Memberatas Korupsi di NGO (2)
Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com

Jakarta - Jika korupsi dimaknai sebagai penyelewengan dana publik untuk kepentingan lain maka dunia LSM tidak bisa dikatakan bersih dari korupsi. Memang nilainya tidak seberapa jika dibandingkan dengan dana negara yang diambil oleh pejabat dan pengusaha. Toh, sebesar apa pun, korupsi tetaplah korupsi. Namun, mengusut korupsi di lingkungan LSM bukanlah pekerjaan mudah. Masih diliputi perdebatan. Kalau mengacu pada pengertian bahwa korupsi adalah penyelewengan dana publik, maka korupsi berarti tindakan mengalihkan tujuan penggunaan dana, yang semestinya untuk publik, tapi untuk kepentingan lain. Tetapi pengertian ini tidak berlaku. Di sini korupsi lebih diartikan sebagai tindakan yang bisa merugikan negara. Artinya, bicara korupsi berarti bicara soal sumber dana (dari kas negara) yang disalahgunakan. Nah, kalau dana LSM itu tidak berasal dari kas negara, apa bisa disebut korupsi bila terjadi penyelewengan? Oleh karena itu gagasan untuk mengusut korupsi di lingkungan LSM, selalu ditolak banyak pihak. Termasuk dari kalangan LSM sendiri sebab negara tidak dirugikan. Sebagaimana kita tahu, sumber dana LSM Indonesia sebagian besar masih berasal dari lembaga asing, baik itu lembaga pemerintah maupun lembaga nonpemerintah. Lembaga donor sendiri ada tiga jenis, yakni lembaga donor internasional, seperti UNDP, UNESCO, World Bank dan lain-lain, lembaga donor pemerintah, seperti USAID, CIDA, AUSAID dan lain-lain, serta lembaga donor (internasional) nonpemerintah, seperti Ford Foundation, HIVOS, OSI, dan lain-lain. Bisa saja penyelewengan penggunaan dana tersebut diusul oleh polisi atau jaksa apabila penyaluran dana tersebut dilewatkan mekanisme APBN. Misalnya, dalam Pemilu 2004 lalu, UNDP menyalurkan sejumlah dana untuk membantu penyelenggaraan pemilu. Dana diserahkan kepada KPU, Panwas Pemilu, dan LSM pemantau tersebut baru bisa dicairkan setelah dicatat dalam APBN. Oleh karena dana UNDP itu sudah menjadi bagian dari dana APBN maka siapa saja yang menyelewengkan dana tersebut bisa dikenai delik korupsi. Tidak terkecuali para pemantau yang memang cukup banyak menyedot dana tersebut. Tetapi bila dana itu disalurkan langsung lembaga donor kepada LSM Indonesia, yang kadang juga bekerja sama dengan LSM asing, maka tangan aparat tak mampu menjangkaunya. Tidak heran apabila terjadi korupsi atau setidaknya diduga telah terjadi korupsi di lingkungan LSM. Yang muncul hanya sas-sus dan intrik-intrik di kalangan aktivisnya. Tidak ada transparansi, tidak ada pertanggungjawaban ke publik, karena pemberi donor memang tidak menyaratkan seperti itu. Penelusuran dan pembuktian adanya korupsi hanya dilakukan lewat mekanisme internal LSM penerima dana bersama lembaga donor. Paling banter sanksi yang dijatuhkan adalah pemecatan terhadap pelaku. Mengapa lembaga donor tidak mau membuka kasus korupsi ke publik atau melaporkan ke polisi atau jaksa tentang adanya penyelewengan dana lembaga? Mereka tidak mau repot-repot berurusan dengan aparat penegak hukum. "Yang penting, secara internal kami mengetahui siapa pelaku dan bagaimana modusnya, sehingga kami bisa memberikan sanksi, misalnya tidak memperpanjang kerja sama, atau meminta lembaga untuk memecat pelakunya," kata seorang mantan aktivis yang kini bekerja di lembaga donor internasional. Soal lain yang jadi pertimbangan adalah menjaga hubungan LSM-LSM selaku representasi civil society. "Memang banyak aktivis brengsek dan LSM buruk. Tapi itu hanya sebagian saja. Karena itu kami tak mau, nila setitik rusak susu sebelanga. Kepercayaan terhadap kekuatan masyarakat sipil harus tetap dijaga, karena merekalah salah satu pilar penting untuk mengimbangi negara dan kelompok bisnis."Keterangan Penulis:Penulis adalah wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja.
(Didik Supriyanto/)