Beberapa hari terakhir persoalan legalitas kampanye di kampus cukup menjadi sorotan publik. Hal ini tidak terlepas dari statement Ketua KPU yang menyatakan bahwa pelaksanaan kampanye dapat dilakukan di kampus.
Pasca konstelasi politik nasional memutuskan untuk menyelenggarakan pemilu secara serentak, seluruh aktivitas pemilu nasional pada akhirnya disandarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU a quo disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Pasca konstelasi politik nasional memutuskan untuk menyelenggarakan pemilu secara serentak, seluruh aktivitas pemilu nasional pada akhirnya disandarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU a quo disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Dalam sebuah penafsiran sistematis, oleh karena ketentuan a quo berada dalam Bab VII yang mengatur kampanye pemilu dan berada pada bagian keempat yang mengatur larangan dalam kampanye, maka dapat disimpulkan bahwa negara melalui Pasal 280 ayat (1) melarang kepada pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu untuk menjadikan kampus sebagai tempat pelaksanaan kampanye pemilu. Hal ini secara tidak langsung dapat membantah alasan Ketua KPU yang pada intinya menyatakan bahwa larangan dalam Pasal 280 ayat (1) adalah dalam hal penggunaan fasilitas pendidikan, bukan terhadap pelaksanaan kampanye pemilu.
Persoalannya, penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h justru menjelaskan sebaliknya. Dikatakan bahwa ...tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye atas undangan dari pihak penanggungjawab tempat pendidikan. Oleh sebagian pihak menganggap penjelasan inilah yang kemudian membuka ruang diperbolehkannya kampus menjadi tempat pelaksanaan kampanye sepanjang memenuhi prasyarat tertentu.
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, telah secara tegas mengatur bahwa penjelasan hanya dapat memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma.
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Lebih lanjut, dikatakan pula bahwa penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya membuat perubahan terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan.
Pertanyaan yang kemudian muncul, bukankah rumusan penjelasan pasal a quo mengandung pengertian yang dilarang oleh undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan? Dengan rumusan yang demikian, saya dapat katakan ada semacam "penyelundupan norma" pada ketentuan yang mengatur hal tersebut.
Berangkat dari penafsiran sistematis terhadap pasal a quo dan bersandar pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, didapatlah sebuah fakta hukum bahwa secara normatif bahwa saat ini kampus tidak dapat dijadikan sebagai tempat pelaksanaan kampanye pemilu.
Terbuka Peluang
Meski fakta hukum berkata demikian, bukan tidak mungkin terbuka sebuah peluang untuk menjadikan kampus sebagai salah satu tempat kampanye pemilu. Hal ini mengingat; pertama, beberapa larangan dalam pelaksanaan kampanye (salah satunya kampanye di kampus) menjadi bagian dari open legal policy pembentuk undang-undang. Oleh karena itu jika konstelasi politik pembentuk undang-undang menghendaki itu, maka hal tersebut bukan tidak mungkin dapat terjadi.
Kedua, dalam dimensi konseptual tidak dapat dinafikan bahwa pemilu dan kampanye pemilu pada hakikatnya adalah sebuah bentuk pendidikan politik kepada masyarakat, khususnya mahasiswa. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 267 UU Pemilu, bahwa kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, apabila penyelenggara dan peserta pemilu dapat memastikan bahwa pelaksanaan kampanye di kampus dapat dilakukan secara bertanggung jawab, maka terbukalah peluang untuk itu.
Ketiga, apabila kampus menjadi salah satu tempat pelaksanaan kampanye, maka dalam konsepsi yang ideal hal tersebut dapat menciptakan suatu kondisi di mana akan terjadi pertarungan visi, misi, program dan/atau citra diri yang dapat terukur secara akademik. Kampus pada akhirnya juga dapat menjadi tempat untuk menguji sejauh apa urgensi dan relevansi visi, misi, program peserta pemilu untuk membawa kita semua kepada tujuan akhir negara Indonesia.
Namun begitu, peluang yang terbuka tersebut bukanlah tanpa tantangan. Secara umum, budaya berdemokrasi yang sejauh ini "belum sepenuhnya dikatakan sehat" masih menjadi satu dari banyak tantangan nyata. Fenomena money politic, black campaign, hingga persoalan netralitas penyelenggara pemilu maupun penyelenggara negara setidaknya dapat mengkonfirmasi kondisi tersebut. Persoalan-persoalan itu juga pada akhirnya mengkonfirmasi bahwa masih ada saja aktivitas kampanye yang dilakukan dengan "tidak bertanggung jawab".
Harry Setya Nugraha, S.H, M.H dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini