Mengapa Harus Menolak Wacana Jokowi Cawapres?

ADVERTISEMENT

Kolom

Mengapa Harus Menolak Wacana Jokowi Cawapres?

Rino Irlandi - detikNews
Kamis, 06 Okt 2022 10:41 WIB
Presiden Jokowi
Presiden Jokowi (Foto: Antara)
Jakarta -

Wacana rekandidasi Jokowi menjadi Cawapres dalam Pemilu 2024 kian memanas. Wacana ini bermula dari pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono Suroso. Ketika dimintai pendapat oleh wartawan, Fajar menyebut bahwa tidak ada larangan konstitusional bagi presiden yang sudah menjabat selama dua periode untuk menjadi wakil presiden.

Sontak, pernyataan ini mendapatkan atensi dan ramai diperbincangkan di ruang-ruang publik. Ada yang setuju dengan pendapat dan wacana itu. Namun, ada pula yang menolaknya. Masing-masing dari dua kutub yang berseberangan ini sama-sama memiliki acuan konstitusional dalam mengemukakan pendapatnya. Dengan kata lain, mereka melandaskan pendapatnya pada aturan konstitusi sehingga sama-sama terlihat konstitusional dan legal.

Bagi yang setuju dengan wacana ini, mereka mendasarkan pendapatnya pada Pasal 7 UUD 1945. Menurut mereka, pasal ini hanya melarang presiden dan/atau wakil presiden untuk menjabat dalam jabatan yang sama selama lebih dari dua periode. Tidak ada larangan secara eksplisit yang menyebut bahwa seorang presiden yang sudah menjabat selama dua periode tidak boleh maju sebagai calon wakil presiden dalam pemilu periode berikutnya.

Tetapi, bagi mereka yang menolak wacana ini, aturan konstitusi harusnya dibaca secara sistematis. Pasal 7 UUD 1945 memang tidak menyebut larangan eksplisit, tapi jika pasal ini dibaca secara sistematis bersamaan dengan Pasal 8 ayat (1) UUD 1945, maka akan ada problem ketatanegaraan jika presiden yang sudah menjabat dua periode maju kembali berkompetisi menjadi wakil presiden pada pemilu periode berikutnya.

Secara hipotesis, mereka membayangkan bahwa presiden pasangan Jokowi (jika terpilih menjadi Wapres dalam Pemilu 2024) nanti tidak bisa melanjutkan amanah jabatannya. Kondisi ini akan memaksa stagnasi konstitusional karena tidak dapat dijalankannya Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 yang secara lengkap berbunyi: Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.

Intinya, Jokowi sudah menjabat presiden selama dua periode, sehingga dia tidak bisa menggantikan pasangan presidennya. Kalau Jokowi menjabat sebagai presiden lagi karena kondisi ini memaksanya, maka ia akan melanggar Pasal 7 UUD 1945. Pasal 7 ini tegas menyatakan bahwa presiden tidak boleh menjabat selama lebih dari dua periode.

Namun, argumen ini dapat dibantah kembali oleh mereka yang setuju dengan wacana ini. Mereka akan mendasarkan pendapatnya pada Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Menurut pasal ini, jika Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan tidak dapat melanjutkan jabatannya, maka Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan yang akan menjadi pelaksana tugas kepresidenan untuk sementara waktu sebelum MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru.

Memang begitu rumit memahami pasal-pasal konstitusi. Selalu ada tafsir dan perspektif yang tidak tunggal dalam memahaminya. Lalu, apa sikap yang harus kita ambil? Jika pertanyaan ini dilontarkan pada saya, saya secara tegas akan menolak wacana ini dan membuangnya ke tempat sampah. Bagi saya, kita juga harus membaca konstitusi menggunakan nalar moralitas.

Saya melihat wacana ini tidak lebih dari rentetan episode upaya untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi. Setelah wacana presiden tiga periode gagal dan mendapat banyak penolakan, muncul wacana menunda pemilu. Setelah wacana menunda pemilu gagal, wacana Jokowi cawapres dalam Pemilu 2024 bisa dibaca sebagai langkah selanjutnya.

