Proyeksi ekonomi China di masa depan terancam dengan kecenderungan anak muda yang tidak mau menikah. Pada Oktober 2021, situs Insider mempublikasikan survei yang dilakukan oleh sayap muda Partai Komunis China yang menunjukkan sekitar 44% wanita muda di negeri itu enggan untuk memasuki jenjang pernikahan. Sementara proporsi lebih kecil ditunjukkan responden laki-laki yang hanya 25%. Survei dilakukan terhadap 2.905 anak muda yang belum menikah dan tinggal di perkotaan dengan rentang usia 18-26 tahun.
Gejala resesi seks sudah menjadi fenomena umum di kalangan kaum muda China. Kondisi ini diperparah dengan hantaman pandemi Covid-19. Resesi ekonomi pada masa pandemi memperparah resesi seks di China. Dikutip dari The Hindu, Biro Statistik China pada 17 Januari 2022 melaporkan bahwa tingkat kelahiran di China pada 2021 hanya 7,52 per 1000 orang. Angka ini terendah sejak 1949, ketika Biro Statistik China mulai mengumpulkan data jumlah penduduk. Sementara itu, pertumbuhan penduduk alami pada 2021 hanya 0,034%, terendah sejak 1960. Tekanan ekonomi selama pandemi membuat pasangan semakin enggan untuk memiliki anak.
Untuk mengatasi resesi seks, sebenarnya pemerintah China pada Mei tahun lalu sudah membolehkan setiap keluarga untuk memiliki tiga anak. Kebijakan ini untuk mendorong pertumbuhan penduduk China. Kebijakan satu anak (one child policy) pada 1979, membuat pertumbuhan penduduk China terus menurun yang berdampak pada penurunan tingkat konsumsi dan pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 1950-an, sejumlah negara di Asia yang baru merdeka dihantui dengan jumlah populasi yang besar. Untuk mendorong program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan, pengendalian jumlah penduduk menjadi keniscayaan. Pada tahun 1950-an sebenarnya China sudah memperkenalkan program keluarga berencana (family planning). Saat itu jumlah penduduk China sudah sekitar 540 juta orang.
Pada tahun 1960-an, fertility rate di China masih cukup tinggi yaitu sekitar 6,15. Fertility rate atau tingkat kesuburan adalah jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh setiap perempuan pada masa reproduksi. Dapat disimpulkan, saat itu rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga adalah 6-7 anak.. Untuk menurunkan jumlah penduduk, pemerintah China membuat kampanye "satu terlalu sedikit, dua cukup baik, tiga terlalu banyak".
Program pengendalian penduduk dilanjutkan pada 1971 dengan lebih tegas yaitu kebijakan "dua anak". Program ini cukup berhasil menurunkan fertility rate, dari 5,4 pada awal program berjalan menjadi 2,94 pada 1978. Namun, jumlah ini dirasa masih cukup tinggi. Pasalnya, sejak 1974, jumlah penduduk China sudah mencapai sekitar 900 juta orang. Besarnya jumlah populasi yang tidak terkendali akan menambah beban ekonomi dan menurunkan tingkat kesejahteraan.
Akhirnya, kebijakan cukup ekstrem diambil pemerintah yaitu Kebijakan Satu Anak (one child policy). Kebijakan ini diterapkan bagi pegawai pemerintah, penduduk, dan pekerja di perkotaan. Kemudian diterapkan juga di pedesaan. Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah memberi insentif finansial berupa uang cuti hamil hingga tiga tahun awal dan kenaikan gaji 5-10%. Bagi pasangan yang hanya memiliki satu anak juga diberi kemudahan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Pasangan yang ingin menambah anak harus dengan sejumlah persyaratan dan mendapat izin dari pemerintah. Kebijakan satu anak ini diterapkan hanya untuk etnis Han, etnis terbesar di daratan China. Penerapan kebijakan ini tidak diberlakukan bagi etnis minoritas lantaran untuk menghindari konflik.
Bagi pasangan yang memiliki dua anak akan mendapat sanksi sosial dan ekonomi seperti denda, kesulitan dalam pembuatan akte kelahiran, dan hambatan karier jika bekerja di lembaga pemerintah. Selain itu, pelanggaran kebijakan ini membuat pasangan yang memiliki dua anak akan kesulitan mendapat bantuan pemerintah di bidang kesehatan, perumahan, serta pendidikan. Kebijakan ini cukup mendapat perhatian internasional lantaran disertai dengan sejumlah kontroversi seperti tingkat aborsi dan sterilisasi yang tinggi (Settles dan Sheng, 2008).
Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penerapan kebijakan satu anak diiringi dengan liberalisasi di bidang ekonomi. Paduan kebijakan pengendalian penduduk dengan liberalisasi ekonomi sangat jitu untuk menjadikan China raksasa ekonomi dunia. Dalam 37 tahun selama periode 1979 hingga 2015, China mencetak rekor rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun sebesar 9,69%. Dalam periode tersebut, hanya 3 tahun pertumbuhan ekonomi di bawah 7% yaitu pada tahun 1981, 1989 dan 1990. Selebihnya selalu di atas 7%. Pendapatan per kapita melonjak sekitar 4.311% dari sekitar 183,98 dollar AS menjadi 8.117,26 dollar AS.
Pendapatan per kapita tidak sebatas menunjukkan kekuatan ekonom,i namun sebagai salah satu indikator kesejahteraan penduduk suatu negara. Keberhasilan menggenjot pendapatan per kapita harus dengan pengendalian jumlah penduduk sebagai faktor pembagi pendapatan nasional. China sangat berhasil menekan jumlah penduduk. Sejak 1992 fertility rate hanya 1,9 hingga mencapai angka terendah 1,5 pada 1999. Data terakhir dari Bank Dunia, fertility rate China pada 2020 hanya sebesar 1,7. Sementara, pertumbuhan penduduk China sejak 1999 selalu di bawah 1%. Pada 2020, pertumbuhan penduduk hanya 0,3%.
Namun di sisi lain, kebijakan satu anak banyak menyisakan persoalan sosial dan ekonomi. Kini satu keluarga harus menopang empat orang tua tanpa bantuan saudara kandung. Pasangan yang sudah renta di desa juga tidak ada yang merawat lantaran satu anak mereka sebagian besar merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. China juga mulai memasuki aging population. Pada 1979, jumlah penduduk berusia 65 tahun dan lebih hanya sekitar 4,5% dari total penduduk. Pada 2020, angka ini mencapai 11,9%.
Sementara usia produktif yaitu 15-64 tahun terus menurun. Pada 2010, kelompok usia produktif 73,26% dari populasi, angka ini semakin rendah menjadi 70,32% pada 2020. Di sisi lain jumlah pengangguran meningkat. Sejak 1981 hingga 2001, angka pengangguran selalu di bawah 4%. Sejak 2002, angka pengangguran sekitar 4% hingga 2020.
Pertumbuhan ekonomi juga sudah kurang moncer lagi. Pelemahan ekonomi di China sebenarnya sudah terjadi sejak 2011-2012. Saat itu pertumbuhan ekonomi merosot dari 9,5% menjadi 7,8%. Namun, dampak lebih kuat terasa pada tahun 2016 saat pertumbuhan kian merosot ke angka 6%. Setelah itu pertumbuhan ekonomi China sulit untuk pulih lagi.
Pertumbuhan ekonomi yang terus menurun ditambah tingkat pengangguran yang semakin meningkat membuat konsumsi domestik loyo. Kondisi ini mendesak China untuk merubah strategi ekonomi. Sebelumnya, China sangat ambisius untuk menggenjot ekspor untuk menguasai pasar internasional kini lebih memperkuat konsumsi domestik.
Peningkatan jumlah populasi diharapkan bisa memperkuat konsumsi domestik dan menggenjot pertumbuhan ekonomi China. Kebijakan meningkatkan jumlah anak untuk mengatasi resesi seks memang tidak instan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Selain itu, dibutuhkan dukungan kebijakan dari sektor lain untuk menata pola demografi agar kondusif bagi perkembangan ekonomi dalam jangka panjang.
Beta Perkasa dosen FEB UHAMKA Jakarta
(mmu/mmu)
Gejala resesi seks sudah menjadi fenomena umum di kalangan kaum muda China. Kondisi ini diperparah dengan hantaman pandemi Covid-19. Resesi ekonomi pada masa pandemi memperparah resesi seks di China. Dikutip dari The Hindu, Biro Statistik China pada 17 Januari 2022 melaporkan bahwa tingkat kelahiran di China pada 2021 hanya 7,52 per 1000 orang. Angka ini terendah sejak 1949, ketika Biro Statistik China mulai mengumpulkan data jumlah penduduk. Sementara itu, pertumbuhan penduduk alami pada 2021 hanya 0,034%, terendah sejak 1960. Tekanan ekonomi selama pandemi membuat pasangan semakin enggan untuk memiliki anak.
Untuk mengatasi resesi seks, sebenarnya pemerintah China pada Mei tahun lalu sudah membolehkan setiap keluarga untuk memiliki tiga anak. Kebijakan ini untuk mendorong pertumbuhan penduduk China. Kebijakan satu anak (one child policy) pada 1979, membuat pertumbuhan penduduk China terus menurun yang berdampak pada penurunan tingkat konsumsi dan pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 1950-an, sejumlah negara di Asia yang baru merdeka dihantui dengan jumlah populasi yang besar. Untuk mendorong program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan, pengendalian jumlah penduduk menjadi keniscayaan. Pada tahun 1950-an sebenarnya China sudah memperkenalkan program keluarga berencana (family planning). Saat itu jumlah penduduk China sudah sekitar 540 juta orang.
Pada tahun 1960-an, fertility rate di China masih cukup tinggi yaitu sekitar 6,15. Fertility rate atau tingkat kesuburan adalah jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh setiap perempuan pada masa reproduksi. Dapat disimpulkan, saat itu rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga adalah 6-7 anak.. Untuk menurunkan jumlah penduduk, pemerintah China membuat kampanye "satu terlalu sedikit, dua cukup baik, tiga terlalu banyak".
Program pengendalian penduduk dilanjutkan pada 1971 dengan lebih tegas yaitu kebijakan "dua anak". Program ini cukup berhasil menurunkan fertility rate, dari 5,4 pada awal program berjalan menjadi 2,94 pada 1978. Namun, jumlah ini dirasa masih cukup tinggi. Pasalnya, sejak 1974, jumlah penduduk China sudah mencapai sekitar 900 juta orang. Besarnya jumlah populasi yang tidak terkendali akan menambah beban ekonomi dan menurunkan tingkat kesejahteraan.
Akhirnya, kebijakan cukup ekstrem diambil pemerintah yaitu Kebijakan Satu Anak (one child policy). Kebijakan ini diterapkan bagi pegawai pemerintah, penduduk, dan pekerja di perkotaan. Kemudian diterapkan juga di pedesaan. Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah memberi insentif finansial berupa uang cuti hamil hingga tiga tahun awal dan kenaikan gaji 5-10%. Bagi pasangan yang hanya memiliki satu anak juga diberi kemudahan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Pasangan yang ingin menambah anak harus dengan sejumlah persyaratan dan mendapat izin dari pemerintah. Kebijakan satu anak ini diterapkan hanya untuk etnis Han, etnis terbesar di daratan China. Penerapan kebijakan ini tidak diberlakukan bagi etnis minoritas lantaran untuk menghindari konflik.
Bagi pasangan yang memiliki dua anak akan mendapat sanksi sosial dan ekonomi seperti denda, kesulitan dalam pembuatan akte kelahiran, dan hambatan karier jika bekerja di lembaga pemerintah. Selain itu, pelanggaran kebijakan ini membuat pasangan yang memiliki dua anak akan kesulitan mendapat bantuan pemerintah di bidang kesehatan, perumahan, serta pendidikan. Kebijakan ini cukup mendapat perhatian internasional lantaran disertai dengan sejumlah kontroversi seperti tingkat aborsi dan sterilisasi yang tinggi (Settles dan Sheng, 2008).
Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, penerapan kebijakan satu anak diiringi dengan liberalisasi di bidang ekonomi. Paduan kebijakan pengendalian penduduk dengan liberalisasi ekonomi sangat jitu untuk menjadikan China raksasa ekonomi dunia. Dalam 37 tahun selama periode 1979 hingga 2015, China mencetak rekor rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun sebesar 9,69%. Dalam periode tersebut, hanya 3 tahun pertumbuhan ekonomi di bawah 7% yaitu pada tahun 1981, 1989 dan 1990. Selebihnya selalu di atas 7%. Pendapatan per kapita melonjak sekitar 4.311% dari sekitar 183,98 dollar AS menjadi 8.117,26 dollar AS.
Pendapatan per kapita tidak sebatas menunjukkan kekuatan ekonom,i namun sebagai salah satu indikator kesejahteraan penduduk suatu negara. Keberhasilan menggenjot pendapatan per kapita harus dengan pengendalian jumlah penduduk sebagai faktor pembagi pendapatan nasional. China sangat berhasil menekan jumlah penduduk. Sejak 1992 fertility rate hanya 1,9 hingga mencapai angka terendah 1,5 pada 1999. Data terakhir dari Bank Dunia, fertility rate China pada 2020 hanya sebesar 1,7. Sementara, pertumbuhan penduduk China sejak 1999 selalu di bawah 1%. Pada 2020, pertumbuhan penduduk hanya 0,3%.
Namun di sisi lain, kebijakan satu anak banyak menyisakan persoalan sosial dan ekonomi. Kini satu keluarga harus menopang empat orang tua tanpa bantuan saudara kandung. Pasangan yang sudah renta di desa juga tidak ada yang merawat lantaran satu anak mereka sebagian besar merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. China juga mulai memasuki aging population. Pada 1979, jumlah penduduk berusia 65 tahun dan lebih hanya sekitar 4,5% dari total penduduk. Pada 2020, angka ini mencapai 11,9%.
Sementara usia produktif yaitu 15-64 tahun terus menurun. Pada 2010, kelompok usia produktif 73,26% dari populasi, angka ini semakin rendah menjadi 70,32% pada 2020. Di sisi lain jumlah pengangguran meningkat. Sejak 1981 hingga 2001, angka pengangguran selalu di bawah 4%. Sejak 2002, angka pengangguran sekitar 4% hingga 2020.
Pertumbuhan ekonomi juga sudah kurang moncer lagi. Pelemahan ekonomi di China sebenarnya sudah terjadi sejak 2011-2012. Saat itu pertumbuhan ekonomi merosot dari 9,5% menjadi 7,8%. Namun, dampak lebih kuat terasa pada tahun 2016 saat pertumbuhan kian merosot ke angka 6%. Setelah itu pertumbuhan ekonomi China sulit untuk pulih lagi.
Pertumbuhan ekonomi yang terus menurun ditambah tingkat pengangguran yang semakin meningkat membuat konsumsi domestik loyo. Kondisi ini mendesak China untuk merubah strategi ekonomi. Sebelumnya, China sangat ambisius untuk menggenjot ekspor untuk menguasai pasar internasional kini lebih memperkuat konsumsi domestik.
Peningkatan jumlah populasi diharapkan bisa memperkuat konsumsi domestik dan menggenjot pertumbuhan ekonomi China. Kebijakan meningkatkan jumlah anak untuk mengatasi resesi seks memang tidak instan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Selain itu, dibutuhkan dukungan kebijakan dari sektor lain untuk menata pola demografi agar kondusif bagi perkembangan ekonomi dalam jangka panjang.
Beta Perkasa dosen FEB UHAMKA Jakarta
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini