Setelah wacana perpanjangan masa jabatan agak mulai sunyi, wacana tiga periode belum juga reda. Napas gerak wacana tiga periode agak panjang dan bertele-tele, meskipun konstitusi sudah membatasinya. Alasannya, pertama, karena Presiden Jokowi juga tidak memiliki prinsip yang tegas untuk meyakinkan publik bahwa dirinya tidak ingin tiga periode. Kedua, relawan tidak pernah ditegur secara langsung oleh Presiden.
Alih-alih menegur relawan Pro-Jokowi (Projo) mengenai tiga periode, Presiden kelihatannya menganggap wacana itu wajar. "Itu bagian dari demokrasi" kata Jokowi.
Dari perspektif etika bernegara, menyatakan hal yang tidak konstitusional itu demokratis, sangat tidak etis. Demokrasi bagi negara hukum adalah sesuatu yang telah dirumuskan dalam konstitusi. Ada banyak pelajaran dari pemimpin-pemimpin besar diberbagai negara mengenai "pendemokrasian" sesuatu yang tidak demokratis.
Para tiran yang pernah ada dalam sejarah sebagian lahir dari pemerintahan yang tidak pernah menyangkal demokrasi, tapi dia menginginkan demokrasi itu untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain. Tiran selalu melakukan demokratisasi terhadap kehendak yang menguntungkan diri dan kelompoknya, bahkan tidak jarang mereka mengubah aturan main konstitusi.
Seperti wacana tiga periode, meski Konstitusi sudah membatasi, tapi untuk kehendak berkuasa, tidak menutup kemungkinan batasan itu "dicongkel" dan berubah berdasarkan keinginan. Itulah kerja Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, Hugo Chavez, dan lain-lainnya.
Apa penyebab di balik wacana berkuasa dalam waktu yang lama itu? Pertama, menganggap hanya merekalah yang mampu memimpin sebuah negara. Kedua, pembangunan akan terhenti apabila mereka tidak berkuasa. Ketiga, untuk mengamankan kepentingan politik yang belum dibereskan selama periode kekuasaan. Gejala ini selain tirani juga menciptakan berhala kekuasaan. Hal ini berbahaya bagi demokrasi, juga berbahaya bagi perkembangan dan kemajuan bangsa ke depan.
Hanya dengan anggapan pendukung, upaya untuk melanggengkan kekuasaan dengan melabrak konstitusi sangat tidak etis. Ini akan menjadi sejarah lahirnya tiran-tiran yang dianggap baik oleh pendukungnya. Demokrasi tidak menghendaki kekuasaan yang membentuk dirinya sebagai berhala, karena bagi demokrasi, setiap pemimpin eksekutif harus ditempatkan sebagai bajingan, sehingga perlu dibatasi dan diawasi. Maka berlakulah mekanisme check and balances.
Harus kita akui bahwa inilah kelemahan demokrasi liberal yang pragmatis. Pemimpin yang terpilih justru disandera oleh berjibun kepentingan di sekelilingnya. Sehingga sulit untuk keluar dari jebakan kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang.
Dengan pragmatisme politik, para calon presiden dan wakil presiden, anggota dewan dan pejabat-pejabat lainnya selalu berorientasi uang untuk menentukan apakah dia dipilih. Pintu ini yang menjadikan oligarki berada di atas puncak untuk mengendalikan kekuasaan. Sebab hanya oligarkilah yang memiliki uang untuk menjadi bohir politik.
Tidak Etis
Dalam kecamatan ini pula kita melihat bagaimana Jokowi "dipaksa" untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai presiden. Termasuk "parodi Jokowi wakil presiden". Secara konstitusi mungkin dapat diterima dengan "debatable". Bahwa presiden yang habis periode jabatannya dapat menjadi wakil presiden. Tapi, secara etik dan moralitas, baik sebagai individu maupun sebagai pemimpin, ini sangat tidak etis.
Secara konstitusi, jabatan presiden sudah dibatasi berdasarkan ketentuan Pasal 7 UUD 1945. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Putusan Mahkamah Konstitusi juga memperkuat bahwa presiden dan atau wakil presiden yang sudah menjabat dua kali tidak boleh mencalonkan diri baik itu secara berjeda maupun berturut-turut.
Celah konstitusional untuk mencalonkan diri sebagai presiden sudah tidak mungkin, termasuk keinginan untuk tiga periode. Karena tidak bisa tiga periode, maka muncul wacana, Jokowi masih bisa menjadi calon wakil presiden. Wacana yang dilontarkan oleh politisi PDIP Bambang Pacul itu direspons oleh Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono yang menyebut, presiden yang telah dua periode secara normatif bisa maju lagi sebagai calon wakil presiden utuk periode berikutnya.
Pernyataan Fajar ini menuai kritikan dari semua pihak. Reaksi atas pernyataan itu muncul dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Jimly Asshiddiqie. Menurut Jimly, Joko Widodo tak memenuhi syarat untuk menjadi calon wakil presiden di Pilpres 2024 mendatang, dengan alasan Jokowi yang sudah menjabat presiden dua periode tidak bisa maju lagi sebagai calon wakil presiden untuk periode berikutnya.
Dari segi hukum dan etika kenegaraan, Jokowi sudah tidak bisa menjadi wapres berdasarkan ketentuan Pasal 7 UUD 1945. Kalau bunyi Pasal 7 UUD 1945 dicermati secara sistematis dan kontekstual, bukan secara harfiah saja, maka Jokowi tidak boleh menjabat Wakil Presiden tahun 2024-2029.
Ketentuan pasal a quo berlaku untuk 2 kali 5 tahun. Seandainya Jokowi memaksakan untuk calon wakil presiden, maka berlaku ketentuan Pasal 8. Apabila Presiden mangkat, berhenti atau diberhentikan otomatis digantikan oleh Wakil Presiden.
Secara hukum presiden hanya dua kali masa jabatan. Seandainya maju lagi menjadi wapres, kemudian presiden mangkat atau berhenti dan diberhentikan dalam masa jabatannya, maka akan terjadi kekosongan jabatan presiden, sebab wakil presiden secara otomatis tidak bisa menjadi presiden lagi, karena sudah menjabat presiden dua periode. Karena itu secara konstitusional presiden yang menjabat dua periode berakhir dan tidak bisa lagi menjadi wakil presiden.
Mengutip Prof. Jimly, baik secara hukum maupun secara etika tidak dibenarkan. Semua itu berpulang pada kearifan kita bernegara.
Furqan Jurdi pemerhati hukum tata negara