Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa itu mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. Setelah pemerintah resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada 3 September kemarin, kini pemerintah dan DPR sepakat untuk menaikkan daya listrik bersubsidi yaitu 450 volt ampere (VA) menjadi 900 VA dan 900 VA menjadi 1.200 VA. Alasan pemerintah menaikkan daya listrik karena PLN sebagai pemasok tunggal listrik nasional terus mengalami oversupply (kelebihan pasokan).
Ketua Badan Anggaran DPR menjelaskan bahwa tahun ini PLN mengalami surplus listrik sebesar 6 gigawatt dan diprediksi terus meningkat hingga mencapai 41 gigawatt pada 2030. Sehingga logika yang digunakan pemerintah untuk menyerap oversupply listrik PLN dengan cara menaikkan daya listrik. Sederhananya, ketika daya listrik masyarakat dinaikkan, maka demand listrik masyarakat juga akan meningkat.
Meskipun pemerintah memastikan tidak ada tambahan biaya untuk menaikkan daya listrik, namun kenaikan daya listrik bersubsidi berpotensi semakin membebani masyarakat yang notabene miskin karena secara tidak langsung akan mendorong konsumsi listrik yang lebih besar walaupun tarif dasar listrik bersubsidi tidak ada penyesuaian atau tetap.
Mekanisme "Take or Pay"
Indonesia merupakan salah satu negara produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan, selama kurun waktu lima tahun terakhir produksi batu bara terus mengalami tren kenaikan. Hanya pada 2020 produksi batu bara menurun yaitu sebesar 563 juta ton dari 2019 yang produksinya mencapai 616 juta ton. Kemudian pada 2021 produksi batu bara kembali melonjak naik sebesar 613 juta ton. Hal ini dikarenakan Indonesia dan mayoritas negara di dunia masih sangat bergantung dengan energi berbasis fosil ini untuk pembangkit listrik (power plant) dan kebutuhan industri.
Merujuk data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan 2020, total kapasitas pembangkit nasional pada 2020 sebesar 72.750 megawatt yang mayoritas didominasi oleh pembangkit energi fosil dengan persentase yaitu PLTU (batu bara) sebesar 44,45%, PLTGU (gas uap) sebesar 16,82%, dan sisanya pembangkit energi lain yang terdiri dari energi fosil dan energi terbarukan (EBT). Selain itu, daya mampu pembangkit nasional 2020 sebesar 66.703 megawatt juga masih didominasi oleh PLTU sebesar 45,98% dan PLTGU sebesar 16,71%.
Tampaknya Indonesia sulit untuk melepas diri dari ketergantungan penggunaan batu bara sebagai energi andalan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Dewan Energi Nasional (2019) menghitung produksi listrik pada 2050 berdasarkan tiga skenario perkiraan energi yang digunakan yaitu Business as Usual (BaU), Rendah Karbon (RK), dan Pembangunan Berkelanjutan (PB). Hasilnya cukup mengagetkan, ternyata produksi listrik pembangkit berbahan batu bara masih tetap mendominasi pada masa mendatang meskipun porsinya terhadap total produksi listrik semakin menurun yaitu dari 57% pada 2018 menjadi 41% (BaU), 39% (PB), dan 32% (RK) pada 2050.
Hal itu terjadi karena pada masa mendatang penggunaan pembangkit EBT akan terus mengalami peningkatan. Kendati demikian dalam Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) terdapat produk hilirisasi batu bara yang tergolong sebagai energi baru, seperti gas metana baru bara, batu bara tercairkan, dan batu bara tergaskan.
Namun oversupply listrik yang terjadi di PLN sekarang bukan karena faktor banyaknya PLTU dan besarnya jumlah produksi batu bara dalam negeri. Melainkan terdapat regulasi yang mengatur mekanisme take or pay (beli atau bayar denda). Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Pasal 6 ayat (2) poin (b) menyebutkan bahwa PT PLN (Persero) selaku pembeli wajib menyerap dan membeli tenaga listrik yang dihasilkan Badan Usaha sesuai dengan PJBL (Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik) yang telah disepakati selama periode tertentu.
Adapun jangka waktu PJBL paling lama yaitu tiga puluh tahun terhitung sejak terlaksananya Commercial Operation Date. Dengan kata lain meskipun pasokan tenaga listrik PLN sudah tercukupi, PLN tetap wajib menyerap dan membeli tenaga listrik milik perusahaan swasta atau Independence Power Producer (IPP) terlepas tenaga listrik tersebut terpakai atau tidak. Hal ini dinilai menjadi salah satu faktor penyebab monopolis seperti PLN seharusnya meraup untung besar, tetapi justru sebaliknya.
Dengan demikian pemerintah dan DPR perlu meninjau ulang hulu dari penyebab terjadinya oversupply tenaga listrik PLN dan tidak serta merta harus dibebankan ke masyarakat melalui kenaikan daya listrik. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan regulasi agar ke depan PLN dapat mengelola kebutuhan pasokan tenaga listrik secara efisien, khususnya mengurangi ketergantungan tenaga listrik yang bersumber dari energi fosil di tengah komitmen Indonesia untuk mengejar target penurunan emisi Gas Rumah Kaca.
Kompor Listrik Buat Siapa?
Selain untuk menyerap oversupply tenaga listrik PLN, pemerintah juga mewacanakan bahwa kenaikan daya listrik merupakan prasyarat untuk migrasi energi memasak dari kompor gas ke kompor listrik. Sebab penggunaan kompor listrik membutuhkan daya yang relatif tinggi, sekiranya membutuhkan daya di atas 2.200 VA.
Mengacu laporan Global Subsidies Initiative (GSI) 2021, kebijakan peralihan dari LPG ke kompor induksi listrik untuk kelas bawah sangat tidak efektif, karena mayoritas rumah tangga kelas bawah di Indonesia menggunakan daya listrik 1.300 VA atau di bawahnya. Sehingga hal ini membutuhkan biaya untuk penambahan daya jika ingin menggunakan kompor listrik. Selain itu, terdapat biaya-biaya lain seperti kompor induksi, peralatan memasak feromagnetik, sertifikat kelayakan operasional, dan kabel watt tinggi.
GSI juga mensimulasikan rumah tangga dengan daya 1.300 VA atau di atasnya dapat menghemat Rp 46.204 per bulan ketika menggunakan LPG bersubsidi dibandingkan jika memasak menggunakan kompor listrik. Adapun biaya-biaya tambahan yang ditimbulkan dari penggunaan kompor listrik dapat menjadi beban yang besar karena pendapatan bulanan kelas menengah bawah berada di bawah Rp 7,5 juta dan kelas menengah di bawah Rp 25 juta per keluarga. Dengan demikian, kebijakan penggunaan kompor listrik ini efektif diterapkan untuk kelompok berpenghasilan tinggi.
Pemerintah seakan tergesa-gesa dan cenderung memaksakan untuk segera merealisasikan megaproyek kompor listrik dengan dalih menghemat APBN, karena klaim pemerintah harga keekonomian listrik lebih murah dibanding harga keekonomian LPG. Pasalnya problem membengkaknya subsidi LPG yang diperkirakan akan semakin meningkat hingga mencapai 10 miliar kg atau senilai Rp 89 triliun pada 2023 (GSI, 2021) karena permintaan terhadap konsumsi LPG bersubsidi terus mengalami peningkatan. Setidaknya hal ini disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama, terjadi kesenjangan harga antara LPG bersubsidi dan non-subsidi, sehingga hal ini mendorong lebih banyak konsumen untuk membeli LPG bersubsidi (tabung 3 kg). Kedua, LPG bersubsidi dijual bebas dan penjualnya tidak dibatasi. Akibatnya mayoritas rumah tangga yang tergolong berpendapatan tinggi dapat membeli LPG secara terus menerus. Ketiga, rata-rata rumah tangga berpenghasilan tinggi lebih banyak dalam mengkonsumsi LPG bersubsidi.
Sementara penyebab terus meningkatnya subsidi energi dapat dianalisis dari sisi pasokan, sisi permintaan, dan distribusi. Dari sisi permintaan, penyebab naiknya subsidi energi disebabkan oleh semakin meningkatnya permintaan terhadap konsumsi LPG untuk memasak sebagai substitusi dari bahan bakar minyak tanah. Menurut data Susenas, pada 2015 LPG telah menjadi bahan bakar memasak utama bagi 69% rumah tangga.
Meskipun dalam Undang-Undang Energi 2007 mengatakan bahwa subsidi energi hanya untuk kelompok miskin dan rentan, namun pada kenyataannya LPG subsidi lebih dominan dinikmati oleh kelompok berpenghasilan tinggi. Hasil penelitian Kusumawardhani et, al (2017) mengungkapkan bahwa hanya sekitar 39% pengkonsumsi LPG bersubsidi yang tergolong ke dalam 40% rumah tangga berpenghasilan rendah.
Sisi pasokan, penyebab naiknya subsidi energi disebabkan oleh produksi LPG yang masih ketergantungan dari impor. Data ESDM menunjukkan pada 2019 sekitar 75% atau hampir 6 juta ton bersumber dari impor, sedangkan produksi domestik hanya 2 juta ton. Sehingga hal ini menyebabkan neraca perdagangan mengalami defisit serta berisiko membebani APBN dikarenakan adanya ketidakpastian harga minyak dunia.
Selanjutnya, faktor distribusi juga berpotensi menyebabkan kenaikan subsidi energi karena untuk mengakses ke daerah-daerah yang sulit seperti daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) membutuhkan biaya yang lebih besar.
Problem tidak tepat sasaran penerima manfaat subsidi selalu menjadi alasan klasik pemerintah di setiap perubahan kebijakan, seperti yang terbaru kenaikan harga BBM bersubsidi. Hal ini akan terus terulang jika pemerintah abai terhadap problem mendasarnya. Sebelum bermigrasi ke kompor listrik, sebaiknya pemerintah perlu mereformasi subsidi energi LPG dengan membatasi jumlah permintaan LPG yang hanya diperuntukkan bagi kelompok yang berhak berdasarkan pengumpulan data yang akurat melalui instrumen kebijakan dengan pengawasan yang ketat.
Muchamad Nadzirummubin mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Ketua Badan Anggaran DPR menjelaskan bahwa tahun ini PLN mengalami surplus listrik sebesar 6 gigawatt dan diprediksi terus meningkat hingga mencapai 41 gigawatt pada 2030. Sehingga logika yang digunakan pemerintah untuk menyerap oversupply listrik PLN dengan cara menaikkan daya listrik. Sederhananya, ketika daya listrik masyarakat dinaikkan, maka demand listrik masyarakat juga akan meningkat.
Meskipun pemerintah memastikan tidak ada tambahan biaya untuk menaikkan daya listrik, namun kenaikan daya listrik bersubsidi berpotensi semakin membebani masyarakat yang notabene miskin karena secara tidak langsung akan mendorong konsumsi listrik yang lebih besar walaupun tarif dasar listrik bersubsidi tidak ada penyesuaian atau tetap.
Mekanisme "Take or Pay"
Indonesia merupakan salah satu negara produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan, selama kurun waktu lima tahun terakhir produksi batu bara terus mengalami tren kenaikan. Hanya pada 2020 produksi batu bara menurun yaitu sebesar 563 juta ton dari 2019 yang produksinya mencapai 616 juta ton. Kemudian pada 2021 produksi batu bara kembali melonjak naik sebesar 613 juta ton. Hal ini dikarenakan Indonesia dan mayoritas negara di dunia masih sangat bergantung dengan energi berbasis fosil ini untuk pembangkit listrik (power plant) dan kebutuhan industri.
Merujuk data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan 2020, total kapasitas pembangkit nasional pada 2020 sebesar 72.750 megawatt yang mayoritas didominasi oleh pembangkit energi fosil dengan persentase yaitu PLTU (batu bara) sebesar 44,45%, PLTGU (gas uap) sebesar 16,82%, dan sisanya pembangkit energi lain yang terdiri dari energi fosil dan energi terbarukan (EBT). Selain itu, daya mampu pembangkit nasional 2020 sebesar 66.703 megawatt juga masih didominasi oleh PLTU sebesar 45,98% dan PLTGU sebesar 16,71%.
Tampaknya Indonesia sulit untuk melepas diri dari ketergantungan penggunaan batu bara sebagai energi andalan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Dewan Energi Nasional (2019) menghitung produksi listrik pada 2050 berdasarkan tiga skenario perkiraan energi yang digunakan yaitu Business as Usual (BaU), Rendah Karbon (RK), dan Pembangunan Berkelanjutan (PB). Hasilnya cukup mengagetkan, ternyata produksi listrik pembangkit berbahan batu bara masih tetap mendominasi pada masa mendatang meskipun porsinya terhadap total produksi listrik semakin menurun yaitu dari 57% pada 2018 menjadi 41% (BaU), 39% (PB), dan 32% (RK) pada 2050.
Hal itu terjadi karena pada masa mendatang penggunaan pembangkit EBT akan terus mengalami peningkatan. Kendati demikian dalam Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) terdapat produk hilirisasi batu bara yang tergolong sebagai energi baru, seperti gas metana baru bara, batu bara tercairkan, dan batu bara tergaskan.
Namun oversupply listrik yang terjadi di PLN sekarang bukan karena faktor banyaknya PLTU dan besarnya jumlah produksi batu bara dalam negeri. Melainkan terdapat regulasi yang mengatur mekanisme take or pay (beli atau bayar denda). Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Pasal 6 ayat (2) poin (b) menyebutkan bahwa PT PLN (Persero) selaku pembeli wajib menyerap dan membeli tenaga listrik yang dihasilkan Badan Usaha sesuai dengan PJBL (Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik) yang telah disepakati selama periode tertentu.
Adapun jangka waktu PJBL paling lama yaitu tiga puluh tahun terhitung sejak terlaksananya Commercial Operation Date. Dengan kata lain meskipun pasokan tenaga listrik PLN sudah tercukupi, PLN tetap wajib menyerap dan membeli tenaga listrik milik perusahaan swasta atau Independence Power Producer (IPP) terlepas tenaga listrik tersebut terpakai atau tidak. Hal ini dinilai menjadi salah satu faktor penyebab monopolis seperti PLN seharusnya meraup untung besar, tetapi justru sebaliknya.
Dengan demikian pemerintah dan DPR perlu meninjau ulang hulu dari penyebab terjadinya oversupply tenaga listrik PLN dan tidak serta merta harus dibebankan ke masyarakat melalui kenaikan daya listrik. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan regulasi agar ke depan PLN dapat mengelola kebutuhan pasokan tenaga listrik secara efisien, khususnya mengurangi ketergantungan tenaga listrik yang bersumber dari energi fosil di tengah komitmen Indonesia untuk mengejar target penurunan emisi Gas Rumah Kaca.
Kompor Listrik Buat Siapa?
Selain untuk menyerap oversupply tenaga listrik PLN, pemerintah juga mewacanakan bahwa kenaikan daya listrik merupakan prasyarat untuk migrasi energi memasak dari kompor gas ke kompor listrik. Sebab penggunaan kompor listrik membutuhkan daya yang relatif tinggi, sekiranya membutuhkan daya di atas 2.200 VA.
Mengacu laporan Global Subsidies Initiative (GSI) 2021, kebijakan peralihan dari LPG ke kompor induksi listrik untuk kelas bawah sangat tidak efektif, karena mayoritas rumah tangga kelas bawah di Indonesia menggunakan daya listrik 1.300 VA atau di bawahnya. Sehingga hal ini membutuhkan biaya untuk penambahan daya jika ingin menggunakan kompor listrik. Selain itu, terdapat biaya-biaya lain seperti kompor induksi, peralatan memasak feromagnetik, sertifikat kelayakan operasional, dan kabel watt tinggi.
GSI juga mensimulasikan rumah tangga dengan daya 1.300 VA atau di atasnya dapat menghemat Rp 46.204 per bulan ketika menggunakan LPG bersubsidi dibandingkan jika memasak menggunakan kompor listrik. Adapun biaya-biaya tambahan yang ditimbulkan dari penggunaan kompor listrik dapat menjadi beban yang besar karena pendapatan bulanan kelas menengah bawah berada di bawah Rp 7,5 juta dan kelas menengah di bawah Rp 25 juta per keluarga. Dengan demikian, kebijakan penggunaan kompor listrik ini efektif diterapkan untuk kelompok berpenghasilan tinggi.
Pemerintah seakan tergesa-gesa dan cenderung memaksakan untuk segera merealisasikan megaproyek kompor listrik dengan dalih menghemat APBN, karena klaim pemerintah harga keekonomian listrik lebih murah dibanding harga keekonomian LPG. Pasalnya problem membengkaknya subsidi LPG yang diperkirakan akan semakin meningkat hingga mencapai 10 miliar kg atau senilai Rp 89 triliun pada 2023 (GSI, 2021) karena permintaan terhadap konsumsi LPG bersubsidi terus mengalami peningkatan. Setidaknya hal ini disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama, terjadi kesenjangan harga antara LPG bersubsidi dan non-subsidi, sehingga hal ini mendorong lebih banyak konsumen untuk membeli LPG bersubsidi (tabung 3 kg). Kedua, LPG bersubsidi dijual bebas dan penjualnya tidak dibatasi. Akibatnya mayoritas rumah tangga yang tergolong berpendapatan tinggi dapat membeli LPG secara terus menerus. Ketiga, rata-rata rumah tangga berpenghasilan tinggi lebih banyak dalam mengkonsumsi LPG bersubsidi.
Sementara penyebab terus meningkatnya subsidi energi dapat dianalisis dari sisi pasokan, sisi permintaan, dan distribusi. Dari sisi permintaan, penyebab naiknya subsidi energi disebabkan oleh semakin meningkatnya permintaan terhadap konsumsi LPG untuk memasak sebagai substitusi dari bahan bakar minyak tanah. Menurut data Susenas, pada 2015 LPG telah menjadi bahan bakar memasak utama bagi 69% rumah tangga.
Meskipun dalam Undang-Undang Energi 2007 mengatakan bahwa subsidi energi hanya untuk kelompok miskin dan rentan, namun pada kenyataannya LPG subsidi lebih dominan dinikmati oleh kelompok berpenghasilan tinggi. Hasil penelitian Kusumawardhani et, al (2017) mengungkapkan bahwa hanya sekitar 39% pengkonsumsi LPG bersubsidi yang tergolong ke dalam 40% rumah tangga berpenghasilan rendah.
Sisi pasokan, penyebab naiknya subsidi energi disebabkan oleh produksi LPG yang masih ketergantungan dari impor. Data ESDM menunjukkan pada 2019 sekitar 75% atau hampir 6 juta ton bersumber dari impor, sedangkan produksi domestik hanya 2 juta ton. Sehingga hal ini menyebabkan neraca perdagangan mengalami defisit serta berisiko membebani APBN dikarenakan adanya ketidakpastian harga minyak dunia.
Selanjutnya, faktor distribusi juga berpotensi menyebabkan kenaikan subsidi energi karena untuk mengakses ke daerah-daerah yang sulit seperti daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) membutuhkan biaya yang lebih besar.
Problem tidak tepat sasaran penerima manfaat subsidi selalu menjadi alasan klasik pemerintah di setiap perubahan kebijakan, seperti yang terbaru kenaikan harga BBM bersubsidi. Hal ini akan terus terulang jika pemerintah abai terhadap problem mendasarnya. Sebelum bermigrasi ke kompor listrik, sebaiknya pemerintah perlu mereformasi subsidi energi LPG dengan membatasi jumlah permintaan LPG yang hanya diperuntukkan bagi kelompok yang berhak berdasarkan pengumpulan data yang akurat melalui instrumen kebijakan dengan pengawasan yang ketat.
Muchamad Nadzirummubin mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
(mmu/mmu)