Merenungkan Kembali Kemerdekaan Berkeyakinan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merenungkan Kembali Kemerdekaan Berkeyakinan

Kamis, 18 Agu 2022 10:57 WIB
Moh Fadhil
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta -
Tahun ini Indonesia telah memasuki usia ke-77 tahun. Pada upacara perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan, saya menyimak baik-baik pidato Presiden Joko Widodo yang dibacakan oleh Pembina Upacara. Salah satu penggalan kalimat yang saya garis bawahi adalah pada pernyataan mengenai komitmen pemerintah pada pemenuhan hak sipil, hak politik dan praktik demokrasi serta kelompok marjinal.

Dada saya serasa sesak; dengan wajah yang mengerut dan mengernyitkan dahi, saya mengelus-elus dada, betapa kalimat ini begitu menggetarkan hati saya karena apa yang selama ini saya rasakan bahwa kelompok marjinal, khususnya dalam konteks kelompok agama, belum merasakan kemerdekaan beragamanya.

Negara kita telah merekam berbagai macam konflik yang terjadi dikarenakan persoalan agama. Saya tidak ingin terlalu jauh menyebut ragam konflik yang terjadi; saya membatasi pada dua kelompok agama yang hingga saat ini masih termarjinalkan. Mereka adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Kelompok Syiah di Indonesia. Beberapa konflik yang pernah terjadi adalah peristiwa Kelompok Syiah di Kabupaten Sampang, Madura, peristiwa JAI di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dan peristiwa JAI di Kabupaten Sintang.

Berbagai macam konflik yang terjadi sesungguhnya berakar pada ketidaksepahaman atau perbedaan tafsir mengenai ajaran Islam. Perbedaan tersebut melahirkan tuduhan ajaran sesat dan bahkan Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa yang sama (fatwa sesat khusus JAI, dan fatwa sesat Syiah di MUI Jatim). Fatwa tersebut menjadi dalil bagi masyarakat untuk melakukan opresi terhadap JAI dan Kelompok Syiah agar kembali pada ajaran Islam yang (dianggap) benar.

Pada kasus di Sampang misalnya, kelompok Syiah terusir dari kampung halamannya akibat persekusi dari masyarakat dan baru bisa diterima kembali jika bersedia kembali pada ajaran Islam. Begitu pula bagi JAI di Lombok Timur dan di Sintang, persekusi terjadi dengan alasan yang sama.

Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan

Sebagaimana dalam penggalan pidato Presiden di atas, pemenuhan hak sipil dan politik (hak sipol) masyarakat merupakan tugas utama pemerintah dalam menjaga iklim demokrasi. Hak sipil dan politik merujuk pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Indonesia telah meratifikasinya ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR. Konsekuensi logisnya, Pemerintah Indonesia terikat secara global untuk menjamin pemenuhan hak sipol masyarakat Indonesia.

Salah satu hak sipol yang harus dijamin adalah kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB). Norma KBB tertuang dalam Pasal 18 ICCPR yang mengatur dua bentuk KBB. Pertama, Pasal 18 ayat (2) ICCPR tentang hak beragama pada wilayah spiritualitas atau suasana kebatinan atau alam fikiran yang meyakini dan mempercayai suatu ajaran agama (forum internum). Pada wilayah ini, negara sama sekali tidak dapat membatasi dan bahkan tidak dapat mengurangi hak KBB seseorang maupun kelompok agama tertentu. Peran negara adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak individu maupun kelompok dalam meyakini suatu agama atau kepercayaan.

Kedua, Pasal 18 ayat (3) ICCPR tentang hak memanifestasikan agama pada wilayah aktualitas atau praktik peribadatan (forum eksternum). Pada wilayah ini, negara dapat membatasi hak memanifestasikan agama demi kepentingan keamanan masyarakat secara umum, ketertiban umum, kesehatan publik, moral publik, atau hak-hak fundamental lainnya. Namun, pembatasan dimaksud memerlukan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh negara.

Ada empat syarat utama pembatasan, yakni harus diatur di dalam undang-undang, sesuai prinsip nesesitas, pembatasannya sebanding atau proporsional, dan non-diskriminatif. Bagaimana praktik pembatasannya di Indonesia? Terdapat beberapa regulasi yang membatasi manifestasi beragama, yakni Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang isinya melarang atau membatasi penafsiran-penafsiran di luar ajaran agama yang diyakini secara mayoritas, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Peringatan dan kepada JAI, dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terkait Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.

Secara struktural, sesungguhnya masih sangat banyak regulasi yang membatasi Kelompok Syiah dan JAI dan bahkan sampai pada level kebijakan di beberapa pemerintah daerah. Dari sini terlihat bahwa secara struktural, pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah sedari awal sudah tidak sejalan dan bertentangan dengan amanah ICCPR, karena hampir semua regulasi diatur pada tingkatan di bawah undang-undang. Sedangkan pada Undang-Undang Penodaan Agama, pembatasannya justru tidak sesuai dengan prinsip nesesitas, tidak proporsional, dan justru menciptakan diskriminasi terhadap JAI dan Kelompok Syiah.

Dari sini terlihat bahwa secara legal formal, Pemerintah Indonesia sudah gagal dalam menyusun kebijakan yang sesuai dengan amanah ICCPR sehingga hak sipol JAI dan Kelompok Syiah justru teralienasi. Pandangan Sampford yang mengatakan bahwa aturan hukum pada beberapa momen tertentu justru dapat menciptakan kondisi ketidakteraturan dan berpotensi menimbulkan kekacauan sudah terjadi pada konteks masalah ini.

Regulasi di atas, belum ditambah Fatwa MUI, memberi legitimasi secara serampangan bagi masyarakat mayoritas untuk untuk menjadi polisi moral dan polisi ketertiban umum. Kekacauan tersebut berakibat pada lahirnya opresi dan persekusi dari masyarakat dan juga koersi dari pemerintah. Beberapa contoh kasus di atas bahkan hingga kini belum mampu diselesaikan oleh pemerintah, khususnya dalam menerapkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Pada penelitian Mahaarum Kusuma Pertiwi juga ditemukan banyaknya regulasi di daerah yang membatasi kelompok agama minoritas, sehingga aturan hukum justru dipakai bukan untuk melindungi melainkan memarjinalisasikan dan bahkan untuk melegitimasi pendapat mayoritas yang dianggap benar, oleh karena itu ketertiban umum harus dijalankan. Asumsi ketertiban umum ini cenderung absurd karena berlandaskan pada suara mayoritarian. Jika ini dibiarkan langgeng, maka kelompok-kelompok minoritas akan semakin teralienasi dan tercerabut dari akarnya.

Forum Internum

Jika di atas berfokus pada analisis kritis saya terhadap model pembatasan hak KBB, di sini saya ingin menegaskan posisi saya pada eksistensi JAI dan Kelompok Syiah. Bahwa persoalan hak KBB mereka tidak hanya terletak pada rumitnya praktik pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah dan juga implikasinya bagi reaksi masyarakat. Lebih dari itu, saya melihat bahwa hak KBB JAI dan Kelompok Syiah justru berada pada kebebasan forum internum.

Masalah utama lahirnya opresi dan persekusi dari masyarakat serta koersi dari pemerintah ini sesungguhnya berakar dari suasana kebatinan atau spiritualitas, bahwa terma-terma kebenaran dan "sesat" selalu berpijak pada wilayah ini. Membatasi manifestasi beribadah JAI dan Kelompok Syiah (misalnya larangan mendirikan rumah ibadah, pesantren, dan lainnya) tidak akan menghentikan masalah ini. Secara kultural, masyarakat mayoritas menginginkan mereka kembali pada ajaran Islam, begitu pula sikap pemerintah sebagaimana dalam temuan Mahaarum Kusuma Pertiwi bahwa beberapa regulasi pemerintah daerah cenderung memperkuat gagasan bahwa mereka harus kembali pada ajaran yang benar.

Tentu saja sikap dan reaksi tersebut merupakan bentuk pelanggaran pada kebebasan forum internum yang sebagaimana Pasal 18 ayat (2) ICCPR di atas. Hal ini merupakan tantangan pemerintah Indonesia untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Pidato Presiden di atas harus menjadi refleksi dan evaluasi mendalam bagi pemerintah untuk dapat konsisten dalam mengimplementasikan hak sipol masyarakat.

Menurut saya hingga peringatan hari kemerdekaan ke-77 tahun ini, persoalan ini masih menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan kemerdekaan bagi kelompok beragama minoritas. Semoga pidato Presiden tersebut bukanlah kata-kata manis yang memabukkan, lebih dari itu, saya dan kita tentunya berharap yang terbaik bahwa komitmen pemerintah dalam menjamin pemenuhan kemerdekaan kelompok beragama minoritas akan segera terwujud.

Moh. Fadhil akademisi IAIN Pontianak

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads