Publik menolak namun tetap saja Presiden Jokowi secara resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Sabtu, 3 September 2022 lalu. Kenaikan harga BBM tersebut disebabkan oleh meningkatnya anggaran subsidi dan kompensasi BBM pada 2022 sebesar 3 kali lipat (dari Rp 152,5 triliun menjadi 5Rp 02,4 triliun). Sebagian dari subsidi BBM tersebut pun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu.
Pancasila dan UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum sebagai upaya untuk mencapai keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Pemberian suatu BLT kepada masyarakat kurang mampu pada prinsipnya merupakan bagian dari upaya untuk melaksanakan tujuan tersebut. Berangkat dari tujuan tersebut, dapat dipahami bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut konsep negara kesejahteraan (walfare state).
Walfare State
Menurut Merriam-Webster Dictionary, kata "walfare" diartikan sebagai "the state of being happy, healthy, or successful" atau suatu keadaan bahagia, sehat, atau sukses. Walfare State dapat dimaknai sebagai suatu institusi negara di mana dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat membuat kebijakan yang diarahkan untuk menggapai kesejahteraan sesuai standar kelayakan.
Pancasila dan UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum sebagai upaya untuk mencapai keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Pemberian suatu BLT kepada masyarakat kurang mampu pada prinsipnya merupakan bagian dari upaya untuk melaksanakan tujuan tersebut. Berangkat dari tujuan tersebut, dapat dipahami bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut konsep negara kesejahteraan (walfare state).
Walfare State
Menurut Merriam-Webster Dictionary, kata "walfare" diartikan sebagai "the state of being happy, healthy, or successful" atau suatu keadaan bahagia, sehat, atau sukses. Walfare State dapat dimaknai sebagai suatu institusi negara di mana dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat membuat kebijakan yang diarahkan untuk menggapai kesejahteraan sesuai standar kelayakan.
Zainal Arifin Mochtar dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang (2022) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya konsepsi mengenai negara hukum mengalami pergeseran yang tidak lagi sekadar dimaknai sebagai thinner concept, melainkan menjadi suatu thicker concept. Maksudnya adalah hukum tidak lagi hanya sekadar mengutamakan hal-hal yang bersifat formal, namun juga mengedepankan substantive social walfare atau rasa keadilan dan kesejahteraan di masyarakat.
Konsepsi walfare state semestinya membebaskan warga negaranya dari hal-hal yang berpotensi menurunkan kesejahteraan hidup rakyat. Namun, pasca pengalihan anggaran subsidi dan kenaikan harga BBM berbagai penolakan pun mengemuka ke publik yang dibarengi dengan narasi bahwa kebijakan tersebut tidak pro rakyat dan menyimpangi tujuan negara untuk mencapai kesejahteraan bagi warga negara.
Timbul pertanyaan, apakah pengalihan anggaran subsidi BBM menjadi BLT merupakan langkah yang tepat dalam mencapai tujuan tersebut atau sebaliknya? Secara de facto persoalan minimnya kesejahteraan yang melanda negara Indonesia masih terus menghantui. Hal itu diamini oleh Wakil Presiden Maruf Amin pada 2021 lalu yang menyatakan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia masih timpang.
Argumentasi tersebut pun dikuatkan oleh Survei yang dilakukan oleh CIGNA tentang indeks persepsi kesejahteraan Indonesia, di mana pada 2021 indeks kesejahteraan Indonesia turun menjadi 63,8 poin atau lebih rendah dari 2019 (65,4 poin) dan 2020 (66,3 poin). Minimnya tingkat kesejahteraan di Indonesia semestinya menjadi warning bagi pemerintah agar dalam mengalokasikan berbagai anggaran negara harus tepat sasaran dan efektif.
Belajar dari Persoalan Sebelumnya
Apabila mengamati tren pemberian BLT sebenarnya hal yang paling sering dan mudah dilakukan oleh pemerintah dari waktu ke waktu. Mengapa demikian, karena BLT merupakan kebijakan yang paling mudah terlihat dan langsung dirasakan oleh masyarakat. Sejatinya pemberian BLT bukan lah merupakan hal yang keliru. Namun, dalam praktiknya BLT bukanlah suatu jawaban atas krisis kesejahteraan yang dialami oleh rakyat Indonesia.
Pada 2020 lalu, Bank Dunia mengungkapkan bahwa penyaluran BLT Pemerintah Indonesia belum tepat sasaran. Misalnya saja penyaluran BLT kepada keluarga penerima manfaat acap tidak sesuai dengan kriteria. Bahkan nilai yang diterima keluarga penerima manfaat juga seringkali tidak tepat jumlah dan penyalurannya yang terlambat dilaksanakan. Belum lagi ketika melihat potensi penyalahgunaan keuangan negara terhadap bantuan-bantuan secara tunai sebagaimana yang terjadi pada kasus korupsi bansos Covid-19 yang menjerat Menteri Sosial (kala itu) Juliari Batubara.
Persoalan yang lebih fundamental terhadap program BLT adalah tidak adanya korelasi yang kuat antara program BLT dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa program penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi, jaminan, pemberdayaan, dan perlindungan sosial. Sedangkan jika diamati bersama bahwa pemberian BLT tidak termasuk dalam kategori tersebut.
RPJPN sebagai Tiang Pembangunan
Cujus est commodum, ejus debet esse inc ommodum, seseorang yang mendapatkan keuntungan juga akan mendapatkan kerugian. Demikianlah suatu adagium yang dapat menggambarkan efek domino dari pemberian BLT yang secara terus menerus. Dengan adanya BLT tersebut pemerintah sebenarnya sedang melatih masyarakat untuk bergantung pada bantuan dari pihak luar. Sedangkan proses tersebut secara nyata bukanlah merupakan hal yang mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas keberdayaan di masyarakat. Semestinya anggaran dana BLT yang diberikan kepada masyarakat dapat dialihkan terhadap hal-hal yang berkepanjangan.
Apabila menelisik di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 visi pembangunan nasional mengarah pada empat komponen, yaitu Kemandirian, Kemajuan, Keadilan, dan Kemakmuran. Visi dalam RPJPN a quo semestinya menjadi tiang bagi pemerintah dalam melaksanakan berbagai program yang berkelanjutan dan berjangka panjang. Misalnya, unsur "Kemandirian" suatu bangsa setidaknya dapat tercermin pada bagaimana ketersediaan SDM yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan bangsa.
Dalam konteks ini semestinya pemerintah dapat mengalokasikan subsidi anggaran BBM tersebut terhadap upaya meningkatkan kualitas SDM dan peningkatan lapangan kerja. Tidak hanya itu, sektor Pendidikan dan Kesehatan juga semestinya menjadi fokus utama pemerintah. Hal ini tentunya demi membentuk masyarakat yang sehat, mandiri dan dapat berdaya saing sehingga tidak bergantung terhadap anggaran BLT yang digelontorkan oleh pemerintah. Dengan begitu, tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni menciptakan kesejahteraan umum dapat terlaksana secara efektif.
Mario Agritama, S.H mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UGM, content creator @advokatkonstitusi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini