Cacat Makna di Balik Seleksi Calon Mahasiswa
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Cacat Makna di Balik Seleksi Calon Mahasiswa

Senin, 22 Agu 2022 11:31 WIB
Iwan Yahya
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kolomnis Iwan Yahya
Foto: Iwan Yahya (dok. iARG)
Jakarta - Sisi kusam dari kaum yang dipandang cendekia seolah sedang dibentangkan. Sebuah tulisan di Kolom Detik 18 Agustus 2022 mengupas soal akademisi karbitan dan persoalan marwah kampus. Seolah itu tak cukup, kita dibuat terhenyak oleh berita operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap seorang guru besar.

Rektor Universitas Lampung terjaring OTT dengan sangkaan tindak pidana korupsi dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru. Letupan dalam sajian laman berita kita belakangan ini memang seperti tak ada habisnya. Laksana hantaman petir di siang bolong, peristiwa itu menyentak. Menampar muka kalangan perguruan tinggi.

Sebagian pihak menilai bahwa kebijakan negara yang secara bertahap mengurangi pembiayaan untuk perguruan tinggi dipandang sebagai satu dari sekian simpul pemicu perkara. Alih-alih murni berfokus untuk memperkuat layanan dan akses setara dan berkeadilan melalui kekuatan ekosistem inovasi, sebagian universitas kita justru terseret masuk ke dalam jerat kesalahan filosofis. Persaingan dan perburuan demi sebutan sebagai universitas unggul di tingkat nasional maupun universitas berkelas dunia menjadi simpul yang pelik. Pilihan untuk tumbuh dalam cara seperti itu menyertakan konsekuensi beban biaya yang besar dan memberatkan.

Berjaya di atas topangan kemampuan pembiayaan berbasis inovasi dari kuatnya hilirisasi hasil riset dan layanan profesional yang menjadi bisnis memang belum menjadi ciri ekosistem inovasi universitas kita. Begitu pula, tidak semua universitas memiliki endowment fund yang kuat sebagaimana universitas-universitas besar dunia.

Dampaknya universitas dan institut kita yang belum mampu membangun strategi pembiayaan kreatif cenderung terdorong menjadikan proses seleksi penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri sebagai jalan keluar yang instan. Secara hukum hal itu memang boleh dilakukan. Bahkan prosedurnya menjadi relatif lebih mudah bagi universitas dan institut yang telah berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH).

Wajar jika kemudian ada sebagian pihak yang menyarankan agar sistem seleksi mahasiswa baru via jalur mandiri itu dihapuskan saja. Minat publik yang sangat tinggi untuk dapat masuk ke universitas favorit dapat menjadi pendorong praktik persaingan yang justru tak sehat. Keputusan akhir seleksi tak semata ditentukan oleh penilaian kecakapan dan potensi akademik calon mahasiswa. Jalur seleksi seperti itu syarat dengan kepentingan serta rawan ketidakadilan karena kemampuan finansial serta komitmen pembayaran masing-masing orang ikut menjadi faktor menentukan.

Itulah sebabnya mengapa kemudian dipandang memberi ruang potensi untuk tindakan korupsi. OTT KPK atas rektor Universitas Lampung menjadi penguat penilaian itu. Namun demikian, sepanjang apa pun perdebatan berkait masalah tersebut, korupsi tetaplah merupakan perbuatan pidana yang tidak dapat diterima. Lantas mengapa kaum terpelajar yang begitu terhormat justru melakukannya?

Cacat pemaknaan ketercukupan

Jika saya ditanya tentang kaum atau kelompok profesi apa yang paling tidak mudah untuk diyakinkan, bisa jadi jawaban saya adalah para dosen dan profesor. Perasaan ketercukupan argumen dan pilihan cara berpengetahuan para dosen dan profesor terkadang menjadi sebagian kendala. Selalu membutuhkan energi besar untuk bertautnya faham atas subyek diskusi sebelum itu dapat diakui sebagai kebenaran yang diterima bersama.

Itu sebabnya mengapa dunia akademik menjadi sangat terbuka, merdeka dan dinamis. Itu pula yang mendorong Meggie Berg dan Barbra K Seeber menulis buku The Slow Professor: Challenging the Culturte of Speed in Academy (2016). Kupasan tentang hal ini telah dimuat di Kolom Detik edisi 13 Juni 2022.

Kedudukan profesor di universitas memiliki padanan kendali akademik seperti kuasa yang dimiliki seorang perwira di kalangan militer dan kepolisian. Kuasa dan rasa nyaman dalam kendali semacam itu menghadirkan dorongan dan kecenderungan untuk dipertahankan dalam kesetimbangan.

Dalam perspektif kajian ilmu fisika dikenal dengan konsep kelembaman atau inertia. Isaac Newton menjabarkannya sebagai kesetimbangan sistem fisis pada keadaan dengan akumulasi gaya bernilai nol. Itu dikenal dengan Hukum Newton Pertama yang menyebutkan bahwa setiap entitas akan berada pada keadaan diam atau bergerak lurus beraturan jika jumlah gaya yang bekerja padanya bernilai nol. Gerak lurus beraturan itu mengandung makna sebagai gerak dengan tanpa perubahan kecepatan.

