Pada zaman Orde Baru (Orba), kehidupan politik di kampus sangat dibatasi. Hak-hak politik warga kampus, khususnya mahasiswa di rumahnya sendiri (kampus) boleh dikata dikebiri melalui suatu kebijakan yang disebut dengan Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Dengan berdalih mengembalikan fungsi utama kampus sebagai lembaga keilmuan yang fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah melarang berbagai aktivitas politik di dalam kampus. Praktis kondisi ini membuat peran-peran politik warga kampus sangat terbatas. Warga kampus yang merupakan kelompok intelektual tidak bisa banyak memberi sumbangsih pemikiran dan gagasan secara lebih luas bagi bangsa dan negara, lebih-lebih melakukan kontrol kebijakan terhadap pemerintahan saat itu.
Kehidupan politik warga kampus yang sangat terbatas ini menjadi salah satu gambaran bahwa saluran demokrasi di negara kita saat itu tersumbat oleh kebijakan pemerintah. Tentu, kita tidak ingin kondisi seperti ini terjadi lagi saat ini. Suatu kesyukuran bagi kita bahwa kehidupan demokrasi di bangsa kita membaik pasca runtuhnya Orba melalui gerakan Reformasi 1998 yang penggerak utamanya adalah warga kampus.
Dalam kondisi keran demokrasi saat ini, mestinya hak-hak politik warga kampus juga bisa tersalurkan dengan maksimal, salah satunya adalah peran serta warga kampus dalam menyukseskan pemilihan umum (pemilu) secara lebih aktif dan luas. Warga kampus tidak hanya dijadikan objek untuk memilih peserta pemilu, tapi juga menjadi subjek untuk membedah dan menyampaikan gagasan kepada peserta pemilu. Hal ini mengingat warga kampus merupakan entitas yang berbeda dengan masyarakat umum. Di dalamnya berisi kalangan akademisi dan intelektual dengan berbagai keilmuan, baik itu dosen maupun mahasiswa sehingga bisa membedah visi-misi peserta pemilu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gagasan Progresif
Wacana yang dilontarkan Ketua Komisi Pemilhan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari tentang kampanye peserta pemilu di kampus pada Pemilu 2024 merupakan gagasan yang progresif bagi kehidupan demokrasi di Indonesia khususnya bagi warga kampus. Hemat saya, kampanye peserta pemilu di kampus menjadi salah satu upaya memaksimalkan penyaluran hak-hak politik warga kampus di rumahnya sendiri.
Namun, wacana ini masih menuai pro-kontra di publik, mengingat kampus dalam hal ini perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang sifatnnya independen dan steril dari kepentingan politik praktis. Apalagi dalam Undang-Undang No.7 tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 280 ayat (1) huruf h menegaskan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Di regulasi ini, kampus masuk dalam kategori tempat pendidikan, sehingga peserta pemilu tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas kampus untuk kepentingan politik salah satunya melakukan kampanye politik.
Untuk alasan tidak diperbolehkannya peserta pemilu kampanye di kampus karena terbentur regulasi ini, Ketua KPU sudah menjelaskan, dalam penjelasan Undang-undang No.7 tahun 2017 tersebut telah disebutkan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggungjawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.
Menurutnya yang dilarang itu adalah menggunakan fasilitasnya, bukan kampanyenya. Jadi berdasarkan penjelasan dari Undang-undang tersebut, kampanye di kampus itu diperbolehkan, tetapi dengan catatan-catatan seperti diundang oleh rektor dan dilarang membawa dan menggunakan atribut kampanye serta semua peserta pemilu mendapatkan kesempatan yang sama.
Bukan Pemilih Biasa
Terlepas dari adanya regulasi larangan peserta pemilu menggunakan fasilitas tempat pendidikan salah satunya kampus, kita mesti memahami bahwa warga kampus juga memiliki hak politik sebagai pemilih dalam pemilu. Namun, warga kampus bukanlah pemilih biasa seperti masyarakat pada umumnya. Kemampuan intelektual, nalar kritis dan metode berpikir ilmiah yang dimiliki warga kampus dapat dimanfaatkan untuk membedah ide dan gagasan yang dimiliki peserta pemilu.
Di sinilah salah satu peran politik kampus dalam pemilu yaitu menjadi "ruang bedah" visi-misi peserta pemilu. Jadi, kampanye di kampus bukanlah kampanye seperti pada umumnya yang dilakukan peserta pemilu di tengah-tengah masyarakat yang kebanyakan hanya bersifat satu arah menyampaikan visi-misi. Ditambah lagi dengan meramaikan atribut kampanye dan menghadirkan hiburan musik di atas panggung dan lain sebagainya.
Kampanye di kampus mesti didesain berbeda. Kampanye di kampus didesain bersifat dua arah. Di dalamnya ada dialog dan ada debat antara warga kampus dan peserta pemilu. Kampus akan menjadi arena konflik ide dan gagasan bagi peserta pemilu. Hal ini akan sejalan dengan apa yang sering diungkapkan oleh Ketua KPU yang mendefinisikan pemilu sebagai arena konflik yang dianggap legal dan sah untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.
Dengan perspektif ini, kampanye di kampus akan mengarahkan konflik yang dimaksud ke konflik ide dan gagasan, bukan konflik berbau SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang selama ini masih menjadi problem dalam kehidupan politik dan demokrasi kita. Kampanye di kampus akan melahirkan referensi pilihan politik, bukan hanya bagi warga kampus tetapi juga masyarakat secara umum.
Selain itu, bagi peserta pemilu juga akan mendapatkan berbagai masukan dari warga kampus sehingga bisa menyempurnakan visi-misi yang dimiliki setiap peserta pemilu yang kemudian akan direalisasikan dan diaktualisasikan untuk masyarakat, bangsa, dan negara ketika berhasil menduduki kursi yang diperebutkan dalam pemilu. Dengan demikian, kampanye di kampus diharapkan akan melahirkan perubahan-perubahan besar bagi bangsa dan negara, khususnya dalam peningkatan kualitas pemilu serta kehidupan demokrasi kita.
Falihin Barakati mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Simak juga 'Berkas 24 Parpol Calon Peserta Pemilu Dinyatakan Lengkap!':