Meluruskan Salah (Paham) DPR dalam Masa Jabatan MK
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Meluruskan Salah (Paham) DPR dalam Masa Jabatan MK

Rabu, 19 Okt 2022 09:55 WIB
Alif Fachrul Rachman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Gedung Mahkamah Konstitusi
Foto: Ari Saputra/detikcom
Jakarta -
Dalam kolom artikel detikcom (2/10) berjudul Pergantian Hakim MK Aswanto dan Tindakan Konstitusi DPR, Habiburokhman selaku Anggota Komisi III DPR menjelaskan bahwa tindakan DPR mengganti hakim Aswanto telah sesuai dengan proses hukum dan merupakan tindakan konstitusional. Uniknya, argumentasi yang digunakan dalam artikel tersebut terlalu dangkal --jika tidak ingin disebut aneh.

Menurutnya, DPR sebagai pemegang mandat dari rakyat memiliki kewenangan mengajukan hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, sehingga menjadi jelas bahwa kewenangan memperpanjang masa jabatan tersebut juga dapat dimaknai untuk tidak memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi dan mengganti hakim MK yang telah diusulkan.

Argumen tersebut bukan hanya keliru secara yuridis, tapi juga dapat dinilai keliru secara teoretis. Dengan demikian, artikel ini mencoba menjelaskan secara sederhana kekeliruan tersebut dari aspek normatif dan teoretis.

Pengusulan (Mengangkat) Berbeda dengan Pemberhentian

Dalil DPR untuk mengganti Hakim Aswanto tidak terlepas dari paradigma yang mempersamakan rezim pengusulan (mengangkat) dengan pemberhentian (jabatan) hakim konstitusi. DPR memaknai pengusulan tersebut satu paket dengan pemberhentian, artinya begitu hakim konstitusi hendak diusulkan, maka dibutuhkan pemberhentian hakim yang lama.

Konsep demikian menjadi hal yang keliru. Sebab, terdapat pergeseran paradigma dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut UU MK), yang semula menggunakan konsep periodisasi kini menjadi masa jabatan usia pensiun. Konsekuensi dari pergeseran paradigma tersebut telah memisahkan paket pengusulan dari pemberhentian hakim konstitusi oleh lembaga pengusung.

Dengan demikian, proses pengusulan hakim baru dapat terjadi ketika seorang hakim konstitusi telah memasuki enam bulan terakhir sebelum masa jabatannya berakhir sebagaimana tertuang dalam Pasal 26 UU MK. Sedangkan berdasarkan Revisi UU MK, Pasal 87 huruf (b) disebutkan masa jabatan hakim konstitusi saat ini, dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang dan akan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun dengan catatan tidak melebihi 15 tahun masa tugas. Dengan demikian, Hakim Aswanto yang kini berumur 58 tahun dan menjabat sejak 2014, akan berakhir masa jabatannya pada 2029.

Lebih lanjut, perbedaan rezim pengusulan dan pemberhentian hakim MK juga dapat terlihat dari proses hukum yang berbeda. Dalam pemberhentian hakim, proses hukum sama sekali tidak melibatkan lembaga pengusung seperti Presiden (sebagai kepala eksekutif/chief of executive), DPR, dan MA sebagaimana dalam proses pengusulan.

Pemberhentian Hakim Konstitusi dapat terlihat dalam Pasal 23 yang mendeskripsikan hakim konstitusi dapat diberhentikan baik secara terhormat maupun tidak terhormat. Namun demikian, prosedur pemberhentian dilakukan melalui mekanisme internal dan tidak melibatkan pihak eksternal seperti lembaga pengusung. Bahkan dalam Pasal 23 ayat (4) secara explicit menyebutkan bahwa pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden (sebagai kepala negara bukan kepala pemerintahan) atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.

Legal standing DPR tindakan pemberhentian

Dalam opini Habiburokhman, pemberhentian tersebut merupakan respons atas surat MK Nomor 2010/KP.10/07/2022 tertanggal 21 Juli 2022 kepada DPR perihal Pemberitahuan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Jika dicermati isi surat tersebut selain penyampaian amar Putusan MK, ternyata juga mengandung permintaan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga pengusung, sehubungan dengan revisi UU MK yang mengalihkan konsep masa jabatan yang semula menggunakan periodisasi kini menjadi usia pensiun.

Di satu sisi, putusan MK sendiri memang membuka peluang bagi lembaga pengusung untuk kembali sedikit terlibat dalam peralihan konsepsi masa jabatan. Melalui pertimbangan hukum (ratio decidendie) putusan No.96/PUU-XVIIII/2020, MK menyatakan membutuhkan penegasan perpanjangan masa jabatan sehingga "diperlukan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga pengusung."

Namun dalam perspektif MK, konfirmasi tersebut bukan dimaksudkan untuk memberikan hak prerogatif kepada lembaga pengusung untuk kembali menyetujui atau tidak hakim yang menjabat saat ini, melainkan hanya pemberitahuan semata konsep baru yang dianut dalam revisi UU MK, sehingga masa jabatan hakim yang menjabat saat ini akan berakhir pada usia pensiun 70 tahun atau 15 masa jabatan.

Alih-alih permohonan kejelasan konfirmasi yang dilayangkan MK dijawab secara afirmatif oleh lembaga pengusung, nyatanya hanya DPR (dari ketiga lembaga pengusung tersebut) yang justru melakukan perlawanan terhadap tindakan hukum MK berupa permohonan konfirmasi tersebut.

Saya berpandangan bahwa konflik demikian tidak terlepas dari kesalahan MK sendiri yang sejak awal salah dalam mendudukkan persoalan masa jabatan hakim konstitusi. Sejak awal MK berpandangan bahwa masa jabatan hakim konstitusi adalah kebijakan hukum terbuka yang dapat diatur secara bebas oleh pembentuk Undang-Undang atau open legal policy.

Seperti dalam Putusan Nomor 53/PUU-XIV/2016 dan Nomor 73/PUU-XIV/2016, MK selalu menyatakan masa jabatan hakim konstitusi merupakan ranah kewenangan pembentuk Undang-Undang sehingga MK tidak punya wewenang untuk menentukan lamanya masa jabatan hakim MK. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, MK justru tidak menggunakan argumentasi open legal policy bahkan menghapus berbagai konsep periodisasi masa jabatan Hakim Pajak, Hakim Tipikor, bahkan Panitera MA dan MK, yang semula menganut konsep periodisasi kemudian menjadi jangka waktu 10 tahun, dengan argumentasi independensi.

Lalu apakah benar bahwa masa jabatan hakim konstitusi merupakan open legal policy yang dapat ditentukan berdasarkan selera manuver politik tertentu? Jika menggunakan pendekatan teoretis, maka jawabannya adalah tidak. Masa jabatan hakim merupakan salah satu "onderdil" dari prinsip kemerdekaan (independensi) kekuasaan kehakiman yang dijamin konstitusi.

Alexander Hamilton misalnya menjelaskan untuk menakar independensi badan peradilan dapat ditinjau dari tiga aspek. Pertama, pola pengisian jabatan hakim (the mode of appointing the judges). Kedua, masa jabatan hakim (the tenure by which they are to hold their places). Ketiga, pembagian kewenangan yang jelas antar peradilan yang berbeda, dan hubungan antara lembaga tersebut (the partition of the judiciary authority between different court and their relations to each other).

Pandangan tersebut yang kemudian mendorong berbagai konsorsium seperti International Bar Association Resolution Minum Standars of Judicial Independence maupun United Nations Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985) dalam menentukan masa jabatan hakim harus diatur selama seumur hidup atau untuk suatu periode panjang tertentu, dan hal tersebut harus dijamin berdasarkan hukum dan konstitusi, sehingga hakim tidak dapat diberhentikan, kecuali berdasarkan hukum dan hanya diputuskan melalui prosedur penegakan disiplin yang layak.

Dari berbagai dinamisasi perkembangan kekuasaan kehakiman tersebut, terlihat bahwa masa jabatan dan independensi tidak dapat terpisahkan. Mengganggu masa jabatan hakim dapat dinilai mengganggu independensi kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, seharusnya masa jabatan hakim konstitusi secara explicit verbis dimuat dalam konstitusi sehingga menjadi close legal policy.

Alif Fachrul Rachman Associate Probation at Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads