Politik Jenaka di Negeri Bhinneka
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Politik Jenaka di Negeri Bhinneka

Selasa, 25 Okt 2022 12:00 WIB
Kelana Praja
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ilustrasi opini tentang pemilu
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -
Tahun politik memang masih dua tahun lagi, tetapi mesin partai politik sepertinya sudah siap dengan ancang-ancang untuk melaju kencang di masa mendatang. Namun, rasa-rasanya pandemi belum sepenuhnya usai, teramat banyak rakyat yang masih lemah terkulai terhantam kondisi pandemi yang belum juga redam. Tampaknya arah dan pandangan para elit politik bukan lagi tertuju pada kondisi rakyat, tetapi lebih kepada perhitungan elektoral 2024.

Memang tidaklah salah jika para elite politik memperhitungkan setiap jengkal langkahnya untuk memperoleh kekuatan elektoral karena itulah sejatinya seni berpolitik, yaitu siasat demi merebut sesuatu yang didambakan yang tidak lain ialah kekuasaan.

Era keterbukaan seperti saat ini tentu saja tidak dapat memisahkan antara politik dan teknologi informasi. Demam media sosial menjangkiti setiap politisi, gimik dan intrik yang diumbar oleh para tuan dan puan kadang kala cukup menyilaukan rakyat karena citra diri yang ditampilkan seolah tanpa cacat.

Pembahasan mengenai politik tentu tidak akan ada habisnya apalagi puncak pagelaran politik hampir mencapai detik-detik menentukannya, akan selalu ada hal seru yang kadang kala justru menggelitik para pemirsanya. Tahun 2024 merupakan lembaran baru yang sudah siap disambut dengan gagah oleh mereka yang akan berkiprah. Namun, sampai dengan tahun 2022 ini saja sudah banyak potret peristiwa politik yang akan menarik jika dikulik dan telisik.

Argumentasi Ambang Batas

Ambang batas syarat pencalonan presiden atau Presidential Treshold (PT) berulang kali digugat setiap kali pemilu diselenggarakan. Presidential Treshold yang berlaku saat ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 atau UU Pemilu. Peraturan tersebut mensyaratkan partai politik atau gabungan politik dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden apabila memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.

Terdapat kubu yang bersuara angka tersebut terlalu tinggi, harus diturunkan atau bahkan ditiadakan sama sekali atau 0%. Tetapi ada juga kubu yang merasa sudah cukup dan tidak perlu diutak-atik lagi. Pihak yang memiliki ketidakpuasan terhadap kebijakan tersebut kerap kali mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan judicial review dan hasilnya hingga saat ini masih nihil karena dianggap tidak memiliki legal standing.

Presidential treshold sebenarnya bukanlah barang baru bagi pemilihan umum di Indonesia. Sejak 2004 pun sudah diterapkan, jumlahnya berubah-ubah dan cenderung mengalami kenaikan setiap periode pemilu. Ambang batas yang diturunkan ataupun ditiadakan sama sekali bukanlah pilihan bijak apabila diterapkan pada saat 2024 nanti. Ambang batas yang nihil bukan berarti tidak akan menimbulkan konsekuensi. Secara gamblang teknis pemilihan akan lebih rumit karena semua orang akhirnya bisa mencalonkan diri menjadi presiden. Di situlah hal yang menjadi persoalan utama.

Argumentasi mengenai kebebasan atau hak demokrasi masyarakat tidak boleh dibatasi memang kerap didengungkan oleh para penggerak PT 0%. Partisipasi jelas saja menjadi salah satu pilar dalam negara demokrasi, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa partisipasi harus dikelola sehingga tidak mengganggu atau menghalangi proses demokratisasi. Pembicaraan mengenai demokrasi harus dipahami bukan hanya pada level wacana atau narasi yang cenderung masih mengawang-awang, tetapi harus bergerak hingga pada level praksis.

Selain itu, argumentasi mengenai ambang batas pencalonan presiden yang harus diturunkan tampaknya bukan juga merupakan langkah yang tepat. Aturan PT 20% justru memberikan dampak positif, yaitu keseimbangan antara kekuatan presiden dengan DPR. Berkaca pada pengalaman Pemilu 2004, ketika pasangan SBY-JK yang meraih suara nasional secara meyakinkan, yaitu 60,62%, tetapi hanya maju melalui dukungan tiga parpol kecil, yaitu Partai Demokrat, PBB, dan PKPI.

Hasilnya parpol pengusung pasangan SBY-JK tidak memiliki taji di DPR sehingga terdapat dinamika yang tidak sehat antara eksekutif dengan parlemen. DPR yang dikuasai oleh parpol besar kerap kali tidak seiya sekata dengan eksekutif, kemudian hal tersebut membuat pemerintahan SBY-JK limbung dan kerap kali terjadi deadlock.

Politik Last Minute

Kita tentu sudah tidak heran dengan tingkah laku para elite politik kita yang kerap bermain di masa injury time, bukannya memanfaatkan waktu permainan yang jauh-jauh hari telah dimulai. Seolah telah menjadi preseden dari pemilu ke pemilu selanjutnya, tahun 2014 dan 2019 pola yang terjadi cukup serupa, walaupun tetap dengan dua poros dan tokoh utama yang sama, yaitu Jokowi dan Prabowo. Kalkulasi politik antarpartai politik kerap kali tidak menemui titik temu.

Biasanya penentuan siapa pendamping sang capreslah yang berjalan dengan alot; semua parpol memiliki nafsu karena ingin mengorbitkan salah seorang kadernya untuk menjadi RI 2, walaupun tampaknya tidak selalu "orang partai" mendampingi sang calon RI 1. Praktik politik last minute terutama penentuan final sang cawapres yang sering kali terjadi dalam beberapa pemilu belakangan merupakan hal yang dapat memperburuk kualitas demokrasi Indonesia pada jangka panjang.

Namun, apa yang kita takutkan sepertinya tidaklah demikian terjadi untuk Pemilu 2024. Para elite politik justru sudah asyik saling rangkul dengan menamai kebersamaan mereka sebagai "koalisi". Pada 2022 ini, kita sudah dikejutkan dengan kemunculan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari tiga parpol, yaitu Partai Golkar, PAN, dan PPP. Entah kesepakatan apa yang telah tercapai di antara mereka sehingga dengan gagah berani bersatu atas nama koalisi.

Sudah ada preseden mengenai koalisi atau kesepakatan yang jauh-jauh hari terbentuk, tetapi harus kandas ketika situasi kondisi tidak memungkinkan. Bahkan perjanjian yang tertulis di atas "batu" pun pernah kandas ketika sang rising star muncul pada 2014 silam dan mengubah peta perpolitikan nasional.

Mungkin masih ada di antara kita yang bertanya-tanya, apakah koalisi jauh-jauh hari merupakan sesuatu yang ideal? Justru koalisi jauh-jauh hari merupakan sesuatu yang harus kita syukuri, artinya para parpol gabungan tersebut mengharapkan publik dapat memahami mengenai visi-misi dan jagoan yang bakal mereka usung ketika menghadapi pertarungan langsung pada 2024.

Waktu yang panjang dengan "mencuri start" akan mendapatkan penilaian apakah visi-misi calon yang bakal dimajukan layak "dijual" atau tidak. Koalisi jauh-jauh hari tentu memiliki keuntungan dalam hal tersebut sehingga siapa orang yang ideal dapat mereka temukan setelah melalui kontemplasi ribuan sasi.

Rezim Tiket vs Rezim Elektabilitas

Peta permainan Pemilu 2024 sepertinya tidak akan mengulangi preseden sebelumnya; tampaknya akan menjadi pertarungan antareliet parpol "pemegang tiket". Berbeda dengan tahun 2014 dan 2019, saat itu partai politik cenderung menghindari untuk bertabrakan dengan opini publik, ibarat adagium politician goes where the voters are merupakan relevansi utama saat itu.

Kini, calon-calon potensial yang mempunyai modal elektabilitas tinggi seolah tersekap dengan kondisi yang mensyaratkan 20% kursi parlemen sehingga kecenderungan calon dari "internal" parpol untuk dicalonkan semakin besar. Calon dengan elektabilitas tinggi saat ini pada umumnya bukanlah "penguasa" dari parpol-parpol di negeri ini.

Apabila kita berandai-andai, logikanya adalah ketika kubu seberang memajukan orang internal parpol mereka untuk maju dengan elektabilitas yang masih terbilang rendah, maka kubu lainnya pun cenderung untuk bersikap demikian. Jika hanya melawan si 'tuan' dengan elektabilitas nol koma, kami pun akan berani memajukan jagoan kami si 'puan' dengan elektabilitas yang masih nol koma juga.

Kita sebagai rakyat memang hanya bisa menonton sandiwara yang mereka buat untuk memenangkan Pemilu 2024, tetapi inilah realitas dari sistem demokrasi yang telah kita setujui dan sepakati bersama. Suka tidak suka Undang-Undang Pemilu Tahun 2017 merupakan produk hukum yang telah dibuahkan oleh para wakil rakyat di Senayan. Peristiwa politik "rezim tiket" tersebut agaknya merupakan sesuatu yang asing kita lihat dalam kancah perpolitikan nasional.

Tetapi tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi mata uang saja. Secara negatif memang hal ini dipandang sebagai langkah untuk mematikan gerak sang calon "favorit rakyat" dengan elektabilitas yang tinggi, tetapi tak berpartai. Di sisi lain, hal ini merupakan bentuk penguatan partai politik sebagai institusi kelembagaan politik yang memiliki "marwah", karena selama ini kita kerap melihat para calon-calon ini "di-KTA-kan" (KTA: Kartu Tanda Anggota) menjelang pesta politik berlangsung.

Tidak jarang calon tersebut tidak terikat secara ideologi ataupun visi-misi dengan partai yang didukungnya. Hal ini tentu tidak baik bagi iklim politik dan demokrasi karena para calon dengan elektabilitas tinggi tersebut hanya "menyetop taksi di tengah jalan". Pada sisi lainnya, dominannya para pemegang tiket ini merupakan bentuk penguatan partai politik di Indonesia.

Penguatan Partai Politik

Penguatan partai politik di Indonesia bisa dilaksanakan melalui tiga level, yaitu akar rumput, pusat, dan pemerintahan. Dominasi parpol dalam penentuan calon pemimpin di negeri ini merupakan bentuk penguatan partai politik dalam kancah pusat dan pemerintahan. Senada dengan pendapat tersebut, Huntington juga menekankan pelembagaan partai politik, yaitu sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian dapat berlangsung.

Suatu sistem kepartaian disebut kokoh dan adaptabel kalau ia mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Kehidupan politik dan demokrasi merupakan satu hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Namun, terdapat satu hal yang pasti di dalam iklim politik dan demokrasi partai politik merupakan pilar utama untuk menyanggahnya. Demokrasi yang kuat terletak pada kelembagaan parpol yang sehat, sesuai dengan pendapat Huntington sebelumnya.

Pesta demokrasi di negeri ini tidak boleh lagi diisi oleh orang-orang yang hanya mahir bersandiwara di medsos, ataupun membangun citra yang terlampau "sempurna" yang kemudian akan "dicungkil" untuk dijadikan usungan partai politik yang tidak sewarna dengan mereka. Ketika hanya mereka calon "populer" yang maju bertarung, maka dapat dipertanyakan di mana peran kaderisasi dan proses politik yang dijalankan oleh partai politik. Justru partai politiklah yang seharusnya berperan besar ketika hajatan pesta demokrasi akan berlangsung. Karena sejatinya mereka politisi yang berambisi pada posisi tinggi di negeri ini haruslah taat dengan cara main sesuai konstitusi.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads