Pendidikan merupakan jalur evakuasi pertama untuk menyelamatkan bangsa ini dari kebodohan. Dalam realitanya, pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan kualitas sumber daya manusia suatu negara. Semakin baik penyelenggaraan pendidikan di suatu negara semakin terjamin pula kualitas sumber daya manusianya.
Melalui perluasan akses pendidikan berkualitas dan merata yang dilakukan pemerintah, anak-anak bangsa diharapkan mendapat hak pendidikan yang sama dan layak pada semua jenjang di seluruh wilayah tanah air. Itulah harapannya. Maka jika dikaji lebih lanjut, dengan jumlah populasi Indonesia yang saat ini menduduki peringkat teratas di ASEAN bahkan nomor 4 di dunia, sebenarnya Indonesia menyimpan potensi bonus demografi yang sangat besar.
Namun di satu sisi, mengingat kembali luasnya wilayah Indonesia, serta keadaan geografis yang beragam dan tak sedikit diantaranya ekstrem menjadi tembok penghalang yang tak terelakkan. Menurut hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis oleh The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada Desember 2019 di Paris, kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat 72 dari 77 negara.
Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, tampaknya Indonesia cukup tertinggal jauh. Pasalnya Singapura menempati peringkat kedua dan Malaysia peringkat 56. Indonesia tidak boleh lengah dan harus giat mengejar ketertinggalan tersebut. Sebab Bappenas memprediksi puncak bonus demografi Indonesia akan terjadi pada tahun 2030. Pendidikan dapat dijadikan sebagai salah satu poros pembangunan generasi unggul dalam upaya persiapan menghadapi puncak bonus demografi.
Potensi bonus demografi Indonesia yang begitu besar jika tidak dimanfaatkan dengan dibarengi pendidikan berkualitas dapat membawa dampak buruk yang mengancam kehidupan sosial. Ancaman seperti kemiskinan, rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, pengangguran, dan tingginya tingkat kriminalitas sulit dihindari.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020 lalu Indonesia sudah mulai memasuki masa bonus demografi. Bonus demografi artinya jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibanding penduduk usia tidak produktif. Ada sebanyak 70,72% penduduk usia produktif. Konon bonus demografi hanya terjadi satu kali di setiap negara. Kesempatan emas ini tentu sangat disayangkan jika tidak dihadapi dengan bijak.
Dari segi kuantitas, Indonesia tidaklah kekurangan sumber daya manusia. PR-nya adalah bagaimana mempersiapkan dan memanfaatkan sumber daya manusia yang besar untuk mencapai bonus demografi. Banyak negara yang telah berhasil menjawab tantangan bonus demografi, di antaranya Korea Selatan dan Jepang. Mencetak generasi yang berpendidikan, cerdas, dan berkarakter serta memiliki pola pikir yang lebih maju dan adaptif terhadap perubahan kehidupan sosial-ekonomi yang begitu fleksibel.
Faktanya, Indonesia tidaklah kekurangan upaya untuk mewujudkan pendidikan berkualitas. Selama kurang lebih 10 tahun, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menganggarkan 20% APBN-nya untuk pendidikan. Namun Kemenkeu mengklaim hasilnya tidak begitu memuaskan. Hal ini dicerminkan dari angka partisipasi sekolah yang di rilis BPS. Angka partisipasi sekolah menjelaskan, pada tahun 2021 hampir seluruh anak usia 7-12 tahun duduk dibangku sekolah dengan persentase 99,19%.
Beranjak ke anak usia 13-15 tahun, persentase partisipasi anak yang bersekolah menunjukkan angka yang cukup memuaskan yakni 95,99%. Sementara itu, terdapat hampir 20% anak putus sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang SMA. Tampak pada angka partisipasi sekolah anak usia 16-18 tahun yang hanya mencapai 73,09%. Namun, pada jenjang perguruan tinggi, partisipasi anak usia 19-24 yang bisa lanjut berkuliah hanya 26,01% saja. Gambaran partisipasi sekolah ini perlu jadi perhatian pemerintah. Terutama pada partisipasi sekolah anak usia 16-24 tahun yang masih rendah.
Tingginya kesenjangan penyelenggaraan pendidikan dan perbedaan kemampuan ekonomi masyarakat pun menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi sekolah. Anak yang berasal dari keluarga kurang mampu secara finansial akan sulit untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Apalagi lokasi perguruan tinggi tidak ada di setiap kota atau kabupaten. Hal ini menuntut anak yang ingin melanjutkan berkuliah ke perguruan tinggi sedikit banyaknya ada yang harus berkuliah keluar provinsi, bahkan keluar pulau. Tentu memakan biaya yang tidak sedikit.
Apabila pola ini terus berlanjut hingga 8 tahun ke depan, maka Indonesia akan dipenuhi penduduk usia produksi dengan pendidikan terakhir yang ditamatkan SLTA ke bawah. Bukan tidak baik untuk memiliki usia produktif yang didominasi tamatan SLTA. Namun kita tidak boleh puas dengan pencapaian tersebut, karena jika usia produktif didominasi oleh tamatan Perguruan tinggi (diploma ke atas), maka diharapkan kita memiliki generasi yang lebih kreatif dan inovatif serta mampu memberdayakan masyarakat lain di sekitarnya.
Perluasan akses pendidikan yang layak harus tetap digalakkan dengan memperhatikan kemampuan masyarakat dalam mengakses pendidikan yang disediakan pemerintah. Membangun ekosistem pendidikan yang suportif dan kolaboratif tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, melainkan peran serta aktif dari masyarakat dan aktivis pendidikan untuk mendukung mencetak generasi unggul dalam mempersiapkan puncak bonus demografi.
Ahmat Amini Efendi Nst Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Labuhanbatu Selatan
(mmu/mmu)