Mahkamah Konstitusi (MK) dipereteli secara politik oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto "dicopot" atau tidak diperpanjang jabatannya sebagai hakim konstitusi oleh DPR karena dinilai tidak memiliki komitmen politik dengan lembaga yang telah memilihnya sebagai hakim konstitusi. Sebagai penggantinya, DPR telah memilih Guntur Hamzah yang sebelumnya menjabat Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
Jika mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020, hakim Aswanto seharusnya berakhir masa tugasnya pada 2029. Secara khusus, komisi III DPR kecewa lantaran hakim Aswanto kerap menganulir beberapa produk undang-undang. Alasan pencopotan itu diungkapkan langsung oleh Ketua Komisi III Bambang Pacul. "Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," ungkap Bambang Pacul dikutip detikcom (30/9).
Melayani Kepentingan Konstitusi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan pemberhentian hakim Aswanto lebih didasarkan oleh alasan politis. Ungkapan Bambang Pacul menggambarkan rendahnya kesadaran dan pemahaman nilai konstitusi lembaga legislatif. Hakim Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai mandataris yang memperjuangkan kepentingan politik lembaga pengusung (in casu DPR). Kendatipun tiga di antara sembilan hakim MK dipilih oleh DPR, tidak serta merta harus mewakili segala spektrum kepentingan di DPR.
Secara teori, doktrin separation of power atau distribution of power mengandung konsekuensi kekuasaan yudikatif dan legislatif terpisah secara institusi maupun operasional. Begitu pula, person-person di antara lembaga itu telah diberikan kewenangan yang berbeda dan terpisah. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang paling mendasar menurut UUD 1945 ialah menjamin tegaknya nilai-nilai konstitusi tercermin dalam setiap produk undang-undang melalui mekanisme judicial review.
Praktik judicial review sebagai momentum pelaksanaan fungsi check and balances antara lembaga pembentuk UU dengan Mahkamah Konstitusi. Pada posisi ini, peran Mahkamah Konstitusi untuk menguji UU terhadap UUD 1945 adalah dalam rangka menilai kualitas produk legislasi harus paralel dengan nilai konstitusi. Konsekuensi pembatalan suatu UU oleh Mahkamah Konstitusi dipertanggungjawabkan secara kelembagaan, karena harus diputuskan berdasarkan suara terbanyak.
Demikian pula perihal perbedaan pendapat (dissenting opinion) tiap hakim harus didasarkan oleh perbedaan model interpretasi dan argumentasi hukum yang digunakan. Maka tidak tepat alasan DPR hanya karena seorang hakim (katakanlah hakim Aswanto), sebuah UU dapat dibatalkan.
Selain itu, alasan DPR mencopot hakim Aswanto tidak berlandaskan pada argumentasi hukum. Seorang hakim hanya dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kode etik atau bertentangan dengan hukum. Tanpa itu, tidak ada pembenaran untuk memperhatikan hakim dari masa jabatannya, kecuali hakim tersebut yang mengajukan pengunduran diri.
Semua hakim Mahkamah Konstitusi berkewajiban menegakkan konstitusi, walaupun harus bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri maupun kepentingan lembaga pengusung. Itu sebabnya, seluruh hakim --termasuk hakim dalam lingkungan peradilan MA-- disematkan anasir pendukung yang kerap berbunyi: hakim bersifat imparsial, independen, dan merdeka. Anasir-anasir "sakral" itu guna menjamin putusan hakim tidak berdasarkan pesanan dari kepentingan kelompok tertentu. Melainkan harus diputuskan berdasarkan prinsip keadilan dan kepastian hukum.
Begitu pula, secara filosofis seluruh hakim Mahkamah Konstitusi merupakan insan yang bekerja untuk melayani kepentingan konstitusional warga negara. Maka menjadi lazim apabila hakim Mahkamah Konstitusi bersikap konfrontatif terhadap UU yang dinilai bertentangan dengan konstitusi. Tidak lantas karena hakim tersebut berasal dari pilihan DPR, maka diwajibkan bersikap kooperatif terhadap semua produk legislasi DPR. Bila logika demikian yang digunakan, maka Mahkamah Konstitusi hanya akan menjadi gelanggang pertarungan kepentingan politik DPR, Presiden dan MA.
Indikasi dan ancaman menguatnya kepentingan politik di Mahkamah Konstitusi di setiap negara selalu menjadi kekhawatiran serius. Lawrence Baum pernah mengingatkan bahwa setiap saat Mahkamah Konstitusi dapat saja bertindak sebagai institusi yudikatif yang handal apabila integritas hakimnya terpuji, dan dengan mudah pula akan bertindak sebagai institusi politik jika integritas hakimnya rendah.
Potensi pergeseran dari institusi yudikatif ke institusi politik sangat rawan terjadi di Mahkamah Konstitusi. Terlebih, enam dari sembilan hakim konstitusi dipilih oleh institusi politik. Pemilihan hakim konstitusi oleh institusi politik barang tentu akan sangat mudah membuka ruang hadirnya negosiasi kepentingan politik. Asumsi demikian kini telah terafirmasi secara valid melalui peristiwa pemberhentian hakim Aswanto. DPR tentu tidak akan memilih orang yang sama "membangkang" seperti hakim Aswanto sebagai penggantinya. Minimal kriteria utamanya, wajib "manut" dan tidak bertingkah mengganggu kepentingan DPR.
Hakim Kooperatif vs Hakim Konfrontatif
Dalam perkembangannya saban hari, para hakim Mahkamah Konstitusi lebih banyak bersikap kooperatif terhadap produk legislasi DPR dan pemerintah. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi --beberapa UU yang menimbulkan penolakan yang masif dari publik-- kerap mengecewakan. Beberapa putusan kooperatif dimaksud seperti revisi UU KPK, revisi UU Minerba, revisi UU MK, UU IKN, hingga UU Cipta Kerja.
Beberapa UU tersebut sebagai produk legislasi DPR dan pemerintah yang konsisten ditolak oleh publik. Namun setelah diuji ke Mahkamah Konstitusi, tanpa dalil dan argumentasi hukum yang memadai, justru mendapatkan legitimasi konstitusional dari putusan Mahkamah Konstitusi. Bak masih tak cukup dengan kinerja Mahkamah Konstitusi yang sudah terlihat bersikap kooperatif, DPR kini berupaya mempreteli hakim konstitusi yang masih "bandel".
Peran Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of the constitution dan sebagai the guardian of constitution mengalami kemunduran yang signifikan. Hal itu disebabkan oleh cara pandang dan pilihan sikap sebagian besar para hakim konstitusi yang cenderung lebih kooperatif serta terkesan menghindari konfrontatif terhadap produk legislasi DPR dan pemerintah.
Pilihan sikap demikian tentunya sebagai pertimbangan realistis para hakim konstitusi guna menjaga keberlangsungan status quo. Pilihan sikap itu khususnya lebih imperatif bagi hakim-hakim yang dipilih oleh DPR dan pemerintah. Terlebih lagi peristiwa pemberhentian hakim Aswanto ini akan semakin mengganggu psikologi lima hakim lainnya untuk lebih bersikap kooperatif.
Keputusan DPR memberhentikan hakim Aswanto tidak saja menyalahi prosedur hukum, tetapi juga sebagai tindakan teror terhadap hakim-hakim konstitusi yang lain. Sampai saatnya nanti misi DPR tercapai, kita tidak lagi menemukan hakim-hakim konstitusi yang berani bersikap konfrontatif dan berintegritas. Padahal prinsip idealnya, semua hakim konstitusi selayaknya bersikap konfrontatif terhadap segala bentuk produk legislasi yang bertentangan atau setidak-tidaknya berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara. Itu sebabnya Mahkamah Konstitusi dihadirkan dengan membawa spirit reformasi sistem hukum yang berdasarkan UUD 1945.
Sembari menunggu Keputusan Presiden tentang pergantian hakim Aswanto yang dinilai konfrontatif, dengan calon hakim konstitusi Guntur Hamzah yang diharapkan DPR akan berhaluan kooperatif, sekiranya sejenak kita memanjatkan doa secara serempak supaya para wakil kita mendapat hidayah dan segera tersadarkan dari manuver politik dan kenikmatan kekuasaan yang sementara. Jangan sampai bangunan negara hukum yang susah payah diperjuangkan dengan tumpah darah ini porak-poranda oleh hasrat kepentingan yang membabi-buta.
Asrizal Nilardin mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia