Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) V yang terbit pada Agustus 2022 lalu menandai Bulan Bahasa tahun ini. Menariknya, kata pengantar dari Kepala Badan Bahasa atas ejaan baru ini menyebut perubahan tersebut sebagai tanda keterbukaan atas perkembangan. Perubahan ejaan itu, kata dia, juga untuk menjawab kebutuhan pengguna bahasa. Ia mengaitkan bahasa dengan konteks globalisasi yang mencairkan segalanya.
Hal lain yang menarik, dalam pengantar tersebut, E Amiruddin Azis juga menyebut EBI V ini sebagai jawaban atas kebutuhan pedoman kebahasaan yang akomodatif. Saya jadi memikirkan mendalam tiga klausa kunci dalam pengantar Azis itu, yakni "terbuka atas perkembangan", "menjawab kebutuhan pengguna", dan "pedoman yang akomodatif". Saya harus menelusuri setiap poin EBI V untuk memastikan itu.
Alhasil, beberapa poin dalam EBI V ini memang menjawab keresahan dan kerisihan pengguna bahasa yang sempat timbul atas Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) lalu, meski lebih banyak yang tidak resah karena tidak peduli. Misalnya, untuk bilangan yang terdiri atas dua kata ditulis dengan huruf di masa PUEBI. Ini asing dan selalu disalahgunakan pengguna bahasa, tiga belas ditulis 13.
EBI mengakomodasi kesalahan-kesalahan atas PUEBI dengan membenarkan bahwa bilangan dengan dua kata dan lebih, bisa ditulis dengan angka. Begitu juga dengan "Maha". PUEBI mewajibkan "Maha" dengan kata dasar digabung penulisannya, kecuali "Maha" dan "Esa". Ini sering digunakan keliru juga. Akhirnya, EBI membenarkan "Maha Kuasa", bukan "Mahakuasa" sebagaimana PUEBI. Syukurlah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Politik Bahasa
Kita harus menyadari bahwa ejaan dan kodifikasi bahasa lainnya merupakan wujud politik bahasa. Dengan menjadi pendengung produk kodifikasi tersebut, tentu kita sudah menjadi politis. Anehnya, polisi bahasa yang mungkin berpangkat jenderal bernama Ivan Lanin seringkali menyebut dirinya apolitis. Saat hadir di Makassar pada Juli 2022 lalu, Ivan Lanin kembali mempertegas klaim apolitis itu. Atas klaim tersebut, saya mengernyitkan dahi.
Sejarah ejaan bahasa di dunia ini memang merupakan sejarah politik bangsa. Sejarah kodifikasi bahasa Indonesia pun demikian, tidak terlepas dari politik kolonial dan prinsip glory, gold, gospel. Bahasa Melayu Tinggi yang selanjutnya kita sebut bahasa Indonesia tidak dapat dilepas dari sejarah bahwa VOC memerintahkan Leijdecker untuk menerjemahkan alkitab. Penerjemahan alkitab untuk memastikan ketaatan pada Tuhan juga agar kuasa kolonial semakin langgeng.
Terjemahan itu kemudian ditetapkan oleh HC Klinkert sebagai bahasa melayu tinggi pada 1733. Sampai masa Adrian van Ophuijsen, yang kita kenal namanya karena ejaan kita yang pertama, tata bahasa Indonesia dibuat untuk kepentingan kolonialisme Belanda. Ejaan Suwandi pun demikian, tanda Indonesia merdeka, terbebas dari kolonial. Terlebih, EYD produk Orde Baru. Ejaan ini untuk membuat patuh masyarakat Indonesia dan memangkas bekas-bekas Sukarno.
Bahasa di dunia juga begitu. Ferdinand Brunot menyampaikan kepada kita bahwa di Prancis, sejak zaman feodal, puncaknya paling tidak, pada abad 14, ditetapkan bahasa resmi (pays d'oil). Bahasa tersebut juga berstatus tinggi. Pays d'oil digunakan oleh bangsawan, aristokrat, elite. Bahasa ini juga digunakan dalam bahasa tulis dan disebut ragam tulis, biasa juga ragam resmi (formal). Bahasa resmi itu ditetapkan dari ragam atau dialek yang digunakan di Paris (ile de france).
Di Prancis, bahasa dan dialek lain disebut sebagai patois yang dianggap rendah bahkan negatif. Patois digunakan petani dan kelas bawah. Pada 1635, dibentuk Accademie Francaise untuk perencanaan bahasa yang melestarikan kuasa politis langue ini.
Sejarah bahasa Inggris diajarkan di sekolah-sekolah London pun demikian. Bahasa Inggris semula hanya diajarkan untuk kelas elite. Namun, karena ditakutkan kelas menengah dan kelas bawah kehilangan semacam kepercayaan bagai agama, akhirnya diajarkanlah bahasa Inggris di sekolah-sekolah rakyat. Peter Barry memberi tahu kita terkait ini, termasuk penolakan kampus untuk mengajarkan bahasa Inggris pada awalnya.
Pembakuan Bahasa
Sekarang, penting untuk ditanyakan, apa tujuan pembakuan bahasa Indonesia? Untuk kekuasaan semata ataukah memudahkan komunikasi pengguna bahasa dan demi nasionalisme yang tidak semu? Lantas mengapa Badan Bahasa dan orang-orang yang melek linguistik atau gramatika bahasa Indonesia merasa berkewajiban menentukan satu yang benar dan menyalahkan yang lain?
Hal yang bermasalah menurut saya dari situ adalah bagaimana proses memilih lalu menetapkan bahasa baku tersebut. Kenapa bukan yang digunakan masyarakat saja yang diakomodasi menjadi baku, sebagaimana yang telah dilakukan pada EBI V? Jika jawabannya karena asal katanya tidak begitu, bukankah ada beberapa kata yang sekarang tidak begitu tapi dibakukan menjadi begitu?
Kata yang sejatinya tidak begitu dan kini menjadi begitu, seperti "Tuan" dan "Tuhan" dari kata "Tun" yang salah diterjemahkan oleh Browerius dan Leijedecker menjadi "Tuan" dan "Tuhan" dalam alkitabnya. Demikian pula kata "wang" yang kini jadi "uang".
Pembakuan kata Indonesia amat berjarak dari penggunanya. Untuk caption yang jamak digunakan sehari-hari warganet, kita memadankannya dengan "takarir", yang amat asing bagi kita. Kenapa "takarir", bukan "kepsyen"? Sebagaimana "telephone" menjadi "telepon". Kenapa harus "papan tik", bukan "kibor", untuk keyboard?
Betapa beratnya untuk kita merasa memiliki bahasa Indonesia jika yang dibakukan bukan yang lazim didengar atau digunakan. Kenapa kita harus malah mengasingkannya?
Pada kehidupan pranatal anak di masa depan, ibu-ibu hamil kini yang pengguna Instagram akan melahirkan anak-anak yang lazim mendengar bunyi "kepsyen", "kibort", "mos", bahkan "waifi" yang sebenarnya merek dagang. Bukankah kita ingin terbuka, akomodatif, dan menjawab kebutuhan?
Begitulah. Untuk pembakuan kata, Badan Bahasa selalu sukses mengodifikasi langue negeri ini, namun gagal mengakomodasi parole, sehingga tidak dipatuhi khalayak. Badan ini selalu sukses membekukan bahasa, sehingga masyarakat lingua mengalami hipotermia. Akhirnya, kita mati bersamaan, kedinginan dalam peti tata bahasa. Sebegitukah martabat bahasa kita?
Zulfikar Hafid pengamat bahasa di Makassar