Padanannya dalam sudut pandang interaksi sosial adalah keadaan berkait gaya hidup, kebiasaan dan atau prilaku yang selalu terkemas sebagai kewajaran tanpa indikasi penyimpangan atau anomali yang patut dicurigai. Pada titik itulah kemudian ketercukupkan berpengetahuan yang dimaknai mencukupkan dapat mendominasi simpul perkara.

Sejatinya ketercukupan berpengetahuan yang mencukupkan itu merupakan aspek mendasar yang menempati posisi penting dalam kesadaran kalangan kampus. Bagi para mahasiswa dan fresh graduate, kesadaran itu dapat sangat berpengaruh kepada cara mereka merespon kekhawatiran atas kemungkinan kekalahan. Mereka yang merasakan adanya diskripansi antara pengetahuan dan pengalaman belajar di kampus dengan tuntutan kompetensi dalam persaingan lapangan kerja misalnya, akan memilih mengisi waktu dengan mengikuti course tertentu secara mandiri.

Dalam konteks ini, asumsi ketercukupan berpengetahuan yang disajikan oleh kurikulum universitas kita menjadi termaknai tak sepenuhnya mencukupkan dalam perspektif mahasiswa dan para fresh graduated itu.

Ceritanya menjadi berbeda pada kasus OTT sang guru besar di atas. Pelaku tindakan pidana dari kalangan berpendidikan umumnya melakukan cacad pemaknaan atas ketercukupan argumen berpengetahuan mereka. Ketika perbuatan itu dilakukan, mereka berada pada keadaan berkeyakinan dan sangat percaya diri.

Bahwa kecakapan bernalar dan kadar pengetahuan mereka sungguh lebih dari cukup untuk membuat orang lain mempersepsi segala tindakan dan perbuatan mereka sebagai kepatutan dan bahkan bernilai kebaikan (Schwardmann and van der Weele, 2019).

Hal itulah yang membuat mereka terseret dalam untai kelembaman rekayasa persepsi. Ketika mereka memutuskan untuk mempersepsi sebuah kejahatan sebagai sesuatu yang ternilai patut dan wajar, maka mereka harus membangun argumen dan fakta kebenaran palsu sebagai selubung. Selubung itu bersifat sebagai penyeimbang dalam konstruksi bernalar yang diciptakan.

Lalu ketika kejahatan itu mengalami eskalasi, maka kesetimbangan semula menjadi terganggu. Diperlukan konstruksi nalar berbeda agar kebohongan sebelumnya selalu terlindung dalam selubung kebenaran yang dipersepsikan. Konstruksi bernalar yang berbeda itulah yang lalu menghadirkan penyeimbang baru berupa kebohongan berikutnya. Artinya adalah sebuah keniscayaan bahwa setiap kebohongan baru akan selalu hadir sebagai selubung pelindung kebohongan sebelumnya.

Pada titik itulah hukum alam tentang kelembaman sebagaimana diajarkan Isaac Newton itu kemudian berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa ketercukupan berpengetahuan yang semula disangka mencukupkan itu ternyata akan selalu tak pernah mencukupkan jika itu ditautkan dengan keculasan. Individu yang terobsesi oleh kekuatan dan hasrat mengendalikan akan terjebak mendorong dirinya sendiri hingga ke puncak. Berada pada keyakinan mengendali yang mumpuni atas apa pun yang mereka pandang sebagai ranah kecakapan bernalar dan kuasa mereka.

Kaum cendekiawan yang tidak bijaksana tak terkecuali para professor sangat rawan untuk terjerat oleh cacad pemaknaan seperti itu. Seolah dunia berada dalam genggaman. Tak mengherankan jika kita melakukan penelusuran internet dengan kata kunci professor korupsi akan tersaji banyak kasus yang jika ditelisik, simpulnya bertaut dengan cacad pemaknaan seperti itu.

Hal itu mengandung makna bahwa kejahatan yang dilakukan oleh kaum terpelajar yang padanya terdapat kendali kuasa dapat dipastikan selalu terjadi dengan unsur kesengajaan. Jika pun tidak terungkap di suatu masa, itu tidak mengubah kebenaran hukum semesta.

Bahwa selalu diperlukan pemicu untuk membangun selubung kebohongan. Picuan berketerusan dan berlebih akan membawa keadaan menuju titik jenuhnya yang justru kemudian memunculkan kesejatian dari sifat alami berikutnya. Analog dengan sistem fisis yang tertekan melampaui batas maksimal sehingga respon dan sifatnya tak lagi linear. Pada keadaan itulah semua borok akan tertelanjangi.

Ironi pilu di jantung madrasah yang mengajarkan marwah. Semoga itu bukan puncak dari sebuah gunung es. Jika itu terjadi, maka rasanya Isaac Newton pun mungkin akan menagis. Bahwa sosok cendekia utama pun ternyata bukan jaminan untuk cakap memaknai kekuatan kutukan hukum alam yang disingkapnya hampir tiga abad silam. Wallahualam.


Iwan Yahya. Dosen dan peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta. (rdp/rdp)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads