Warga protes akan kenaikan harga BBM per Sabtu (3/9) karena kenaikan harga yang relatif tinggi. Hal tersebut dianggap sangat membebani keadaan ekonomi terlebih kondisi negara yang baru saja pulih dari pandemi Covid-19.
Beban APBN
BBM subsidi tentunya menjadi salah satu beban berat untuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Hal tersebut dikarenakan negara harus menanggung biaya subsidi yang cukup besar agar harga yang didapatkan oleh masyarakat lebih terjangkau.
Beban APBN
BBM subsidi tentunya menjadi salah satu beban berat untuk Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Hal tersebut dikarenakan negara harus menanggung biaya subsidi yang cukup besar agar harga yang didapatkan oleh masyarakat lebih terjangkau.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjabarkan harga asli BBM jika tidak disubsidi oleh pemerintah dalam Rapat Kerja dengan Komite IV DPD , Kamis (25/8). Solar dengan harga sebelum naik yaitu Rp 5.150 per liter, disubsidi oleh pemerintah sebesar Rp 8.300 per liter, karena harga keekonomiannya ada di harga Rp 13.950. Demikian juga dengan Pertalite dengan harga sebelum naik Rp 7.650 per liter mendapatkan subsidi Rp 6.800 per liter, karena harga ekonominya sebesar Rp 14.450 per liter.
Setelah terjadinya kenaikan mulai pukul 14.30 WIB, harga Pertalite naik dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, artinya pemerintah tetap memberikan subsidi sebesar Rp 4.450 per liter. Sedangkan untuk Solar, dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, pemerintah tetap memberikan subsidi sebesar Rp 7.150 per liter.
Konsumsi 2022
Setelah pulih dari kondisi pandemi yang berlangsung selama dua tahun belakangan, masyarakat Indonesia sudah mulai beraktivitas kembali seperti biasanya. Aktivitas ini tentunya berpengaruh dengan kenaikan angka konsumsi BBM terutama dalam aktivitas ekonomi.
Per Juli 2022, konsumsi BBM di Indonesia telah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pertamina telah menyalurkan 16,8 juta KL jenis BBM Subsidi Pertalite dari total 23 juta KL pesediaan BBM hingga akhir 2022. Tentunya dengan tingginya angka konsumsi BBM akan memberatkan dana APBN untuk menanggung kebutuhan pasar. Sehingga dengan perhitungan saat ini kenaikan jumlah konsumsi BBM 2022 akan mengakibatkan APBN jebol hingga Rp 689 triliun dari Rp 502,4 triliun dana yang telah dianggarkan sebelumnya.
Dengan kata lain, APBN akan menanggung dana di luar dari yang dianggarkan sebesar Rp 195,6 triliun.
Pertimbangan dan Perhitungan
Menilik dari segi yuridis, perihal BBM baik penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran diatur dalam Perpres Nomor 69 Tahun 2021. Pasal 14 Ayat (8) Perpres tersebut menyebutkan bahwa Menteri dapat menetapkan harga jual eceran dengan mempertimbangkan aspek kemampuan keuangan negara, kemampuan daya beli masyarakat, dan/atau ekonomi rill dan sosial masyarakat.
Kenaikan harga BBM saat ini didasarkan atas perhitungan angka konsumsi pasar dan besaran dana APBN yang harus ditanggung negara. Sehingga jika BBM tidak dinaikkan, maka akan berdampak buruk untuk APBN. Ditinjau dari segi yuridis, alasan tersebut telah memenuhi aspek pertimbangan dalam menentukan harga jual eceran BBM yakni dengan alasan pertimbangan karena kemampuan keuangan negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 Ayat (8) Angka (1) Perpres Nomor 69 Tahun 2021.
Dari segi filosofis, dapat merujuk pada pandangan Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa negara kapitalis yang kita hadapi saat ini adalah kapitalis akhir. Di mana kapitalisme bukan sebagai alat hukum ekonomi dan bukan pula sebagai agen sistematik kapitalis ekonomi, melainkan menjadikan negara harus mampu menjembatani persaingan pasar yang semakin melebar, karena negara merupakan sebuah sistem yang memiliki kekuasaan yang sah.
Dengan demikian, kenaikan harga BBM dapat ditinjau sebagai salah satu upaya negara sebagai jembatan untuk mengembalikan kondisi ekonomi negara serta mencegah terjadinya inflasi. Selain itu, dari segi filosofisnya kenaikan BBM akan menjadi tantangan bagi masyarakat untuk semakin meningkatkan taraf hidupnya, sehingga mampu untuk mengupayakan kesejahteraan hidupnya tanpa harus mengandalkan subsidi dari pemerintah.
Dengan demikian, jika ditinjau dari segi yuridis dan segi filosofis, kenaikan harga BBM sudah sepantasnya dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya pembengkakan dana APBN dalam jumlah yang besar. Terlebih, pun harga BBM dinaikkan, pemerintah masih tetap memberikan subsidi meskipun tidak sebesar subsidi yang diberikan sebelumnya.
Uli Rosari Siregar mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas
(mmu/mmu)