Interaksi ruang digital saat ini dipenuhi oleh beragam perbincangan publik mengenai aktivitas peretasan keamanan siber Indonesia oleh pemilik akun bernama Bjorka. Kejadian ini bermula dari adanya informasi yang beredar di kalangan publik (warganet) berkaitan dengan kebocoran 1,3 miliar data SIM Card pengguna ponsel. Namun, situasi ini terus berkembang dan semakin memanas ketika akun hacker bernama Bjorka ini mulai membuka data-data pribadi pejabat negara seperti data Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G. Plate, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Bahkan lebih itu, Bjorka juga berupaya mengungkap kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan menyebutkan sosok Muchdi Purwoprandjono yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Berkarya sebagai dalang pembunuhan tersebut.
Cakradata melalui engine digital media monitoringnya melakukan pantauan terhadap perkembangan kasus ini pada 4-12 September 2022 melalui kanal media sosial Twitter. Adapun temuan menarik yang didapat, jumlah percakapan publik sebanyak 230.972 percakapan dengan persentase sentimen positif sebanyak 40,05%, sentimen negatif 28,88%, dan sentimen netral sebesar 31.07%.
Sentimen positif terhadap Bjorka dilatarbelakangi oleh dua motif utama, yakni dukungan terhadap aksi peretasan Bjorka sebagai bentuk protes lemahnya keamanan siber di Indonesia serta dukungan pengungkapan data rahasia milik negara berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu terhadap Munir agar segera terungkap ke publik. Sedangkan sentimen negatif dilatarbelakangi oleh berbagai motif di antaranya kecaman publik terhadap aksi peretasan Bjorka yang melanggar hukum, serta ada pula yang merasa ketakutan atas data pribadi dirinya terancam.
Adanya polarisasi sentimen publik terhadap kasus siber Bjorka menandakan bahwa terdapat fenomena anomali yang terjadi di kalangan publik. Bayangkan saja, tindakan hacker yang dengan sangat jelas melakukan pelanggaran hukum atas dasar penyebaran data pribadi justru mendapatkan banyak dukungan publik terhadap tindakannya. Hal tersebut akhirnya memicu banyak reaksi dan opini liar publik di dalam interaktivitas digital, seperti menduga adanya pengalihan isu terhadap kasus Ferdy Sambo yang masih berjalan, hingga dugaan pengalihan isu kenaikan BBM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun terlepas dari hal tersebut, terdapat catatan penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah dalam hal ini merupakan pihak yang bertanggung jawab atas keamanan negara dari berbagai ancaman yang datang, tidak terkecuali keamanan siber. Hacker menyelami aktivitas siber tanpa batas melampaui aktivitas publik digital pada umumnya. Sedangkan, sistem informasi teknologi dibuat tidak luput dari celah kelemahan walaupun sudah difasilitasi sistem keamanan yang berlapis, sehingga sangat memungkinkan terjadi hacker dapat menembus hal tersebut.
Kedua, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap aspek komunikasi politik pejabat negara kepada publik dalam merespon krisis isu. Hal ini sangat penting diperhatikan seiring terjadinya blunder atas pernyataan pejabat pemerintah dalam merespons tindakan Bjorka. Mengutip dari berbagai sumber, Kementerian Kominfo sempat memberikan pernyataan mencengangkan terhadap kasus Bjorka yakni kalau bisa jangan menyerang serta pernyataan himbauan one time password harus selalu ganti agar data tidak diterobos.
Respons tersebut menuai banyak kecaman dari publik seiring ketidakpuasan atas pernyataan pemerintah yang seharusnya langsung mengecam Bjorka dan memberikan pernyataan menenangkan bagi publik di tengah kekhawatiran atas kebocoran data yang terjadi.
Ketiga, pemerintah harus semakin aware terhadap senses of crisis yang dirasakan oleh publik. Kondisi anomali dalam kasus Bjorka ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi pemerintah bahwa terdapat unsur trust issue dari publik kepada pemerintah. Mengutip dari analisis platform Cakradata, ekspresi kemarahan publik sangat tinggi seiring dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, terlebih soal keamanan data.
Di sisi lain, publik cenderung percaya terhadap aksi peretasan Bjorka yang murni dilakukan untuk mengungkap data rahasia pemerintah. Anomali kepercayaan warganet tersebut dikarenakan motif Bjorka diduga mengandung unsur perlawanan politik terhadap Orde Baru. Hal tersebut seirama dengan isu dugaan terungkapnya sosok di balik pembunuhan Munir yang selama ini kasusnya banyak menimbulkan tanda tanya.
Bagaimanapun pemerintah harus mengakui dengan bijak bahwa kondisi keamanan siber Indonesia masih memiliki kelemahan. Pemerintah perlu melakukan evaluasi secara komprehensif dan melakukan penyisiran terhadap lapisan keamanan data siber lainnya agar tidak memiliki celah yang memungkinkan hacker untuk melakukan peretasan.
Terakhir, saya meyakini Indonesia memiliki resource yang mumpuni khususnya orang-orang dengan kapasitas di bidang keamanan siber. Namun, dalam kasus ini tampaknya terdapat kelalaian yang terjadi sehingga menyebabkan keamanan sistem informasi data memiliki celah yang dapat ditembus oleh aktivitas hacker.
Bijaknya pemerintah saat ini berfokus pada penanggulangan terhadap kasus Bjorka melalui pengamanan sistem siber lainnya. Serta, menyempurnakan payung regulasi mengenai perlindungan data di ruang digital, baik berupa pembagian tugas antar stakeholder pemerintah maupun kebijakan perlindungan data masyarakat.
Muhammad Nurdiyansyah Head of Cakradata
(mmu/mmu)