Koalisi dua partai besar, Gerindra dan PKB, menyongsong Pemilu 2024 sedikit banyak dapat dipandang sebagai manuver "terlalu berani" mengingat setidaknya catatan historis dua partai tersebut. Gerindra dan PKB tak pernah berkoalisi dalam skala nasional di dua pemilu terakhir. Kendatipun sebagian analis politik berpandangan skeptis (bahkan pesimis) terhadap prospek koalisi ini, namun dalam perspektif berbeda koalisi ini sangat layak diperhitungkan mengingat setidaknya dua pertimbangan kalkulatif politik berikut.
Pertama, lanskap politik yang terbentuk sejak 2014 menghadirkan kombinasi partai berplatform nasionalis dan agamis (Islam). Namun demikian, hal menarik yang masih menancap kuat dalam memori kita adalah perbedaan spektrum gradasi ideologis diantara platform partai-partai maupun organisasi kemasyarakatan (ormas) keislaman yang ada. Tak dapat dihindari, konsekuensi dari langkah-langkah politis Gerindra di masa lampau telah mengkonstruksi persepsi publik bahwa partai tersebut lebih mengakomodasi ideologi "Islam kanan" ketimbang "Islam tengah".
"Islam kanan" di sini dipahami sebagai ideologi keislaman yang cenderung regulatif-formal dalam penerapan ajaran Islam di ruang publik dan agresif dalam mengoperasikan gerakan-gerakannya. Walaupun dalam satu dekade terakhir sebagian besar pengusung ideologi Islam kanan ini tiarap atau meredup, bukan berarti mereka telah lenyap sama sekali. Sementara "Islam tengah" cenderung kultural dalam penerapan ajaran Islam dan moderat dalam menjalankan misi gerakannya. Representasinya adalah NU dan PKB. Memang terdapat sebagian partai politik keislaman maupun ormas yang berada diantara dua kutub tajam tersebut, namun ini soal lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahwa koalisi Gerindra dan PKB telah menggeser lanskap politik yang terlanjur mengakar tersebut setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Bandul koalisi berayun dari "kanan" ke "tengah". Apakah ini berisiko secara elektoral? Jawabannya bergantung kepada bagaimana pendekatan, baik Gerindra maupun PKB, kepada akar rumput pendukungnya.
Apabila dua partai tersebut tidak mampu memelihara dan mempertahankan akar rumput dengan strategi dan pendekatan yang jitu, maka potensial koalisi ini justru kontraproduktif. Sebaliknya, apabila dua partai tersebut mampu membangun ruang-ruang komunikasi dan negosiasi secara efektif dengan akar rumput, maka justru potensial membuka ceruk pemilih yang lebih luas.
Kedua, dalam orasi yang disampaikan oleh Prabowo Subianto pada saat deklarasi koalisi, sangat eksplisit keinginan Gerindra untuk merangkul warga nahdliyyin via PKB. Walaupun dua pemilu terakhir tidak dalam satu gerbong koalisi, namun tidak ada kata terlambat untuk menyatukan gerbong itu. Secara tidak langsung, terdapat kesan implisit bahwa selama bergabung dengan partai maupun ormas Islam kanan ternyata tidak kunjung menempatkan Gerindra maupun Prabowo Subianto sebagai "pemenang", baik Pemilu maupun Pilpres.
Dari kenyataan itu, langkah politis untuk menggeser haluan menjadi ke tengah, alih-alih bertahan di kanan, menjadi sangat rasional dan realistis. Tentu dengan strategi dan pendekatan yang canggih kepada akar rumput sehingga tidak berbuntut kontraproduktif, yakni justru ditinggalkan oleh basis massa pendukung sebelumnya.
Partai Dulu Pendamping Kemudian
Sebagian masyarakat tentu menduga bahwa merapatnya Gerindra dan PKB sekaligus dengan sendirinya memunculkan paket capres dan cawapres dari masing-masing partai tersebut. Namun realitas politik bisa berbicara lain. Seusai deklarasi koalisi Gerindra-PKB, Muhaimin Iskandar yang merupakan Ketua Umum PKB masih secara intensif memasarkan diri dengan slogan "Gus Muhaimin The Next President 2024", walaupun awalnya terkesan agak malu-malu.
Terlebih di banyak baliho bergambar Muhaimin Iskandar yang tersebar di mana-mana itu hanya mencantumkan kata "The Next 2024". Artinya, frasa tersebut masih mengandung tanda tanya: next apa? Frasa inilah yang menyiratkan keraguan Muhaimin Iskandar untuk memasarkan diri.
Strategi Muhaimin Iskandar memasarkan diri sebagai next president bukanlah hal baru. Setidaknya dalam dua pemilu sebelumnya sang Gus juga melakukan strategi yang sama. Lalu, apa tujuannya? Muhaimin tentu sangat rasional dan realistis bahwa data-data survei sejauh ini masih belum menempatkan dirinya sebagai kandidat kuat setidaknya lima besar.
Oleh karenanya, tujuan memasarkan dirinya tidak lain adalah untuk menguatkan soliditas partai sekaligus memperluas pendukungnya, sembari berikhtiar untuk menaikkan peruntungan elektabilitas sang Gus. Ibarat sambil menyelam minum air, yakni kampanye partai sekaligus berupaya mengatrol elektabilitas tokoh sentralnya.
Di sisi lain, Gerindra juga melakukan hal yang sama. Hanya saja, posisi Prabowo sebagai kandidat RI-1 secara elektabilitas jauh lebih kuat dibanding Muhaimin. Namun tujuan utama Gerindra, sebagaimana partai menengah-atas yang lain termasuk PKB, adalah mencari mitra koalisi partai di tahun 2022 ini. Perkara paket RI-1 dan RI-2 agaknya akan menjadi agenda politik utama tahun depan senyampang mencermati perkembangan elektabilitas ketokohan dari para kandidat yang ada.
Seandainya Prabowo tidak meminang Gus Muhaimin menjadi cawapresnya, apakah lantas koalisi akan buyar? Rasionalitas politik tidaklah membawa sentimen perasaan seperti itu. Prabowo tentu belajar banyak dari pengalaman kekalahan di dua pilpres sebelumnya bahwa faktor pendamping tidak semata-mata hanya didasarkan dari kecocokan visi-misi, kecocokan sumber daya yang dimiliki, kecocokan kepentingan para elite, maupun kecocokan personal dari pasangan.
Yang lebih menentukan di atas semua itu adalah tingkat elektabilitas dan liabilitas (kemampuan kandidat untuk terus menaikkan elektabilitasnya dan tidak menemui titik jenuh) dan basis massa yang loyal. Hal ini didasarkan hanya pada data, bukan sentimen. Alhasil, patut dicermati bersama siapakah yang bakal mendampingi Prabowo . Apakah Gus Muhaimin, ataukah kandidat lain seperti Khofifah Indar Parawansa, Puan Maharani, Erick Thohir, atau sederet tokoh lain yang potensial? Kita tunggu saja.
Fahrul Muzaqqi dosen di Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya
Simak juga 'Ada Kuda di Tengah Hubungan PDIP-Gerindra':