Merayakan Delusi Otoritas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merayakan Delusi Otoritas

Senin, 26 Sep 2022 13:23 WIB
Ilyas Syatori
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ilustrasi kolom DPD
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -
Banyak di antara kita yang mengaku lebih terpelajar merasa risih ketika melihat ekspresi orang lain terutama yang berhubungan dengan dimensi 'rasa' sebagai suatu yang tak rasional. Sebut saja ketika kita melihat orang yang beragama terlampau rigid, padahal untuk dirinya sendiri dan tanpa menghakimi ekspresi lainnya. Kita labeli mereka dengan delusif sebab agama hanyalah asumsi dari para pembawanya yang seluruhnya tak dapat terbuktikan dengan akal.

Atau, ketika kita melihat ekspresi cinta seseorang kepada kekasihnya yang terlampau ribet dan melelahkan, padahal mereka sekalipun tak menghakimi ekspresi cinta kita yang kering. Secara membabi buta kita labeli dengan delusif sebab ia terlampau percaya dengan asumsi indah masa depan mereka berdua, padahal hidup ini sejatinya tak cukup hanya dengan asumsi kekanakan, namun harus rasional penuh perhitungan.

Labeling ini memang kejam jika kita yang menjadi objeknya, namun sama sekali tidak jika kitalah orang yang melabelinya. Bagaimana tidak? Sebagai orang yang terlihat dan merasa lebih rasional dibanding dengan objek yang dilabelinya itu kita berlindung di balik logika elitis pengetahuan. Biasanya dengan dalih objektif, bebas nilai, tugas akademis, dan sebagainya. Pendeknya, kita yang berilmu (baca: pernah bersekolah) merasa lebih absah untuk menilai patut tidaknya ekspresi seseorang dibanding orang itu sendiri yang menjalaninya.
Pada dasarnya logika elitis suatu ilmu pengetahuan itu sudah sepatutnya dipertanyakan keabsahannya dalam waktu ini secara kongkret sebab mengandung banyak sekali bias dan kontradiksi. Perdebatan teoritis atas ini memang santer terlebih di masa pascamodernitas ini baik dalam keilmuan filsafat atau disiplin ilmu yang spesifik.

Kita mengenal dengan munculnya tokoh berpikiran autentik seperti Gadamer, Chomsky, Derrida, Said, Freire yang garis besar pemikirannya menginginkan bahwa otoritas "labeling" sudah sepatutnya didesentralisasikan bukan di bawah kendali "cendekiawan" yang ternyata sejak dalam alam bawah sadarnya menyimpan kontradiksi yang sama sekali tak ilmiah.

Dalam diskursus filsafat kita tahu kritik keras Gadamer kepada kecenderungan Hermeneutik hanya untuk membaca teks suci atau paling banter untuk ilmu pengetahuan yang berada di bawah otoritas yang eksklusif, tapi heurmenetik juga harus membaca realitas oleh sebab teks (pengetahuan dan kitab suci) sebenarnya lahir dari pola kesepakatan masyarakat yang berdialog dan bukan sebaliknya. Menurut Gadamer, hermeneutik adalah seni menafsir segalanya yang ada dan seluruh manusia absah menafsirkan.

Kita juga bisa membaca karya pemikir ilmu sosial seperti Chomsky dan Edward Said yang "nyinyir" kepada dominasi cara pikir elitis. Chomsky mengkritik keras bahwa objektif itu tidak ada dan yang perlu dilakukan oleh intelektual adalah berpihak. Artinya, dalih objektivitas seorang intelek, menurut Chomsky, adalah tanda bahwa ia tuli problematika keumatan. Sedangkan Edward Said menunjukkan bahwa sebenarnya objektif memiliki bias yang justru menjadi legitimasi dehumanisasi dengan diferensiasi Barat-Timur, misalnya.

Delusi yang Sebenarnya

Contoh di atas sebenarnya hanya premis untuk melanjutkan pembahasan selain sebenarnya dalih objektivitas sangat instrumentalis, seperti yang dinyatakan Gadamer, dan sangat bisa dikonstruksi berdasarkan preferensi seorang intelektual. Di lain sisi ternyata juga mengaburkan letak delusi yang mengidap dalam nalar sehingga mungkin tak disadari --mungkin karena dirayakan secara kolosal. Padahal kadar delusinya melebihi objek yang dinyinyiri tadi.

Pangkalnya terletak pada dominasi hegemoni kapitalisme yang tak hanya menjangkiti seorang yang jatuh cinta atau orang yang beragama saja, tetapi juga sosok intelektual atau bahkan seluruh elemen manusia. Bagaimana tidak? Misalnya krisis iklim yang sejatinya telah tampak di depan mata semua orang, tanpa harus menjadi intelek untuk mengetahuinya, masih saja menjadi isu yang kurang menggigit. Paling banter isu ini hanya menimbulkan konflik horisontal yang sebenarnya dipicu oleh problem struktural.

Gorz menyebut bahwa kapitalisme dengan logika pertumbuhan ekonomi yang kemudian disokong oleh teknologi canggih ini menyeret pada krisis over-akumulasi yang mana seluruh impact buruk aktivitas rantai produk diserahkan pada alam dan manusia (terutama kaum miskin). Dengan ini membenarkan bahwa eksploitasi alam dan manusia demi mengejar pertumbuhan adalah hal lumrah dan harus. Masa bodoh ketika ternyata kekayaan tersebut tersentralisasi hanya kepada 1% populasi manusia saja dan banjir sudah mencapai leher.

Lebih lanjut Gorz menyatakan akibat dari pola kapitalisme untuk terus memperluas pasar dan menggenjot produksi adalah penciptaan dan pengembangan alat-alat produksi yang harus semakin efisien dan canggih untuk produksi. Namun kebalikannya dengan konsumen ketika ternyata motif pembaruan alat yang kian canggih bukan dimaksudkan untuk efisiensi, melainkan ketergantungan dan kerumitan sekaligus.

Sebagai contohnya, gawai yang kian canggih bukan berarti mempermudah mobilitas kita, tetapi juga menjadi candu untuk selalu menggantungkan aktivitas padanya. Tansportasi berbasis jalan raya telah mengganti moda transportasi berbasis rel yang yang mana selain beban cost produksi lebih besar ternyata beban emisi 7 kali lebih besar dengan ketahanan kualitas produk yang lebih pendek. Juga minimnya kesadaran memilih kendaraan massal dibanding kendaraan pribadi yang jelas lebih mengerikan.

Saat ini industri dan teknologi yang berorientasi massal relatif stagnan dibanding yang berorientasi privat. Artinya, oleh sebab logika kapitalisme tentang mesinisasi-teknologi demi efisiensi produksi ini kita bersepakat untuk lebih cepat mengakhiri kehidupan manusia. Tetap saja dengan dalih kemajuan yang harus. Atau, memang tak sesederhana ini?

Pertanyaannya, lalu di mana letak kesejahteraan yang ditawarkan oleh otoritas ini? Jawabnya tidak ada! inilah mengapa saya menyebutnya sebagai delusi yang dirayakan, ketika sumber otoritas yang dipercayai manusia secara tak adil merasionalisasikan suatu delusi yang bahkan mereka hadapi dan upayakan sendiri.

Kita bahkan berbangga dengan delusi-delusi yang ternyata menyimpan banyak sekali paradoks. Kita seharusnya bersepakat tanpa harus mengeliminasi delusi lainnya bahwa hidup di bawah delusi memang "enak", atau bersepakat bahwa dalam level tertentu delusi memanglah keparat kecuali terhadap dominasi hegemoni kapitalisme.


(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads