Lirik lagu September Ceria yang pernah dipopulerkan oleh Vina Panduwinata sampai hari ini masih benar. Kau datang menghantar berjuta kesejukan. Walaupun tahun-tahun belakangan perubahan iklim telah menjadi pembicaraan dominan di mana-mana, dan banyak fakta bicara tentang kenyataannya, tapi datangnya bulan September tetap disambut dengan penuh harapan. September masih dianggap sebagai batas pergeseran iklim, ujung kemarau panjang yang gersang dan menyakitkan.
Dan, terbukti, setidaknya di wilayah tempat saya tinggal di Pondok Labu, Jakarta Selatan, baru tanggal dua hujan sudah langsung turun deras sejak menjelang tengah hari sampai sore. Bagi saya sendiri, datangnya September terasa begitu melegakan karena entah kenapa, bulan Agustus yang baru saja lewat rasanya begitu lama berakhir. Hari-hari terasa lambat, tapi penuh sesak oleh berbagai peristiwa yang memilukan, menyita perhatian, dan mengaduk-aduk emosi.
Berita media online dan televisi (bagi yang masih menonton) setiap hari dipenuhi oleh kasus pembunuhan Brigadir J. Yang perkembangannya dari hari ke hari semakin rumit saja. Benarkah perselingkuhan yang sejak awal disebut-sebut sebagai "motif" ternyata justru terjadi antara "squad lama" Kuat Maruf dan sang istri jenderal, Putri Candrawati? Kenapa proses rekonstruksi perkara yang digelar oleh polisi justru menjadi pertunjukan kemesraan antara sang jenderal dan istrinya --yang kemudian menerbitkan komentar-komentar simpati, dukungan, dan haru biru di kalangan sebagian netizen?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi soal tas guci. Belum lagi soal kenapa sebagai tersangka Putri tidak ditahan? Kenapa banyak sekali pihak, dari tokoh hingga lembaga, yang seolah kompak bersuara mendukung dan membenarkan kepolisian tidak menahan Putri? Mengapa alasan kemanusiaan yang disebut-sebut polisi, karena Putri memiliki anak yang masih kecil, tidak diberlakukan pada tersangka-tersangka lain sebelumnya yang sama-sama perempuan dan seorang ibu? Benarkah kita harus (tidak) percaya ungkapan yang kerap terdengar tentang equality before the law? Tentang "hukum kita tajam ke bawah dan tumpul ke atas"?
Untunglah (manusia Indonesia selalu beruntung dalam segala situasi) masih ada hiburan-hiburan kecil yang mengasyikkan di sela-sela segala kejanggalan yang mau tidak mau menerbitkan pesimisme itu. Viralnya lagu Jawa Ojo Dibandingke versi penyanyi bocah Farel Prayoga seperti oase di tengah kegersangan. Lagu itu terus saja menggema di mana-mana, dari video Tiktok sampai rumah-rumah warga, dalam berbagai versi yang berbeda-beda. Bahkan sampai beredar video versi Jepangnya. Dan, yang lebih menghibur lagi, beredar pulai video editan seolah-olah lagu itu dibawakan oleh peserta X-Factor America, membuat para juri tercengang dan berdecak kagum. Kreativitas netizen Indonesia memang kadang-kadang tidak terbayangkan.
Bocah-bocah di kampung-kampung berkali-kali menyenandungkan wong kongene kok dibandingke-bandingke/ saing-saingke yo mesti kalah...dengan fasih dan luwes. Jarang sekali rasanya ada sebuah lagu yang bisa begitu meledak luar biasa sampai berhasil memasuki kehidupan sosial, diterima oleh segala usia, menembus sekat-sekat kelas sosial, dan menjadi "fenomena kultural yang alami". Barangkali kita semua memang sudah capek dibanding-bandingkan --dalam karier, pencapaian, asmara, hubungan keluarga-- dan lagu itu mewakili jeritan hati kita yang sering gagal dan kalah dalam kehidupan.
Tapi, kita sekarang hidup di zaman digital. Zaman keterhubungan virtual yang menyatukan setiap manusia dengan manusia lainnya, dari teman masa kecil, teman sekolah dan kuliah di masa lalu, sampai ke orang-orang yang tidak kita kenal, belum pernah kita temui secara langsung. Kita hidup di zaman pertemanan maya yang menjebloskan kita dalam gelembung-gelembung ruang yang melayang-layang di udara, dari berbagai aplikasi media sosial hingga grup-grup Whatsapp --yang semuanya ada dalam satu layar, satu genggaman tangan, dan kita bawa ke mana-mana, mendikte sebagian besar waktu kita, menyita dan mendistraksi perhatian kita.
Di zaman semacam itu, kehidupan jadi mirip akuarium raksasa, tempat kita berbaur menjadi satu dengan siapa saja, melihat dan dilihat, mengawasi dan diawasi, mendengar dan didengar, bersuara lantang dan diam menyimak, beropini, berargumen, berteriak, memaki, dimaki, memamerkan kepintaran, memperlihatkan kebodohan, membuat pertunjukan kita sendiri, menyaksikan drama orang lain, curhat, menasihati, melempar isu, cari perhatian, mengabarkan kepada dunia menu sarapan kita, berkeluh kesah, pura-pura bahagia, mengumumkan pencapaian, membanggakan prestasi, menyesali diri, merasa penting, merasa gagal, sedih, marah, tertawa, membenci, memuji, berbohong, bijak, lemah, terharu, apatis, bersimpati, cuek, membandingkan dan dibandingkan.
Bagaimana mungkin tidak dibanding-bandingkan? Setiap hari kita melihat story teman-teman kita yang work from Bali, sementara kita masih harus ngantor setiap hari, menembus kemacetan Jakarta, menghabiskan waktu di jalan. Bagaimana mungkin tidak dibanding-bandingkan? Si A berani resign dari pekerjaannya dan sukses membuka kafe mungil kekinian di pinggir kota yang menjadi tempat nongkrong hits anak-anak muda. Si B mem-posting calon buku kelimanya dan minta pendapat follower-nya mana cover yang cocok. Si C memasang status WA sedang staycation di hotel bintang lima. Si D menulis panjang di FB-nya tentang putra sulungnya yang baru saja diterima di universitas favorit lewat jalur prestasi. Dan, Si E, Si F, Si G.....
Bagaimana mungkin tidak dibanding-bandingkan? Sepupumu yang lebih muda dari kamu bulan depan menikah --kamu kapan? Sepupumu yang lain, yang baru bekerja dua tahun sudah bisa punya mobil dan apartemen, dan beli tanah di kampung --sedangkan kamu tidak punya aset apa-apa. Bagaimana mungkin tidak dibanding-bandingkan? Teman-teman SMA-mu banyak yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan S-3 di luar negeri, dan lainnya lagi ada yang sudah menjadi profesor. Di timeline Twitter-mu berseliweran cerita-cerita tentang orang-orang yang sukses di usia muda, berhasil mengumpulkan sekian miliar di usia sekian, dan di usia berikutnya lagi sudah mendapatkan pencapaian lainnya.
Berbagai buku self-help tentang kebahagiaan mengajarkan, kunci hidup bahagia adalah jangan membandingkan dirimu dengan orang lain. Tapi, bagaimana mungkin? Setiap hari kita mendengar opini orang-orang tentang "menjalani hidup yang benar". Lalu, ketika kita melihat kembali hidup kita sendiri, rasanya semua serba salah, kacau, berantakan. Minimal biasa-biasa saja, medioker, tidak ada yang bisa dibanggakan. Berbagai artikel psikologi berusaha meyakinkan kita bahwa menjadi biasa-biasa saja itu tidak apa-apa kok; kamu tidak harus menjadi sempurna. Tapi, faktanya, lingkungan dan pergaulan nyata tetap saja sering bikin kita menjerit putus asa seperti Squidward: disia-siakan, tidak dikenal, tidak terlihat, tidak dipedulikan, tidak dihormati, tidak dihargai, tidak dicintai, dan yang paling buruk, upahnya di bawah standar.
Orang Jawa punya pepatah bijak, urip iku wang-sinawang. Artinya, dalam hidup ini, kita akan cenderung melihat orang lain serba lebih baik dibanding diri kita, padahal sebenarnya belum tentu. Dulu, orang-orang tua kita sering menasihati, ojo mung nyawang sing kesawang --jangan hanya melihat yang terlihat. Yang kita pikir enak hidupnya, belum tentu enak; yang kita kira susah hidupnya, belum tentu susah.
Tapi pepatah yang menghibur itu, bagi generasi baru sekarang, sering diplesetkan dalam berbagai meme bernada satir, sinis, dan sarkatis. Yang kelihatannya kaya ternyata melarat yang kelihatannya melarat, ternyata...melarat beneran! Yang kelihatannya bahagia ternyata stres, yang kelihatannya stres ternyata...stres beneran! Yang kelihatannya waras ternyata gila, yang kelihatannya gila ternyata...gila beneran! HAHAHA....
Sulit rasanya untuk menghindar dari dibanding-bandingkan, dan sulit rasanya untuk tidak membanding-bandingkan. Bagaimana mungkin?
Mengapa sama-sama tersangka, polisi memperlakukan dengan berbeda?
Mengapa memulai dari titik yang sama, dengan usaha yang sama, tapi hasilnya berbeda?
Mengapa anak-anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin?
Mengapa hanya bermodal tampang sedikit cantik atau ganteng bisa viral dan terkenal hanya dengan tampil seksi dan joget-joget?
Mengapa ada yang punya privilese?
Mengapa hidup ini tidak adil?
Kalau bisa, ingin rasanya meyakinkan diri berkali-kali bahwa kita telah bersyukur. Kita sangat bersyukur untuk hidup yang kita miliki. Atau, lagi-lagi seperti Squidward sang pecundang idola, bicara dengan diri sendiri lagi: sesekali aku ingin menarik napas dan tidak mencium bau minyak atau bau busuk kehidupanku yang gagal dan menyedihkan. Dan, tolong, kalau bisa jangan lagi dibanding-bandingkan. Tapi, bagaimana mungkin?
Di media sosial, perilaku membanding-bandingkan bahkan telah menjadi budaya, yang melahirkan "kaum mendang-mending". Banyak netizen yang punya kecenderungan selalu "mengkritisi" apapun dengan cara membandingkan. Pada akhirnya ini menjadi semacam upaya untuk mementahkan, merendahkan, dan menganggap sepi perbedaan dan keragaman. Apa yang berbeda dibanding kelaziman atau sesuatu yang dianggap umum, akan diserang dengan "mending begini", mending begitu".
Jika kamu seorang pecinta kucing misalnya, yang menghabiskan banyak uang untuk memelihara dan menyayangi kucing-kucingmu, maka kaum mendang-mending akan bilang, "mending menyantuni anak yatim." Mengapa harus dibanding-bandingkan? Bukankah bisa saja menyayangi kucing sekaligus menyantuni anak yatim? Apakah berbuat amal harus diumumkan di media sosial? Apakah netizen harus tahu apapun yang kita lakukan?
Memang sulit untuk tidak membanding-bandingkan, dan hidup di zaman medsos ini rasanya mustahil untuk tidak selalu dibanding-bandingkan. Dalam keterhubungan digital, kita tergulung gelombang opini dan prasangka, hanyut sampai megap-megap, sampai perut kita kaku dan sesak napas.
Mumu Aloha wartawan dan editor
Simak juga Video: Terpopuler Sepekan: Rekonstruksi Kasus Yosua hingga Harga BBM Naik