Jagat dunia maya dihebohkan dengan kasus komplain konsumen yang berujung somasi. Diawali cuitan di Twitter oleh seorang konsumen yang mengeluhkan kandungan gula di salah satu produk besutan Es Teh Indonesia. Memang cuitan tersebut ditulis dengan bahasa yang cenderung kasar, verbal, dan berpotensi merugikan pihak perusahaan karena langsung viral. Namun, cuitan tersebut semakin viral justru karena respons perusahaan yang berlebihan dan langsung mengambil tindakan hukum berupa somasi.
Langkah perusahaan tersebut memancing netizen untuk berkomentar dan permasalahan akhirnya melebar ke mana-mana. Kasus ini menjadi pemantik kesadaran konsumen akan kandungan gula dalam minuman. Bahkan wacana pengenaan cukai untuk minuman berpemanis pun muncul. Selain kritikan dan hujatan netizen ke perusahaan, kekisruhan ini juga dimanfaatkan kompetitor untuk menawarkan produknya. Sudah jatuh tertimpa tangga, ini yang dialami perusahaan ketika salah menyikapi komplain. Brand image tercoreng, sales turun, market share direbut kompetitor.
Apa yang seharusnya dilakukan perusahaan ketika menghadapi komplain? Inilah pertanyaan yang seharusnya sudah ada jawabannya di semua perusahaan yang melayani konsumen. Langkah hukum adalah pilihan terakhir, bukan dilakukan di awal yang terkesan sangat reaktif. Komplain konsumen bukan ditangani oleh bidang legal, tapi oleh bidang yang berhubungan langsung dengan konsumen. Bisa dilakukan oleh public relations, marketing, costumer services atau apapun nama bidangnya yang berfungsi menangani konsumen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masukan Berharga
Mindset perusahaan ketika menerima komplain harus diubah. Komplain adalah masukan berharga dari konsumen untuk perbaikan perusahaan. Jadi seharusnya perusahaan bersyukur; jika ada yang komplain, berarti ada yang mau memberikan masukan. Jangan menganggap komplain sebagai sebuah celaan atau noda yang harus dibersihkan dengan cara apapun.
Mahaguru pemasaran Philip Kotler dalam buku Marketing Management (2019) mengatakan, konsumen yang tidak senang dapat berpotensi merugikan, oleh karena itu harus ditangani secara efektif. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan perusahaan untuk kembali mendapatkan kepercayaan konsumen. Pertama, menyiapkan sarana penyaluran komplain konsumen secara gratis yang bisa diakses setiap saat. Bisa melalui telepon, email, media sosial.
Kedua, merespons komplain konsumen secepatnya; semakin lambat akan menambah kekecewaan dan dapat memperburuk keadaan. Ketiga, menerima tanggung jawab atas kekecewaan pelanggan dan jangan pernah salahkan mereka. Keempat, gunakan orang-orang layanan pelanggan yang berempati. Kelima, menyelesaikan keluhan dengan cepat dan untuk kepuasan pelanggan.
Metode LATTE
Dalam buku Principles of Marketing (2021), Philip Kotler dan Gary Amstrong menceritakan bagaimana para barista Starbucks mempelajari metode LATTE untuk menangani pelanggan yang tidak puas dan mengatasi masalah mereka dengan cara-cara yang positif. LATTE adalah singkatan dari Listen to the customer, Acknowledge
their complaint, Take action by solving the problem, Thank them, and then Explain why the problem occurred.
Dengan mendengar dan mengambil langkah positif, karyawan Starbucks sering dapat mengubah pelanggan yang kecewa menjadi pelanggan yang puas. Pelanggan yang tadinya kecewa dan mengajukan komplain dan ditangani dengan baik akan berpeluang menjadi pelanggan setia. Bahkan sangat mungkin melakukan positive word of mouth yang menjadi sarana promosi gratis bagi perusahaan.
Jadi jangan panik kalau ada komplain, tetap tenang. Baca atau dengarkan keluhan mereka, ucapkan terima kasih, dan berikan jawaban atas komplainnya dengan bahasa yang tertata. Pertanyaan konsumen harus dijawab tanpa perlu "ngegas" dan tetap menggunakan bahasa yang baik.
Perusahaan memiliki legal power untuk menuntut konsumen karena komplain yang disampaikan sudah memenuhi syarat untuk diajukan ke pengadilan. Tapi ingat, konsumen punya buying power dan influence power yang bisa mempengaruhi hidup-matinya perusahaan. Jangan menggali kuburan perusahaan Anda sendiri dengan mensomasi konsumen.
Akhmad Farhan dosen Manajemen Pemasaran Pascasarjana Universitas Insan Pembangunan Indonesia