Sepak bola berhasil menarik atensi masyarakat untuk mengkonfigurasi jejaring sosial berbasis ekstensif dan inklusif. Potensi sosial yang dihasilkannya terus berkembang secara signifikan. Sepak bola terbukti mendorong transformasi sosial melalui konstruksi identitas yang timbul dari nilai-nilai dan konsensus antar-fandom (baca: suporter sepak bola). Potret fandom sepak bola yang berbeda-beda menyediakan ruang untuk mengeksplorasi identitas diri secara bebas.
Namun, di balik potensinya yang begitu besar, fanatisme dalam sepak bola tidak jarang mendorong perilaku ekstrem berbasis kekerasan. Kelompok ultras yang terbentuk melalui jaringan fandom fanatik memainkan peranan yang sangat vital dalam dinamika sepak bola, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia (Fuller, 2014). Oleh karena itu, para fandom sepak bola sangat militan dan rentan terhadap pecahnya kerusuhan.
Sepak bola dapat menjadi inspirasi bagi para fandom, tetapi di sisi lain menjelma sebagai bentuk perlawanan apabila diselipkan untuk kepentingan birokrasi dan kapital yang mencoba mengambil surplus darinya (Kuper, 2011). Merebaknya sikap ekstrem dari para fandom sebenarnya dipengaruhi oleh mekanisme pertahanan diri, corak identitas, dan relasi sosial yang melembaga.
Kekecewaan terhadap hasil pertandingan atau kebijakan klub merupakan standarisasi normatif yang biasa diluapkan para fandom klub sepak bola. Kerusuhan antarsuporter maupun bentuk kekecewaan terhadap manajemen klub merupakan bentuk pertahanan diri dan representasi identitas yang terbangun melalui solidaritas mekanik. Dengan kata lain, fanatisme dan ekspresi fandom memainkan peran yang lumrah sebagai bagian dari kohesi sosial yang terbentuk dalam sepak bola.
Oleh karena itu, ekspresi fandom yang teraplikasikan dalam tindakan membutuhkan penanganan yang tepat. Sayangnya, apa yang terjadi di Kanjuruhan bukanlah sebuah bentuk penanganan yang tepat, tetapi bentuk perlawanan atas kausalitas pengamanan. Respons yang tidak tepat dalam menyikapi ekspresi fandom harus dibayar mahal. Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum bersama untuk melakukan evaluasi yang terstruktur.
Lembaga penyelenggara dan pihak keamanan ke depannya perlu bersinergi agar dapat mengambil keputusan yang akurat dalam mitigasi konflik. Kesiapsiagaan perlu ada untuk menjamin keselamatan seluruh elemen yang beraktivitas di dalam sepak bola.
Namun, di balik potensinya yang begitu besar, fanatisme dalam sepak bola tidak jarang mendorong perilaku ekstrem berbasis kekerasan. Kelompok ultras yang terbentuk melalui jaringan fandom fanatik memainkan peranan yang sangat vital dalam dinamika sepak bola, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia (Fuller, 2014). Oleh karena itu, para fandom sepak bola sangat militan dan rentan terhadap pecahnya kerusuhan.
Sepak bola dapat menjadi inspirasi bagi para fandom, tetapi di sisi lain menjelma sebagai bentuk perlawanan apabila diselipkan untuk kepentingan birokrasi dan kapital yang mencoba mengambil surplus darinya (Kuper, 2011). Merebaknya sikap ekstrem dari para fandom sebenarnya dipengaruhi oleh mekanisme pertahanan diri, corak identitas, dan relasi sosial yang melembaga.
Kekecewaan terhadap hasil pertandingan atau kebijakan klub merupakan standarisasi normatif yang biasa diluapkan para fandom klub sepak bola. Kerusuhan antarsuporter maupun bentuk kekecewaan terhadap manajemen klub merupakan bentuk pertahanan diri dan representasi identitas yang terbangun melalui solidaritas mekanik. Dengan kata lain, fanatisme dan ekspresi fandom memainkan peran yang lumrah sebagai bagian dari kohesi sosial yang terbentuk dalam sepak bola.
Oleh karena itu, ekspresi fandom yang teraplikasikan dalam tindakan membutuhkan penanganan yang tepat. Sayangnya, apa yang terjadi di Kanjuruhan bukanlah sebuah bentuk penanganan yang tepat, tetapi bentuk perlawanan atas kausalitas pengamanan. Respons yang tidak tepat dalam menyikapi ekspresi fandom harus dibayar mahal. Tragedi Kanjuruhan menjadi momentum bersama untuk melakukan evaluasi yang terstruktur.
Lembaga penyelenggara dan pihak keamanan ke depannya perlu bersinergi agar dapat mengambil keputusan yang akurat dalam mitigasi konflik. Kesiapsiagaan perlu ada untuk menjamin keselamatan seluruh elemen yang beraktivitas di dalam sepak bola.
Berdampingan dengan evaluasi terstruktur yang diharapkan, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo telah menerima surat resmi dari FIFA untuk agenda transformasi sepak bola Indonesia. Induk federasi sepak bola internasional tersebut sepakat untuk membantu pemerintah mengevaluasi standar pembangunan stadion, lalu menyusun prosedur pengamanan pertandingan, memediasi komitmen antar klub, mengatur jadwal pertandingan, dan pendampingan teknis lainnya.
Bertolak dari Evaluasi
Wacana transformasi yang digaungkan oleh Presiden Jokowi mesti bertolak dari evaluasi tidak adanya sinergi kelembagaan yang terintegrasi dalam mitigasi konflik. Ketiadaan sinergi dalam Tragedi Kanjuruhan berimbas pada tindakan yang berjalan sesuai tupoksi dan ego sektoral masing-masing lembaga. Dengan demikian, tidak ada langkah kesiapsiagaan yang diambil secara preventif untuk mencegah terjadinya kerusuhan.
Pengabaian terhadap nomenklatur FIFA mengenai SOP penanganan potensi konflik juga menjadi catatan yang harus digarisbawahi. Oleh karena itu, sebagai langkah awal transformasi sepak bola Indonesia, kesiapsiagaan yang merupakan inti dari mitigasi konflik harus dicanangkan dan dikombinasikan dengan sinergi yang baik antarlembaga agar memungkinkan pengambilan keputusan yang akurat (Meilani & Hardjosoekarto, 2020).
Dua hal tersebut merupakan instrumen dalam menghadapi potensi bencana menurut konsep birokrasi Weber (Muellerleile & Robertson, 2018). Untuk menerjemahkan konsep birokrasi Weber dalam transformasi birokrasi sepak bola Indonesia, posisi lembaga penyelenggara dan pihak keamanan tidak sebatas menjamin pertandingan terlaksana, tetapi juga menjadi aktor yang mendesain forum kerjasama antar-stakeholder untuk output pelayanan yang ramah dan responsif bagi fandom.
Para aktor penyelenggara pertandingan mesti bersikap profesional untuk tidak mengorbankan hak sipil dan mementingkan kepentingan birokrasi maupun agenda komersil. Monitoring terhadap human capital management melalui beragam literatur konsiderans maupun studi kasus dari negara lain sangat diperlukan sebagai bekal pengambilan sikap kesiapsiagaan.
Konsep birokrasi Weber juga menekankan adanya hierarki pembagian kerja, kontrol, dan nomenklatur standar operasional; penting untuk menata ulang aktor yang terlibat dalam sirkulasi sepak bola, dan sejauh mana kedekatan serta kontribusi aktor utama dalam proses transformasi sepak bola di Indonesia.
Pemetaan penting untuk membangun kerangka kesiapsiagaan oleh birokrasi secara bertanggung jawab dan mengedepankan sisi humanis dalam menanggulangi potensi kerusuhan (sebelum, selama, dan sesudah pertandingan berlangsung). Regulasi yang mengatur ketertiban fandom perlu dikaji ulang, terutama standar operasional prosedur yang harus memikirkan langkah kesiapsiagaan.
Regulasi perlu mengedepankan penanganan dengan kemampuan teknik negosiasi yang mumpuni, tidak ofensif, dan tidak mengedepankan aspek "pukul mundur". Psikologi fandom harus dibaca secara rasional dan predictability, bukan disimpulkan dengan tergesa-gesa. Proses pengamanan terhadap potensi konflik harus terstruktur dengan komando yang mengedepankan rasa, bukan karsa.
Dengan demikian, transformasi birokrasi menurut konsep Weber menuntut adanya sinergi aktor makro yang dapat menurunkan regulasi kesiapsiagaan pada sub-struktur di bawahnya. Aktor makro sebagai regulator harus segera membentuk desain forum bersama untuk mengkonsepsikan ulang regulasi yang responsif terhadap perilaku fandom dan operasionalisasi yang lebih humanis.
Regulasi yang sudah disepakati selanjutnya dapat diturunkan pada aktor messo untuk implikasi mikro yang lebih aplikatif di lapangan. Regulasi yang telah diimplementaikan selanjutnya memerlukan monitoring dan evaluasi berkala secara transparan. Akuntabilitas dan transparansi monitoring dan evaluasi juga diperlukan untuk data kesiapsiagaan, mengingat intensitas dan karakteristik tiap fandom berbeda-beda.
Dengan begitu, kolaborasi antar birokrasi dan payung standar operasional yang telah dirumuskan bersama tidak hanya menciptakan kesiapsiagaan, tetapi juga menjadi langkah yang sinergis untuk merumuskan hal teknis lainnya seperti kelayakan stadion dan komitmen antarklub dalam mengatur fandom. Stadion dengan fasilitas yang baik tentunya tidak hanya yang berkapasitas besar, tetapi juga memudahkan evakuasi sebagai bentuk mitigasi konflik.
Begitu pula dengan prosedur pengamanan pertandingan, tidak hanya mekanisme yang dibuat agar keamanan terjamin, tetapi juga standar operasional prosedur yang tepat dalam menyikapi ekspresi fandom. Dengan demikian, wacana transformasi harus dimulai dari langkah kesiapsiagaan dan sinergi antarbirokrasi dalam menyikapi ekspresi fandom secara bijak.
Dialog
Fandom merupakan landskap miniatur masyarakat yang terkoneksi dalam sepak bola melalui solidaritas mekanik. Ekspresi yang muncul dalam perilaku fandom lebih banyak disebabkan karena kurangnya dialog antarpemangku kepentingan yang berbeda serta respons atas sikap represif pihak keamanan. Tidak hanya itu, fandom merupakan representatif perlawanan masyarakat terhadap sikap restriktif dari asosiasi regulator, di mana kontribusi fandom dalam mentransformasikan perkembangan sepak bola begitu besar (Winskowski, 2022).
Oleh karena itu, penting bagi para aktor regulator untuk terlibat langsung dalam dialog dan memposisikan diri sebagai mediator. Dialog dengan fandom penting untuk merumuskan solusi jangka panjang agar tidak muncul konflik yang berulang. Dengan begitu, harapan untuk mengembalikan sepak bola Indonesia menjadi hiburan yang sehat dan ramah untuk semua kalangan dapat terwujud.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini