa, bangsa, dan negaranya. Bukankah sejarawan Inggris Toynbee dalam bukunya A Study of History menyatakan, sejarah kemajuan suatu peradaban selalu digerakkan oleh the creative minority? Semoga melalui Pilpres 2024 nanti dapat mewujudkannya.
Mohammad Suud dosen Kewarganegaraan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya