One step towards happiness is to make yourself healthy and strong while you are a boy, so that you can be useful and so can enjoy life when you are a man. Demikian nasihat Robert Baden-Powell dalam surat wasiatnya untuk pemuda kepanduan di seluruh dunia. Dalam buku monumentalnya Scout for Boys, Baden-Powell pun menekankan bahwa visi kepanduan yang ia dirikan adalah membentuk pemuda yang kuat (mental dan fisik).
Metode aktivitas kepanduan ala Baden-Powell dilakukan di alam dan ruang terbuka. Para pemuda diharuskan untuk bergerak, berpikir, memecahkan masalah, dan bekerja sama melalui aktivitas permainan, survival, serta penjelajahan. Selain itu, para pemuda juga diajari keterampilan teknis seperti membaca kompas, membuat peta, tali temali, sandi, dan isyarat.
Metode kepanduan ini kemudian menginspirasi dunia. Selama masa pergerakan di Indonesia, berbagai organisasi pun mendirikan gerakan kepanduan dengan coraknya masing-masing, misal Hizbul Wathan milik Muhammadiyah, NU dengan Syubbanul Wathon, serta berbagai gerakan pemuda seperti Indonesische Padvinderij Organisatie (INPO), Pandoe Pemoeda Sumatra, National Indonesische Padvinderij (NATIPIJ), dan masih banyak lagi.
Tanggal 14 Agustus 1961 pemerintah mempersatukan beberapa organisasi kepemudaan yang kemudian diperingati sebagai hari lahir pramuka. Gerakan kepemudaan ini bahkan menginspirasi partai-partai politik hingga kini, banyak partai membentuk gerakan-gerakan kepemudaannya sendiri.
Kegembiraan
Dari kacamata pendidikan, pramuka sebenarnya mengusung spirit mendidik. Metode-metode dalam kepramukaan bertujuan membantu anak muda mencapai potensi spiritual, sosial, intelektual dan fisik (Bahtiar, 2018). Tujuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan menurut UU No.2 Tahun 2003 bahwa fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan, membentuk karakter dan mengembangkan potensi siswa.
Di Indonesia, sebagaimana banyak negara lain, pramuka menjadi bagian dari pendidikan nasional. Ia masuk dalam kategori pendidikan nonformal serta menjadi ekstrakulikuler yang harus diikuti oleh siswa. Anggota pramuka dituntut memiliki tanggung jawab dan kedisiplinan tinggi demi membentuk karakter yang kuat baik mental maupun fisik.
Meski seolah terlihat militeristik dan penuh aktivitas fisik, segala kegiatan kepramukaan harus dibalut suasana menyenangkan, menantang, serta membuat semua anggotanya gembira. Kegembiraan menjadi salah satu kunci kegiatan kepramukaan yang membedakan dengan metode pendidikan lain. Ini pula yang membuat Baden-Powell menyebut kepanduannya sebagai pendidikan yang revolusioner (1908).
Saat ini, kebijakan pendidikan kita mengusung spirit Merdeka Belajar. Menariknya, metode yang ada dalam pramuka, yakni gembira dan menyenangkan merupakan salah satu kondisi pembelajaran yang hendak dibentuk melalui program Merdeka Belajar. Untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, Merdeka Belajar mencoba mendobrak budaya pendidikan kita yang kaku, terstandarisasi, dan minim kreativitas.
Konsep Merdeka Belajar sebenarnya tidak baru. Spirit senapas dengan Merdeka Belajar pun diusung oleh bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar bahkan menyebut institusi pendidikan yang dia buat dengan "taman". Taman merupakan gambaran tempat bermain yang menyenangkan bagi anak. Penggunaan istilah ini memperlihatkan harapan Ki Hajar agar siswa menjalani proses belajar dengan gembira.
Demikian juga pandangan tokoh pendidikan Romo Mangunwijaya yang melakukan pendekatan joyful learning untuk lembaga pendidikan yang dibentuknya. Tujuannya adalah agar anak bisa enjoy dalam belajar. Enjoy dimaknai oleh Mangunwijaya dengan "suasana hati yang merdeka".
Sejak lebih dari seabad lalu, sebenarnya kita telah menerapkan metode Merdeka Belajar dalam gerakan kepanduan. Namun, porsi yang sedikit, non akademik, dan tidak berkaitan dengan profesi, karier, maupun pekerjaan barangkali membuat kita abai terhadap kegiatan kepanduan ini.
Jika yang diharapkan dari pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi anak, maka kepanduan layak ditempatkan secara lebih proporsional. Pendidikan formal mengembangkan potensi akademik serta kemampuan yang menunjang peluang kerja mereka, sementara pramuka mengasah potensi sosial dan mental.
Ke Alam
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai sebuah gerakan yang menyasar anak muda, pramuka menjadi penting dan mendesak dewasa ini. Perilaku dan budaya anak muda sudah sangat dipengaruhi oleh teknologi. Kini, sumber hiburan utama mereka didapat dari gawai. Berbagai riset mengatakan bahwa intensitas penggunaan gawai oleh anak sangat mengkhawatirkan. Anak bisa empat jam lebih bermain gawai.
Gawai dapat merenggut usia emas anak untuk mengasah kepekaan lingkungan, sosial, serta ketahanan emosional mereka. Usia di mana anak harus banyak bergerak, mengeksplorasi lingkungan sekitarnya, menemukan hal baru yang konkret, serta berinteraksi dengan orang lain kini dihabiskan di rumah dengan gawainya.
Sementara itu, pendidikan formal pun tidak bisa sepenuhnya membuat anak keluar dari kungkungan gawai. Seringkali bahkan gawai harus menjadi alat pembelajaran. Dan kita tidak tahu apakah anak benar-benar belajar atau tidak dengan gawainya. Karenanya, pramuka sebagai pendidikan luar ruang dapat menjadi pilihan. Ia membuat anak berdiri dari tempat duduknya yang nyaman kemudian dibawa ke luar, ke alam.
Anak harus merasakan asyiknya permainan luar, serunya tali temali, menyenangkannya menebak sandi, menjelajahi sungai, kaki tangan berlumpur, mendirikan tenda hingga tidur di alam. Jika selama ini pramuka hanya sebagai "sampingan" pendidikan formal, kini ia harus jadi "sandingan". Pramuka bisa memberikan semesta belajar lain, tidak hanya dalam ruangan tapi lingkungan dan alam. Dengan begitu, kita bisa menunjukkan pada anak bahwa kegembiraan yang sebenarnya ada di luar sana.
Pandu Wijaya Saputra peminat kajian sosial dan budaya, bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan