Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya inflasi di kemudian hari. Untuk menangani hal tersebut, pemerintah mengeluarkan keputusan untuk menyalurkan dana BLT dan BSU kepada masyarakat yang terdampak. Lantas apakah penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang kian digencarkan ini mampu mempertahankan daya beli masyarakat?
Per 3 September 2022, pemerintah resmi menaikkan harga BBM jenis pertalite, solar subsidi dan pertamax non-subsidi sebagai bentuk penyesuaian. Dengan begitu didapati rincian kisaran harga BBM terbaru, yakni Rp 10.000/liter untuk pertalite, Rp 6.800/liter untuk solar subsidi, dan Rp 14.500/liter untuk pertamax non-subsidi. Kenaikan harga BBM ini dipastikan akan mendorong terjadinya inflasi selama dua bulan ke depan (hingga Oktober) dan dimungkinkan akan kembali normal pada November.
Alasan utama yang kemudian mendasari tercetusnya keputusan ini adalah karena adanya penyalahgunaan BBM subsidi di lingkungan masyarakat dalam dua hal, yakni penyalahgunaan di ranah pidana (selama 4 bulan terakhir) dan penyaluran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran (golongan masyarakat mampu kerap menggunakan BBM subsidi karena harganya yang relatif murah). Akibatnya, masyarakat golongan kelas menengah ke bawah yang seharusnya menjadi target utama dalam penyediaan BBM subsidi justru sama sekali tidak mendapatkan haknya secara penuh dikarenakan maraknya oknum-oknum yang merugikan di luar sana.
Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya membawa Indonesia pada pembengkakan nilai subsidi energi sebesar Rp 502 triliun, di mana nominalnya masih terus dapat bertambah disesuaikan dengan harga ICP (minyak mentah) yang berlaku. Untuk mengatasi pembengkakan APBN yang terus berlanjut, maka pemerintah pusat mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM sebagai pembatasan daya beli untuk menghemat anggaran subsidi yang tersisa.
Per 3 September 2022, pemerintah resmi menaikkan harga BBM jenis pertalite, solar subsidi dan pertamax non-subsidi sebagai bentuk penyesuaian. Dengan begitu didapati rincian kisaran harga BBM terbaru, yakni Rp 10.000/liter untuk pertalite, Rp 6.800/liter untuk solar subsidi, dan Rp 14.500/liter untuk pertamax non-subsidi. Kenaikan harga BBM ini dipastikan akan mendorong terjadinya inflasi selama dua bulan ke depan (hingga Oktober) dan dimungkinkan akan kembali normal pada November.
Alasan utama yang kemudian mendasari tercetusnya keputusan ini adalah karena adanya penyalahgunaan BBM subsidi di lingkungan masyarakat dalam dua hal, yakni penyalahgunaan di ranah pidana (selama 4 bulan terakhir) dan penyaluran BBM subsidi yang tidak tepat sasaran (golongan masyarakat mampu kerap menggunakan BBM subsidi karena harganya yang relatif murah). Akibatnya, masyarakat golongan kelas menengah ke bawah yang seharusnya menjadi target utama dalam penyediaan BBM subsidi justru sama sekali tidak mendapatkan haknya secara penuh dikarenakan maraknya oknum-oknum yang merugikan di luar sana.
Kondisi seperti inilah yang pada akhirnya membawa Indonesia pada pembengkakan nilai subsidi energi sebesar Rp 502 triliun, di mana nominalnya masih terus dapat bertambah disesuaikan dengan harga ICP (minyak mentah) yang berlaku. Untuk mengatasi pembengkakan APBN yang terus berlanjut, maka pemerintah pusat mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM sebagai pembatasan daya beli untuk menghemat anggaran subsidi yang tersisa.
Berbicara mengenai kenaikan harga BBM tentu umumnya akan berdampak pula bagi kenaikan harga bahan pokok di pasaran, mengingat biaya logistik yang dipatok akan lebih besar dan dapat mempengaruhi biaya transportasi yang digunakan. Dengan demikian, maka tak heran jika daya beli masyarakat kian menurun dan stok bahan semakin menipis. Selain itu posisi buruh juga akan menjadi terancam bila biaya produksi terus meningkat.
Untuk menanggapi situasi tersebut, maka pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan program BLT dan BSU, di mana program ini akan menyalurkan dana subsidi kepada masyarakat terdampak guna mempertahankan daya belinya dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari di tengah adanya kenaikan harga BBM. Anggaran BLT BBM sendiri diperoleh dari anggaran subsidi BBM yang dialihkan yakni sebesar Rp 12,4 triliun, di mana total anggaran tersebut akan disalurkan kepada 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan nominal sebesar Rp 150 ribu per bulan selama empat bulan dengan penyaluran dua kali pada September dan Desember.
Dengan demikian, setiap penerima BLT BBM 2022 akan mendapatkan Rp 300 ribu per penyaluran. Penyaluran BLT BBM senilai Rp 300 ribu untuk warga miskin di Indonesia masih tersisa 60% lagi dari target Keluarga Penerima Manfaat (KPM), dengan begitu masih ada sekitar 12 juta KPM yang belum menerima BLT BBM dan diberikan pada September. Sementara itu BSU (Bantuan Subsidi Upah) senilai Rp 600 ribu akan diberikan kepada para pekerja atau buruh yang memiliki range gaji di bawah Rp 3,5 juta atau besaran gaji yang diterimanya masih senilai dengan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
BSU ini berlaku secara nasional dan diprioritaskan bagi para pekerja atau buruh yang belum menerima program bantuan sosial apapun, seperti Kartu Pekerja, Program Keluarga Harapan (PKH), serta Bantuan Presiden (Banpres) Produktif Usaha Mikro. Selain itu, BSU ini juga dikecualikan bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun anggota TNI dan POLRI. Pemberian BSU sendiri telah disalurkan sejak awal September, di mana pada tahap pertama terdapat 4.112.052 orang yang lolos seleksi ke dalam persyaratan dan berhak untuk mendapatkan dana subsidi tersebut, sementara untuk tahap kedua akan segera dilaksanakan dengan jumlah data awal dari BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 2.406.915 yang akan melewati beberapa tahapan seleksi selanjutnya.
Beberapa Kelemahan
Tujuan awal dari adanya program penyaluran BLT dan BSU tak lain adalah sebagai bantalan atas terjadinya kenaikan harga BBM di masyarakat. Namun pada realitasnya, kebijakan ini justru terlihat belum dapat dikatakan efektif dan belum mampu dalam menopang terjadinya kenaikan harga BBM, mengingat masih terdapatnya beberapa kelemahan di dalam pelaksanaannya.
BLT dikatakan tidak efektif karena dalam pelaksanaannya besaran nominal yang diberikan tidak sepadan dengan jumlah harga kenaikan BBM (dalam artian tidak mampu untuk menutupi dampak negatif dari kenaikan harga yang terjadi). BLT hanya diberikan dalam waktu yang singkat (sekitar 4 bulan), tidak mampu menjamin untuk menutupi kenaikan harga BBM selama bertahun-tahun ke depan. BLT juga dapat dikatakan tidak efektif karena memiliki tata cara pendaftaran yang sulit dan seringkali penyalurannya tidak tepat sasaran (berkaca kepada program-program bansos sebelumnya).
Sedangkan BSU dikatakan tidak efektif karena hanya pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta yang berhak mendapatkan, sementara masih banyak pekerja yang tidak bisa ikut merasakan kompensasi tersebut (banyak dari "mereka" yang memiliki range gaji di atas Rp 3,5 juta bekerja di daerah perindustrian dan memiliki taraf hidup yang jauh lebih tinggi, tetapi tidak ikut merasakan keuntungan tersebut). Dan, BSU dikatakan tidak efektif karena hanya mencakup para pekerja formal saja.
Dengan pemaparan-pemaparan tersebut, sangat disayangkan bila pemerintah menggunakan program BLT dan BSU sebagai bagian dari solusi yang tepat dalam menyelesaikan persoalan kenaikan BBM ini. Penyaluran BLT dan BSU yang dilakukan justru akan berdampak bagi terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat. Lebih baik pemerintah memilih jalur lain dalam menjawab kasus persoalan ini, seperti misalnya melakukan pengawasan kontrol yang ketat saja terhadap penggunaan BBM subsidi dengan harga jual yang dibanderol secara normal seperti sebelumnya.
Pemerintah juga dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang siapa yang sebenarnya berhak untuk mendapatkan BBM subsidi, memaparkan beberapa syarat dan ketentuan bagi para penerima, disertai dengan adanya payung hukum bagi siapapun yang melanggar (mengingat masih banyaknya golongan masyarakat mampu yang menggunakan kesempatan dalam hal ini).
Simak Video 'Mensos Risma: BLT Diturunkan Saat Kondisi Tak Stabil':
(mmu/mmu)