Jakarta - Di samping kasus Brigadir J yang sudah mulai rekonstruksi, korupsi di perguruan tinggi menjadi perhatian publik. Ada dua kasus korupsi yang dipantau dari waktu ke waktu. Pertama, kasus rektor Universitas Lampung (Unila); kedua, kasus suap wakil dekan UIN Semarang. Meski sama-sama kasus korupsi, namun kasus rektor Unila paling mendapatkan atensi.
Ketika Rektor Unila ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), publik tampak kaget. Saya sendiri sebagai mahasiswa sama sekali tidak kaget. Hal yang membuat saya kaget adalah melihat publik kaget. Kenapa? Bukankah praktik suap dan korupsi sudah biasa di perguruan tinggi?
Begini. Dalam masyarakat kita, beri-memberi hadiah baik sebagai kenang-kenangan dan ucapan terima kasih memang sudah menjadi budaya. Tidak bisa dihindari. Tetapi beri-memberi ini jika sudah terkait dengan jabatan tertentu, di masa sekarang disebut sebagai gratifikasi (uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan). Apalagi bila pemberian itu dapat memberi pengaruh terhadap suatu kebijakan yang diambil, maka pasti tergolong suap.
Nah, kebiasaan beri-memberi ini seringkali dibawa ke dalam kampus dengan ragam motif dan bentuknya. Ada pemberian dari mahasiswa untuk dosen pembimbing pada saat bimbingan skripsi, tesis dan disertasi. Jenis pemberian ini juga bermacam-macam. Uang, makanan, pakaian, dan segala macam yang disukai oleh dosen. Umumnya sang dosen pembimbing akan menerima pemberian itu dengan senang hati.
Tak sedikit cerita yang berkembang di mahasiswa atau lingkungan kampus bahwa karena pemberian itulah segala urusan mahasiswa akhirnya dipermudah. Memang tak semua dosen melakukan hal yang sama. Tetapi bila dilakukan penelitian secara serius, hampir dapat dipastikan bahwa praktik seperti itu ada di semua kampus. Selalu ada oknum dosen yang berbuat seperti itu.
Pertanyaannya, adakah yang menghentikan praktik itu di lingkungan kampus? Umumnya, alih-alih menghentikan, justru praktik memberi pelicin kepada dosen tertentu justru dibiarkan dan dimaklumi belaka.
Dulu, dua belas tahun lalu, ketika saya menempuh pendidikan sarjana di sebuah kampus di Sumatera, ada kebiasaan di tempat saya kuliah bahwa peserta sidang skripsi menyediakan makanan ringan untuk penguji. Bahkan sebagian mahasiswa diminta menanyakan selera penguji dan apa makanan yang bakal dipesan untuk menguji nanti. Padahal menguji skripsi mahasiswa adalah kewajiban dosen itu sendiri dan ditugasi oleh kampus/negara. Semua pembiayaan tentu sudah ditanggung. Tetapi biaya itu tetap dibebankan pada mahasiswa.
Katanya, menyediakan makanan ringan itu semampunya saja dan tidak wajib. Tetapi ketika ada mahasiswa yang tidak menyediakan makanan, maka mahasiswa akan menemukan ragam kesulitan hingga proses wisuda. Sekali lagi, bukankah praktik itu layak disebut suap? Sebab dengan memberi tersebut urusan mahasiswa menjadi mudah. Ujian yang biasa 'sakral' akan berubah menjadi canda tawa dan senda gurau.
Apakah praktik itu masih ada sampai sekarang? Semoga di kampus saya dulu praktik itu sudah tidak ada. Tetapi dalam tiga bulan lalu, saya baru saja mendengar cerita dari seorang kawan yang kuliah doktor hukum di perguruan tinggi di Pulau jawa, dan yang berprofesi sebagai hakim pula, bahwa ia menyelipkan amplop ketika melakukan bimbingan disertasi.
Demikian juga dengan teman-teman dosen muda yang harus menyediakan sejumlah uang ketika pemeriksaan berkas kenaikan pangkat oleh asesor. Sama halnya dengan petinggi kampus yang harus menyediakan layanan, hotel, dan tak lupa menyelipkan sejumlah amplop atau 'oleh-oleh' untuk asesor atau pejabat dari pusat yang melakukan pemeriksaan ke kampus-kampus di daerah.
Sekali lagi tak perlu kaget bila ada korupsi di perguruan tinggi. Tanpa disadari, kita semua elemen di perguruan tinggi terlibat dalam praktik korupsi itu, baik sebagai pemberi, pembiar, atau penerima. Kaidahnya yang harus mulai diajarkan di perguruan tinggi adalah bila menerima sesuatu selain gaji adalah gratifikasi, maka satu rupiah pun juga gratifikasi. Bila jumlah gratifikasi besar adalah tindakan korupsi, maka gratifikasi kecil pun juga korupsi.
Muhammad Yusuf mahasiswa doktor Islamic Studies UIN Jakarta
(mmu/mmu)
Kolom
(Tidak) Kaget Ada Korupsi di Perguruan Tinggi
Jumat, 09 Sep 2022 15:10 WIB
BAGIKAN
BAGIKAN