Serangan politik DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK) belum juga berakhir. Setelah menunjukkan keberingasan dengan mencopot Aswanto dari jabatannya beberapa waktu yang lalu, kini lembaga legislatif itu mencoba untuk merevisi kembali Undang-Undang MK. Substansi gagasan revisi Undang-Undang MK itu pun tidak jauh-jauh dari upaya untuk melemahkan eksistensi kelembagaan MK.
Upaya ini tampak terlihat dari substansi draft rancangan revisi UU MK yang tempo hari disebarkan oleh detikcom. Substansi itu; pertama, memasukkan Pasal 27C ayat (1) yang akan memberi wewenang kepada lembaga pengusul --dalam hal ini DPR, Presiden dan MA-- untuk mengevaluasi kinerja hakim konstitusi setiap lima tahun sekali. Kedua, revisi ayat 2 pada pasal yang sama akan memberi wewenang kepada ketiga lembaga pengusul tersebut untuk dapat sewaktu-waktu mencopot hakim konstitusi.
Kedua pasal ini secara terang benderang akan perlahan-lahan menghancurkan "harga diri" seorang hakim konstitusi. Harga diri yang dimaksud adalah kebebasan seorang hakim untuk memutus setiap perkara berdasarkan prinsip independensi dan tidak memihak. Sebagai konsekuensi adanya kedua pasal ini, harga diri itu akan hancur perlahan karena seorang hakim akan "merasa was-was" setiap kali ia memutus sebuah perkara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Coba Anda bayangkan jika seorang hakim konstitusi merasakan perasaan was-was seperti itu. Seorang hakim konstitusi akan berada di antara dua pendulum. Di satu sisi, ia berkepentingan untuk membuat putusan yang berkeadilan sesuai dengan sumpahnya ketika diangkat menjadi hakim dulu.
Namun, di sisi lain ia merasa harus menjaga hubungan baik dengan DPR, Presiden, atau bahkan MA selaku lembaga pengusulnya. Sebab, jika hubungan baik dengan lembaga pengusul tersebut rusak akibat putusan-putusan MK berlawanan dengan kepentingan lembaga-lembaga pengusulnya itu, seorang hakim konstitusi akan berada pada titik yang mengkhawatirkan, yakni terancam dipecat.
Melacak Motivasi
Apa sebetulnya yang memotivasi masuknya gagasan "berbahaya" dalam revisi UU MK itu? Jawaban pasti atas pertanyaan ini tentu sulit untuk ditemukan. Karena, sekalipun kita menanyakan motivasinya langsung pada pengusung gagasan ini, yaitu DPR, saya yakin jawaban yang akan muncul bukan jawaban yang jujur, melainkan jawaban politis yang menutupi kejujuran itu.
Namun, jika pertanyaan ini dilontarkan pada saya, saya akan menilai penyelundupan gagasan ini merupakan keputusasaan DPR atas seringnya produk "mahakarya" legislasi mereka dibatalkan oleh MK. Mengapa saya sampai pada kesimpulan itu? Pertama, website resmi MK mencatat, dari 1573 putusan MK tentang produk legislasi DPR, 105 di antaranya dikabulkan sepenuhnya dan 185 permohonan di antaranya dikabulkan sebagian.
Sementara, sisanya adalah 161 permohonan ditarik kembali; 502 permohonan tidak dapat diterima; 14 permohonan ditolak karena MK tidak berwenang; satu permohonan sela diterima; 25 permohonan gugur; dan 580 permohonan di antara ditolak dengan berbagai alasan yang diputus MK dalam pertimbangan hukumnya.
Kendati secara kuantitatif permohonan yang ditolak jauh lebih unggul daripada permohonan yang diterima sepenuhnya dan sebagian, tetapi secara kualitas permohonan yang diterima sangat menyakitkan bagi DPR. Betapa tidak, misalnya, setelah capek-capek membuat UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang tebalnya mencapai 1.187 halaman, permohonan uji formiil terhadap undang-undang ini malah diterima oleh MK, meskipun secara bersyarat.
Apalagi, keputusasaan itu kian nampak terlihat tempo hari ketika Bambang Pacul (Ketua Komisi III DPR) mengungkapkan kekesalan dan kejengkelannya pada hakim Aswanto yang berujung pada pemecatan. Katanya: "(Kinerja Aswanto) tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," sebagaimana dikutip oleh detikcom (30/9).
Kedua, secara global, keputusasaan lembaga politik (seperti DPR atau Presiden) kepada lembaga peradilan konstitusi memang acapkali dibalas dengan serangan politik yang amat luar biasa kepada peradilan. Menurut Philip A. Talmadge (1999), berbagai macam serangan politik itu dapat berupa pembubaran lembaga peradilan, pembatasan wewenang lembaga peradilan, penambahan kewenangan peradilan konstitusi tanpa memberinya tambahan sumber daya, dan mempolitisasi perekrutan serta evaluasi hakim konstitusi.
Untuk menggambarkan keputusasaan itu di kepala Anda, saya akan memberikan satu contoh bentuk nyata serangan politik dari lembaga politik kepada peradilan konstitusi di belahan dunia lain. Saya akan mengambil satu contoh dari apa yang terjadi pada salah satu lembaga peradilan konstitusi di Benua Eropa, yaitu Mahkamah Konstitusi Ukraina.
Mahkamah Konstitusi Ukraina mengalami tekanan politik yang hebat pada 2007 silam. Saat itu, di negeri "Keranjang Roti Eropa" ini sedang terjadi krisis politik yang berujung pada upaya pembubaran parlemen oleh Presiden Viktor Yushchenko. Pada saat itu, Presiden Viktor Yushchenko memerintahkan pembubaran parlemen dan menyusun jadwal pemilu dipercepat.
Perintah pembubaran parlemen tersebut kemudian diajukan kepada Mahkamah Konstitusi Ukraina untuk dinilai konstitusionalitasnya. Keikutsertaan Mahkamah Konstitusi di tengah pusaran persoalan politik yang besar di negara ini memberinya tekanan politik yang sangat luar biasa. Tekanan politik yang sedemikian luar biasa itu bahkan sampai membuat Ketua MK Ukraina mengundurkan diri.
Salah satu bentuk tekanan politik itu datang dari pihak kepolisian, yang berpihak pada Presiden Viktor Yushchenko, ketika mereka memutuskan untuk memeriksa hakim konstitusi atas tuduhan korupsi. Akhirnya, tekanan politik yang dilancarkan terhadap MK Ukraina itu berhasil mematikan eksistensi lembaga peradilan konstitusi ini. Hal ini karena, setelah kejadian itu, tiga hakim konstitusi dicopot dari jabatannya dan empat hakim lainnya mengajukan cuti kepada presiden.
Oleh karena itu, upaya serangan politik DPR kepada MK yang dibungkus dalam revisi UU MK itu harus kita lawan. Hal ini karena, sebagai penjaga penjaga konstitusi, kita amat sangat membutuhkan eksistensi Mahkamah Konstitusi. MK adalah tempat kita mengadu manakala kita merasa sangat dirugikan oleh produk-produk legislasi yang dibuat oleh DPR dan Presiden.
Rino Irlandi alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Simak juga 'MK Tolak Gugatan PKS Soal Presidential Threshold 20%':