Inti Penolakan

Inti penolakan terhadap wacana Jokowi cawapres dalam Pemilu 2024 tak berbeda dengan inti penolakan terhadap wacana presiden tiga periode dan penundaan pemilu. Karena ketiganya merupakan upaya perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi (hanya dalam kemasannya saja yang berbeda), maka inti penolakannya pun sama: kita menolak melonggarkan batas masa jabatan.

Banyak sarjana ilmu politik dan konstitusi percaya bahwa batas masa jabatan presiden berfungsi untuk membangun kompetisi pemilu yang kompetitif dan adil. Tidak adanya batasan pada masa jabatan presiden akan melemahkan kompetisi pemilu yang kompetitif dan adil ini. Karena presiden dan wakil presiden petahana yang ikut kembali dalam kompetisi pemilu memiliki keuntungan daripada lawannya.

Ilustrasinya begini. Bayangkan calon presiden dan wakil presiden petahana tersebut sudah menjabat selama beberapa tahun, katakanlah di Indonesia satu periode lima tahun dan dua periode sepuluh tahun. Selama lima atau sepuluh tahun itu, mereka sudah banyak menjalankan program yang sudah dirasakan manfaatnya secara riil oleh rakyat.

Kondisi ini akan mendorong preferensi pilihan rakyat dalam pemilu lebih condong untuk memilih calon presiden dan wakil presiden petahana yang sudah memiliki program riil yang dirasakan. Sehingga, kecil kemungkinan adanya rotasi kekuasaan dan terpilihnya wajah baru yang mengisi jabatan presiden dan wakil presiden.

Ilustrasi ini bisa kita justifikasi dari studi-studi yang sudah ada. Misalnya, studi Javier Coralles dan Michael Penfold (2014) menyebut presiden atau wakil presiden yang sedang menjabat menikmati kesempatan 90 persen untuk memenangkan masa jabatan kedua berturut-turut, dan peluang 83 persen untuk pemilihan kembali berikutnya, sehingga secara efektif ada 62,8 persen peningkatan peluang terpilih kembalinya seorang calon presiden atau wakil presiden.

Jabatan juga mempengaruhi margin kemenangan dalam pemilu presiden; jabatan ini meningkatkan margin kemenangan presiden atau wakil presiden petahana atas pesaing terdekat mereka sekitar 11,2 persen, dan merupakan faktor terkuat dalam memprediksi probabilitas dan margin kemenangan dalam pemilihan presiden.

Dalam kondisi ini, jika Jokowi maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024 mendatang, tingkat keterpilihannya juga akan sangat tinggi. Mengingat selain karena alasan hasil studi di atas, survei-survei yang ada sejauh ini juga menunjukkan besarnya kepuasan rakyat pada kinerja pemerintahan Presiden Jokowi, sehingga dukungan rakyat besar kemungkinan besar akan diberikan pada Jokowi jika dia maju sebagai Cawapres dalam Pemilu 2024 nanti.

Jika ini terjadi, ingatlah bahwa rotasi kekuasaan membantu melindungi demokrasi kita. Sejarah kelamnya masa pemerintahan Sukarno dan Soeharto ketika mereka lama berada dalam kekuasaan harusnya cukup membuat kita sadar akan bahayanya seseorang berada dalam kekuasaan dalam jangka waktu yang sangat lama. Jangan sampai, demokrasi yang sudah susah payah kita bangun selama masa reformasi ini kita hancurkan begitu saja.

Oleh karena itu, Jokowi harus didorong mundur pada Pemilu 2024 nanti. Dia tidak boleh ikut dalam kompetisi pemilu. Biarkan nama-nama seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Airlangga Hartanto, Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, atau anak-anak bangsa lain yang meneruskan estafet kepemimpinannya. Setidaknya, itulah pilihan terbaik untuk kita saat ini.

Rino Irlandi alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT